NAMA : ASRIANTI
NPM : 17-630-095
TGS 2 : PASAL-PASAL ASPEK HUKUM DALAM PEMBAGUNAN
ASPEK-ASPEK HUKUM KONTRAK DALAM
PEMBANGUNAN DAN PENGOPERASIAN
INFRASTRUKTUR DENGAN POLA BOT
(BUILD, OPERATE AND TRANSFER)
Tim Pengkajian Di Bawah Pimpinan
PROF. DR. I.B.R. SUPANCANA, SH., MH.
Badan Pembinaan
Hukum Nasional
Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia
Jakarta
2008
Pengantar
Salah satu
upaya yang dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia
dalam rangka
menarik investasi
langsung ke Indonesia
adalah melalui percepatan
pembangunan
infrastruktur. Sebagaimana diketahui, keberadaan infrastruktur
yang memadai
adalah merupakan salah
satu faktor daya
tarik investasi
disamping
factor-faktor lainnya seperti: stabilitas politik dan keamanan yang
terjamin, birokrasi
perijinan yang ramping
dan effisien, jaminan
dan
perlindungan
investasi yang memadai, dan lain-lain.
Dalam rangka
percepatan pembangunan infrastruktur
seperti transportasi,
enerji, komunikasi,
dan lain-lain, salah
satu faktor yang
seringkali menjadi
kendala adalah
faktor pembiayaan. Anggaran
Negara yang terbatas
tidak
memungkinkan pembiayaan
pembangunan infrastruktur dilakukan
sepenuhnya dengan
menggunakan dana pemerintah
yang bersumber dari
APBN.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka salah satu cara yang dapat
ditempuh
adalah dengan mengundang partisipasi swasta dalam pembangunan
infrastruktur.
Skema ini dikenal dengan istilah “Public-Private Partnership”.
Guna
mengundang partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur, maka
perlu dikembangkan
suatu pola kerjasama
yang menjamin disatu
pihak
keberadaan infrastruktur
tersebut bagi kepentingan
Negara dan khususnya
masyarakat disatu
pihak, dengan kepentingan
swasta selaku investor
dilain
pihak.
Adalah merupakan hal yang
wajar apabila dari
partisipasinya, pihak
swasta
dapat memperoleh keuntungan.
Dalam pelaksanaan
partisipasi swasta pada
pembangunan infrastruktur akan
terkait berbagai
pihak, baik Pemerintah,
investor, konstruktor, lembaga
pembiayaan,
supplier, operator, dan lain-lain. Hubungan kerja diantara pihakpihak tersebut
biasanya diikat melalui
perjanjian/kontrak.Bentuk-bentuk
kontrak yang
terkait antara lain:
concession agreement, shareholders
agreement, long
term supply agreement,
operation and maintenance
agreement, syndicated
loan agreement, off-take
agreement, dan lain-lain.
Secara keseluruhan
kotrak-kontrak tersebut disebut
kontrak BOT (Build,
Operate
and Transfer).
Tim Penelitian
yang kami pimpin
ini berupaya untuk
membedah berbagai
kontrak-kontrak sebagaimana
tersebut di atas
untuk menemukan pola
yang
tepat
yang dapat diterapkan di Indonesia, sesuai dengan kebijakan, hukum dan
peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Semoga
hasil pengkajian ini akan bermanfaat baik bagi perkembangan
ilmu
hukum maupun bagi praktek kontrak-kontrak
pem,bangunan infrastruktur di
Indonesia.
Jakarta,
Desember 2008
Ketua
Tim
Prof.
Dr. I.B.R Supancana, SH., MH.
DAFTAR
ISI
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Permasalahan
C. Ruang Lingkup
D. Maksud dan Tujuan
E. Metodologi
F. Sistematika
BAB
II: KEBIJAKAN, KEBUTUHAN DAN REGULASI
PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DI
INDONESIA
A. Kebijakan Pembangunan Infrastruktur
Transportasi di Indonesia
1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
2. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
3. Rencana Strategis/Blueprint pada sektor
Pekerjaan Umum
B. Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur
Transportasi
1. Pembangunan Jalan termasuk Jalan Tol
2. Pembangunan Jalan Kereta Api dan Monorail
3. Pembangunan Angkutan Sungai, Danau dan
Penyeberangan
4. Pembangunan Pelabuhan
5. Pembangunan Transportasi Udara
C. Regulasi Pembangunan Infrastruktur
Transportasi
1. Undang-undang No 38 tahun 2004 tentang Jalan
2. Undang-undang No 17 tahun 2008 tentang
Pelayaran
3. Undang-undang No 23 tahun 2007 tentang
Perkeretaapian
4. Undang-undang No 1 tahun 2009 tentang
Penerbangan
5. Undang-undang No 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal
6. Undang-undang
No 7 tahun
1983 sebagaimana yang
telah diubah
terakhir
dengan UU 39 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
7. Undang-undang No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.
8. Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
9. Undang-undang No 9 tahun 1992 tentang
Keimigrasian
10. Undang-undang No tahun 1960 tentang Agraria
11. Peraturan Pemerintah No 15 tahun 2005 tentang
Jalan Tol.
12. Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2006 tentang Jalan
13. PP No 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan
Umum
14. Peraturan
Pemerintah No 87
tahun 2003 tentang
Tim Nasional
Peningkatan
Ekspor dan Peningkatan Investasi.
15. Peraturan
Pemerintah No 62
tahun 2008 tentang
Perubahan atas
Peraturan Pemerintah
No 1 tahun
2007 tentang Fasilitas
Pajak
Penghasilan
untuk Penanaman Modal di bidang usaha-usaha tertentu
dan/atau
di daerah tertentu.
16. Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2000 tentang
Pajak Daerah.
17. Peraturan
Pemerintah No 25
tahun 2000 tentang
Kewenangan
Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah otonom.
18. Peraturan Pemerintah No 45 tahun
1996 tentang Pajak Penghasilan
atas
Penghasilan Wajib Pajak Badan untuk Usaha Industri tertentu.
19. Peraturan Pemerintah No 44 tahun 1997 tentang
Kemitraan.
20. Peraturan
Pemerintah No 15
tahun 1999 tentang
Bentuk-bentuk
Tagihan tertentu
yang Dapat Dikompensasikan sebagai
Setorah
Saham;
21. Instruksi
Presiden No 3
tahun 2006 tentang
Paket Kebijakan
Perbaikan
Iklim Investasi
22. Peraturan Presiden No 67 tahun 2005 tentang
Kerjasama Pemerintah
dan
Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
23. Keputusan Presiden No 80 tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan
Pengadaan barang/Jasa
Pemerintah sebagaimana diubah,
terakhir
dengan
perubahan ke Enam dengan Peraturan Presiden No 85 tahun
2006
24. Peraturan
Presiden No 36
tahun 2005 sebagaimana
diubah dengan
Peraturan
Presiden No 65 tahun 2005 tentang Pengadaan Lahan bagi
Pembangunan
untuk Kepentingan Umum;
25. Peraturan
Presiden No 42
tahun 2005 tentang
Komite Kebijakan
Percepatan
Penyediaan Infrastruktur;
26. Instruksi
Presiden No 5
tahun 2003 tentang
Paket Kebijakan
Ekonomi Menjelang
dan sesudah berakhirnya
Program Kerjasama
dengan
International Monetary Fund;
27. Keputusan Presiden No 97 tahun 1993 tentang
Tata Cara Penanaman
Modal sebagaimana
telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan
Keputusan
Presiden No 117 tahun 1998;
28. Keputusan
Menteri Keuangan No
518/KMK.01/2005 tanggal 31
Oktober
2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Resiko atas
Penyediaan
Infrastruktur;
29. Peraturan Menteri Keuangan No 38/PMK.01/2006
tentang Petunjuk
Pelaksanaan
Pengendalian dan Pengelolaan Resiko atas Penyediaan
Infrastruktur
30. Peraturan
Menteri Keuangan No
136/PMK.05/2006 tanggal 27
Desember
2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan No
119/PMK.05/2006 tentang
Tata Cara Penyediaan, Pencarian
dan
Pengelolaan
Dana Dukungan Infrastruktur.
31. Surat
Edaran Menteri Pekerjaan
Umum No 11/SE/M/2005
tanggal
16
November 2005 tentang Pedoman Penyesuaian Harga Satuan dan
Nilai
Kontrak;
32. Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum
No 295/PRT/M/2005 tentang
Badan
Pengatur jalan Tol;
33. Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum
No 11/PRT/M/2006 tentang
Wewenang dan
Tugas Penyelenggaraan Jalan
Tol pada Direktorat
Jendral Bina
Marga, Badan Pengatur
Jalan Tol dan
Badan Usaha
Jalan
Tol;
34. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No 9 tahun 2006 tentang
Penguasaan Perencanaan/Peruntukan Bidang
Tanah untuk
Pelaksanaan Pembangunan
Trace Jalan Tanah
Tinggi Barat/Timur
Kemayoran Gempol
di Kelurahan Harapan
Mulya, Kelurahan
Bungur, Kelurahan
Utan Panjang, Kelurahan
Kebon Kosong,
Kelurahan Serdang,
Kecamatan Senen, dan
Kecamatan Kemayoran
Kotamadya
Jakarta Pusat;
BAB
III SKEMA JAMINAN DAN PERLINDUNGAN INVESTASI
DALAM PEMBANGUNAN INFRASTUKTUR
TRANSPORTASI
A. Jaminan Pemerintah atas Kerugian yang mungkin
Timbul
1. Revenue Shortfall Guarantee
2. Dana Penjaminan Infrastruktur
3. Comfort Letter (Support Letter/Administrative
Letter)
4. Risk Sharing
B. Jaminan dalam Pengadaan Tanah
C. Jaminan Percepatan Pelayanan Administratif
D. Jaminan Kepastian Hukum
E. Jaminan atas Kerusuhan, Pengambilalihan Aset,
dll
F. Jaminan atas Perlakuan yang sama
BAB IV:
ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN
PADA KONTRAK
PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR DENGAN POLA BOT
A. Umum
B. Beberapa Pengertian dan Pemahaman Pokok pada
Kontrak-Kontrak BOT
1. Peristilahan dan Batasan
2. Pertimbangan-Pertimbangan Pokok bagi
Pembangunan Infrastruktur di
Bidang
Transportasi dengan Pola BOT
3. Para Pihak dalam Pembangunan Infrastruktur
Transportasi dengan Pola
BOT
4. Struktur Organisasi
5. Fase-Fase Pelaksanaan Tender pada
Proyek Infrastruktur dengan Pola
BOT
6. Paket-Paket
dalam Pembangunan Proyek
Infrastruktur dengan Pola
BOT
C. Jenis-jenis
Kontrak yang Terkait
dengan Investasi Pembangunan
Infrastruktur,
Khususnya di Bidang Transportasi
1. Kontrak Konsesi (“Concession Agreement”)
2. Construction Contract (Kontrak Konstruksi)
3. Supply Conctract (Kontrak Suplai)
4. Shareholder Agreement
5. Operation Contract
6. Loan Agreement
7. Off-take Contract
8. Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT)
sebagai contoh kontrak BOT
D. Berbagai Resiko pada Kontrak Investasi
Pembangunan Infrastruktur pada
Bidang
Transportasi dengan Pola BOT
1. Identifikasi terhadap Resiko yang dihadapi
2. Bentuk-bentuk
Jaminan dan Perlindungan
Investasi infrastruktur pada
Kontrak
Investasi Infrastruktur Transportasi
BAB
V: ANALISIS
A. Dari Sisi kepentingan Pengadaan Infrastruktur
Transportasi Nasional
B. Dari Sisi Kepentingan Investor
C. Dari Sisi Kepentingan Masyarakat
D. Dari Sisi Kepentingan Pemerintah
E. Dari Sisi Jaminan dan Perlindungan Hukum
F. Dari Sisi Resiko
G. Dari Sisi Penyelesaian Sengketa
H. Dari SIsi Pembiayaan
I. Dari sisi Pengadaan Tanah dan bangunan
J. Dari Sisi Pengadaan
BAB
VI: SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan
B. Rekomendasi
DAFTAR
REFERENSI
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Krisis finansial
internasional yang dimulai
dengan kasus Sub
Prime
Mortgage pada
sector perumahan di
Amerika Serikat telah
menjadi
bencana
ekonomi global. Runtuhnya berbagai
perusahaan raksasa seperti
Lehman
Brothers yang diikuti dengan tumbangnya perusahaan-perusahaan
lainnya telah
menyebabkan meluasnya krisis
ekonomi yang bahkan
diklaim terburuk
sejak krisis tahun
1930-an. Implikasi krisis
tersebut
meluas dan
telah menjelma menjadi
krisis global. Perekonomian
dunia
mengalami bencana
yang akibatnya juga
dirasakan di Indonesia.
Dalam
keadaan seperti
itu maka secara
langsung akan memperlambat
pertumbuhan ekonomi.
Yang lebih dikhawatirkan, perlambatan
pertumbuhan ekonomi
tersebut akan berpengaruh
secara langsung
terhadap maraknya PHK, makin besarnya angka
pengangguran yang pada
akhirnya
akan memperbanyak angka kemiskinan.
Dalam
situasi sebagaimana digambarkan di atas, hal yang dapat dilakukan
adalah menggenjot
pembangunan infrastruktur yang
diharapkan akan
mampu menyerap
jumlah tenaga kerja
dalam jumlah yang
cukup
signifikan. Dengan
rencana pemerintah menambah
anggaran
pembangunan infrastruktur
dari yang semula
sebesar 100 trilyun
rupiah
menjadi
sekitar 100 trilyun rupiah, jumlah tenaga kerja yang dapat diserap
akan
mencapai antara 3,5 juta sampai 4 juta orang
1.Dalam
pembangunan infrastruktur tersebut swasta dilibatkan dalam skema
public-private partnership
(PPP). Untuk tahun
2009-2010 Pemerintah
menetapkan sekitar
82 proyek infrastruktur
dengan pola PPP
tersebut.
2
Diantara 82
proyek tersebut, terdapat
21 proyek sector
jalan told an 24
proyek
di bidang transportasi lainnya
2
.
Dengan memanfaatkan
momentum krisis melalui
pembangunan
infrastruktur maka
diharapkan ketika krisis
mereda maka kesiapan
infrastruktur tersebut
akan menjadi daya
saing investasi Indonesia.
Konsekuensinya, peningkatan
daya saing tersebut
akan potensial
menambah masuknya
arus investasi, yang
pada akhirnya akan
mampu
mendorong
percepatan pertumbuhan ekonomi.
Dengan memperhatikan
pentingnya pembangunan infrastruktur
dalam
meningkatkan daya
saing investasi, maka
kebijakan mendorong
pembangunan infrastruktur, dalam
hal ini di
bidang transportasi, yang
mengundang
kerjasama public dan privat adalah tepat. Perlunya partisipasi
swasta
tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa
salah satu pemasalahan
yang paling
krusial yang dihadapi
oleh negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia,
adalah adanya keterbatasan
yang dimiliki dalam
upaya
untuk menyiapkan infrastruktur yang memadai. Infrastruktur seperti
sarana
transportasi, telekomunikasi dan listrik merupakan kebutuhan yang
sangat fundamental
dalam rangka mendorong
roda perekonomian.
Keterbatasan yang
dimiliki tersebut bersifat
multi dimensi, karena
tidak
hanya menyangkut
masalah terbatasnya sumber
pendanaan/pembiayaan,
tetapi juga
terbatasnya kemampuan sumber
daya manusia, teknologi
dan
bahkan
manajemennya.
Mengingat pemenuhan
akan kebutuhan infrastruktur
tersebut merupakan
hal yang harus memperoleh
prioritas penanganan, maka
dalam keadaan
yang serba
terbatas tersebut perlu
dicarikan upaya untuk
mengatasinya.
Salah
satu upaya yang telah banyak dilakukan adalah dengan mengundang
1
Bisnis
Indonesia, “Insentif Infrastruktur Serap 2,5 juta Pekerja”, 19 Januari 2009.
2
Dewi
Astuti, “Swasta Dilibatkan di 82 Proyek Infrastruktur”, Bisnis Indonesia, 2
Februari 2009.
3
partisipasi “private
sectors” untuk melakukan
investasi pada sector
transportasi.
Pola yang sering digunakan dalam pembangunan infrastruktur
di bidang
transportasi adalah dengan
menggunakan pola BOT
(“Build,
Operate
and Transfer”). Pemilihan atas pola ini
didasarkan atas berbagai
keuntungan yang
dapat ditawarkannya, khususnya
bagi pemerintah,
sementara
bagi pihak investor, disamping potensi keuntungan yang dapat
diraih,
juga mengandung resiko kerugian.
Untuk menarik
investasi swasta dalam
pembangunan infrastruktur pada
sektor transportasi,
juga diperlukan suatu
mekanisme yang mampu
meminimalkan
kerugian mereka yaitu melalui bentuk-bentuk perlindungan
investasi yang
dapat ditawarkan oleh
pemerintah. Minimalisasi kerugian
melalui skema
perlindungan investasi akan
merupakan insentif yang
mampu
menciptakan iklim investasi yang lebih baik.
B. PERMASALAHAN
Dalam
kaitan dengan judul karya ilmiah ini,
ada 2 aspek utama yang akan
dikaji,
yaitu:
1. Sejauh mana kebijakan dan regulasi dalam
pembangunan infrastruktur
transportasi
dapat dianggap memadai?
2. Apa saja bentuk-bentuk jaminan investasi yang
dapat ditawarkan?
3. Apa
saja bentuk-bentuk kontrak
investasi transportasi infrastruktur
dengan
pola BOT yang merupakan common practices
dan bahkan best
practices?
4. Aspek-aspek
hukum apakah yang
timbul atau mungkin
timbul pada
kontrak-kontrak
invenstasi infrastruktur dengan pola BOT tersebut?
5. Sejauh mana
ketentuan-ketentuan hukum (kontrak) yang berlaku telah
mengatur secara
memadai aspek-aspek hukum
tersebut, serta
bagaimana
upaya yang dapat ditempuh untuk menyempurnakannya?
4
C. RUANG LINGKUP
Materi
yang akan dicakup dalam penelitian ini meliputi:
1. Fakta,
data dan informasi
tentang kebutuhan investasi
infrastruktur,
khususnya
infrastruktur transportasi di Indonesia;
2. Kebijakan
dan pengaturan yang
ditempuh oleh Pemerintah
dalam
pemenuhan
dan pembangunan infrastruktur transportasi ;
3. Kontrak-kontrak dengan pola BOT yang terkait
dengan pembangunan
infrastruktur
transportasi;
4. Identifikasi
dan analisis masalah-masalah hukum
yang mungkin
timbul;
5. Langkah-langkah penyempurnaan yang patut
ditempuh.
D. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud
dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis
bentuk-bentuk kontrak
BOT di bidang
pembangunan infrastruktur
transportasi
dan masalah-masalah hukum yang terkait di dalamnya.
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk
memberikan masukan dan dasar
pertimbangan kepada
Pemerintah guna penyempurnaan
dasar dan aturan
hukum yang
memadai bagi kontrak-kontrak infrastruktur
transportasi
dengan pola
BOT sesuai dengan
kebutuhan yang ada
serta mampu
menciptakan kondisi
yang saling menguntungkan
antara Pemerintah,
investor
dan masyarakat.
E. METODOLOGI
Dalam
penelitian digunakan beberapa pendekatan yang berkaitan dengan:
pengumpulan
data dan informasi; analisis; serta penyajian.
5
Pengumpulan
data dan informasi dilakukan dengan melakukan penelitian
kepustakaan, baik
yang bersumber kepada
berbagai data dan
informasi
yang ”di
release” oleh pemerintah;
tulisan para ahlidalam
bentuk buku,
jurnal, artikel
lepas, newsletter; pengalaman
para praktisi dan
pengambil
putusan;
kebijakan dan regulasi nasional dan internasional; dan lain-lain
Analisis yang
dilakukan dalam karya
ilmiah ini difokuskan
pada norma
yang terkait
dengan hukum dan
kebijakan, oleh karena
itu bersifat
normatif-kualitatif-komparatif.
Sementara penyajiannya bersifat deskriptif,
eksploratif.
F. SISTEMATIKA
Untuk
mempermudah pemahaman terhadap isi karya tulis ini, maka buku
ini dibagi
atas beberapa Bab,
dimana isi masing-masing
Bab akan
melengkapi
informasi dan analisis. Adapun susunan dan isi dari masingmasing Bab adalah
sebagai berikut:
Bab
I: Pendahuluan
Menguraikan latar
belakang; permasalahan; ruang
lingkup; maksud dan
tujuan;
metodologi dan sistematika;
Bab II:
Kebijakan, Kebutuhan dan
Regulasi Pembangunan Infrastruktur
Transportasi
di Indonesia
Menyajikan Kebijakan
dalam Pembangunan Infrastruktur
Transportasi,
dilanjutkan dengan
uraian data, fakta,
angka dan informasi
tentang
kebutuhan investasi
di bidang infrastruktur, khususnya
transportasi di
Indonesia, baik
transportasi darat (kereta
api, jalan tol,
monorail); laut
(pelabuhan);udara (bandara,
ATC); antariksa (air
launch space
transportation system),
dan lain-lain Bab
ini diakhiri dengan
uraian
Peraturan-perundang-an terkait
yang menjadi dasar
hukum bagi
Pembangunan
Infrstruktur Transportasi.
6
Bab III:
Skema Kebijakan tentang
Jaminan dan Perlindungan
dalam
Pembangunan
Infrastruktur Transportasi
Dalam
bab ini akan digambarkan bentuk-bentuk insentif, jaminan maupun
perlindungan
investasi yang dapat diberikan kepada investor yang terlibat
dalam
pemmbangunan dan pengoperasian infrastruktur transportasi.
Bab IV:
Kontrak-Kontrak Investasi Pembangunan
Infrastruktur
Transportasi
dengan Pola BOT
Pada
Bab ini akan dikaji sejauh mana kontrak-kontrak yang terkait dengan
investasi pembangunan
infrastruktur transportasi, seperti:
concession
contract;
construction contract; operation contract; supply agreement; offtake agreement;
credit contract; shareholders
agreement; dan lain-lain
telah mengatur
dan mengakomodasikan kepentingan
para pihak secara
seimbang, khususnya
menyangkut jaminan dan
perlindungan pada
kepentingan investor.
Dalam Bab ini
juga akan disajikan
suatu contoh
kontrak pembangunan
infrastruktur ttransportasi, yaitu
Perjanjian
Pengusahaan Jalan
Tol (PPJT). Berbagai
resiko yang terkait
juga akan
diuraikan
berikut cara penyelesaiannya.
Bab
V: Analisis
Dalam bab
ini akan dilakukan
analisis terhadap kontrak-kontrak
pembangunan infrastruktur
transportasi dengan pola
BOT. Analisis
dilakukan dalam
upaya untuk mengakomodir
kepentingan para
stakeholders. Hasil
analisis tersebut diharapkan
akan dapat digunakan
sebagai
masukan dalam rangka penyempurnaannya.
Bab
VI: Penutup
Berisi
Kesimpulan dan Rekomendasi.
7
BAB II
KEBIJAKAN,
KEBUTUHAN DAN REGULASI PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR
TRANSPORTASI DI INDONESIA
A. Kebijakan Pembangunan Infrastruktur
Transportasi di Indonesia
Dalam
upaya untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia, aspek yang
memerlukan prioritas
adalah penyediaan infrastruktur, baik
berupa
pembangunan jalan,
pelabuhan, bandar udara,
pembangkit listrik, sarana
telekomunikasi, air
minum, dan lain-lain.
Di satu sisi
ketersediaan
infrastruktur
tersebut sangat vital, namun pada sisi lain Pemerintah sangat
memiliki keterbatasan
anggaran untuk pemenuhannya. Guna
mengatasi
persoalan
tersebut maka alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan cara
mengundang partisipasi
swasta dalam pembangunan
infrastruktur
transportasi.
Transportasi secara umum
berfungsi sebagai katalisator dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi,
pengembangan wilayah dan
pemersatu wilayah
Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Infrastruktur transportasi mencakup
transportasi jalan,
perkeretaapian, angkutan sungai,
danau dan
penyeberangan, transportasi
laut dan udara.
Pada umumnya infrastruktur
transportasi mengemban
fungsi pelayanan publik
dan misi pembangunan
nasional
3
.
1.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Dalam rangka
upaya menarik partisipasi
swasta dalam investasi
pembangunan infrastruktur
transportasi, maka pertama-tama
perlu
8
diipahami
sasaran pembangunan transportasi dalam 5 tahun (2004-1009),
yaitu
4
:
1. Meningkatnya
kondisi dan kualitas
prasarana dan sarana
dengan
menurunkan
tingkat ”backlog” pemeliharaan;
2. Meningkatnya
jumlah dan kualitas
pelayanan transportasi, terutama
keselamatan
transportasi nasional;
3. Meningkatnya
kualitas pelayanan transportasi
yang
berkesinambungan
dan ramah lingkungan serta sesuai dengan standar
pelayanan
yang dipersyaratkan;
4. Meningkatnya mobilitas dan distribusi
nasional dan wilayah;
5. Meningkatnya
pemerataan dan keadilan
pelayanan transportasi, baik
antar wilayah
maupun antar golongan
masyarakat di perkotaan,
pedesaan,
maupun daerah terpencil dan perbatasan;
6. Meningkatnya akutabilitas pelayanan
transportasi melalui pemantapan
sistem
transportasi nasional, wilayah dan lokal;
7. Khusus
untuk daerah yang
terkena bencana nasional
akan dilakukan
program
rehabilitasi sarana dan prasarana transportasi dan pembinaan
SDM
yang terpadu dengan program sektor-sektor lainnya dan rencana
pengembangan
wilayah.
Untuk
mencapai sasaran yang telah ditetapkan di atas, maka dalam rangka
investasi pembangunan
infrastruktur transportasi perlu
diperhatikan
kebijakan
umum pembangunan transportasi, yang meliputi
5
:
1. Kebijakan pembangunan sarana dan prasarana
transportasi;
2. Kebijakan
untuk meningkatkan keselamatan
transportasi nasional
secara
terpadu;
3. Kebijakan untuk meningkatkan mobilitas dan
distribusi nasional;
3
Lihat
Peraturan Presiden no 7 tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah,
khusus
Bagian IV (Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat), Bab 33 tentang Percepatan
Pembangunan
Infrastruktur, halaman 367.
4
Lihat,
Ibid, halaman 368.
5
Ibid.
9
4. Kebijakan pembangunan transportasi yang
berkelanjutan;
5. Kebijakan
pembangunan transportasi terpadu
yang berbasis
pengembangan
wilayah;
6. Kebijakan peningkatan data dan informasi
serta pengembangan audit
sarana
dan prasarana transportasi nasional;
7. Kebijakan
membangun dan memantapkan
terwujudnya sistem
transportasi
nasional, wilayah dan lokal secara bertahap dan terpadu;
8. Kebijakan
untuk melanjutkan restrukturisasi kelembagaan
dan
peraturan perundang-undangan transportasi
dan peraturan
pelaksanaannya;
9. Kebijakan untuk mendorong pengembangan
industri jasa transportasi
yang bersifat
komersial di daerah
yang telah berkembang dan
melibatkan peran
serta swasta dan
masyarakat dan meningkatkan
pembinaan
pelaku transportasi nasional;
10. Kebijakan
pemulihan jalur distribusi
dan mobilisasi di
wilayahwilayah yang terkena dampak benccana nasional secara terpadu.
Selain sasaran
dan kebijakan umum
pembangunan transportasi dalam
RPJM
2004-2009, aspek lain yang harus diperhatikan adalah Program dan
Kegiatan Pembangunan
di bidang transportasi,
seperti: jalan dan
jembatan
6
; lalu
lintas angkutan jalan (LLAJ)
7
; Perkeretaapian
8
; angkutan
sungai danau
dan penyeberangan
9
; Transportasi
Laut
10
; dan
Transportasi
Udara
11
.
6
Ibid, halaman
377. Antara lain
dinyatakan program peningkatan/pembangunan jalan
dan
jembatan, seperti:
peningkatan/pembangunan
jalan arteri primer
sep anjang 12.321 km dan
jemnbatan
sepanjang 26,579 m; peningkatan/pembangunan jalan-jalan arteri primer dan
strategis
di
kawasan perkotaan, termasuk “fly-over”;
penanganan jalan sepanjang 1.800 km pada daerahdaerah yang
berbatasan dengan Negara-negara
tetangga; penanganan jalan
sepanjang 3.750 km
untuk kawasan
terisolir;
peningkatan/pembangunan
jaringan jalan propinsi
sepanjang 2.390 km
dan
jalan kabupaten sepanjang 81.742 km; pengembangan/pembangunan jalan tol
sepanjang 1.593
km.
7
Ibid,
halaman 383-386.
8
Ibid,
halaman 392-395.
9
Ibid,
halaman 400-401.
10
Ibid,
halaman 407-409.
11
Ibid,
halaman 412-413.
10
2. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
Dalam RPJP
2005-2025 pembangunan transportasi
diarahkan untuk
mendukung kegiatan
ekonomi, sosial, budaya
serta lingkungan dan
dikembangkan melalui
pendekatan pengembangan wilayah
agar tercapai
keseimbangan dan
pemerataan pembangunan antar
daerah; membentuk
dan
memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan
keamanan nasional;
serta membentuk struktur
ruang dalam rangka
mewujudkan
sasaran pembangunan nasional
12
.
Untuk itu
pembangunan transportasi dilaksanakan
dengan
mengembangkan jaringan
pelayanan secara antar
moda dan inter
moda;
menyelaraskan peraturan
perundang-undangan yang terkait
dengan
penyelenggaraan transportasi
yang memberikan kepastian
hukum dan
iklim usaha
yang kondusif; mendorong
seluruh pemangku kepentingan
untuk berpartisipasi dalam
penyediaan pelayanan; meningkatkan
iklim
kompetisi
secara sehat agar dapat meningkatkan efisiensi dan memberikan
alternatif bagi
pengguna jasa dengan
ttap mempertahankan keberpihakan
pemerintah
sebagai regulator terhadap pelayanan umum yang terjangkau,
murah,
aman dan nyaman.
B. Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur
Transportasi
Sebagai
gambaran akan kebutuhan pembangunan infrastruktur transportasi
dapat
diamati pada data-data di bawah ini:
1. Pembangunan Jalan Termasuk Jalan Tol
a. Selama
kurun waktu 2005-2009
rencana pembangunan jalan
tol
mencapai
1.827 km yang meliputi 52 ruas. Untuk pembangunan tol
tersebut dibutuhkan
pembebasan lahan sebanyak
12.789 hektar,
12
UU
RI No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun
2005-2025. Halaman 89.
11
dengan
total biaya pembebasan diperkirakan sebesar
Rp 15,97
trilyun,
dari jumlah tersebut yang telah memiliki peta lokasi adalah
sepanjang
dengan perkiraan pembebasan sebesar Rp
15,97 trilyun.
Dana
awal yang akan ditalangi oleh Pemerintah untuk kepentingan
pembebasan tanah
itu adalah sebesar
Rp 3 trilyun.
Setelah tanah
dibebaskan
investor wajib membayar biaya yang telah digunakan,
berikut
bunganya
13
.
b. Pemerintah
saat ini juga
sedang melakukan perbaikan
terhadap
jalur
lintas Timur Sumatra (Jalintim) sepanjang
320 km dari total
406 km.
Dana perbaikan sebesar
Rp 280 milyard
diperoleh dari
APBN dan
pinjaman dari Asian
Development Bank
14
. Sementara
itu
juga sedang dilakukan pembangunan jalur Pantai Timur dengan
panjang keseluruhan
185,95 km yang
telah dimulai
pembangunannya sejak
tahun 2002. Biaya
pembebasan lahan
diperoleh
dari pinjaman Japan Bank for International Cooperation
(JBIC) sebesar
Rp 540 milyar.
Dalam pelaksanaannya terdapat
kendala dalam
pembebasan lahan karena
permintaan harga tanah
yang
terlalu besar dari pemilik tanah. Hal itu mengakibatkan Rp 80
milyar dana
harus dikembalikan sementara
terdapat 72 bidang
tanah
milik 400 KK yang belum dibebaskan
15
.
2. Pembangunan Jalan Kereta Api dan Monorail
a. Rencana
pembangunan jalan kereta
api di Kalimantan
sepanjang
918
km yang terdiri dari 4 ruas
masing-masing sepanjang 70 km,
277
km, 250 km dan 321 km. Jalur-jalur rel
kereta api yang akan
dibangun tersebut
untuk mempermudah akses
ke pelabuhan dari
daerah-daerah yang
kaya akan sumber
daya alam, baik
tambang
13
Kompas,
18 Agustus 2006.
14
Kompas,
28 Juni 2006.
15
Kompas
12 Agustus 2006.
12
maupun perkebunan.
Pada saat ini
sedang dilaksanakan kegiatan
”feasibility study”
yang dilakukan oleh
konsorsium Inggris dan
Irlandia
16
.
b. Dalam
upaya optimalisasi jalan
kereta api di
Lampung, saat ini
sedang
dilakukan perbaikan lintasan sepanjang 105 km. Disamping
itu
juga sedang dilakukan pembangunan jaringan rel kereta api luar
kota Bandar
Lampung dengan biaya
sekitar Rp 400
milyar.
Pembangunan jalan
kereta api lain
yang sedang dilakukan
adalah
jaringan
baru dari Tarahan ke Bakauheni sepanjang 100 km dengan
jumlah
dana diperkirakan sebesar Rp 1,3 trilyun
17
.
3. Pembangunan Angkutan Sungai, Danau dan
Penyeberangan
18
a. Pembangunan sistem transportasi sungai, danau
dan penyeberangan
di Pulau
Kalimantan yang terpadu
dengan sistem transsportasi
dasar
Trans Kalimantan;
b. Pembangunan
prasarana dermaga penyeberangan, terutama
pada
lintas-lintas
antar provinsi;
c. Pembangunan
dermaga danau di
Danau Toba, Ranau,
Kerinci,
Gajah
Mungkur, Kedung Ombo dan Cacaban;
d. Rehabilitasi
dermaga sungai di 23 lokasi
yang tersebar di
Pulau
Sumatera
dan kalimantan;
e. Rehabilitasi
dermaga penyeberangan di 23 lokasi,
di mana 5
diantaranya
milik ASDP.
16
Kompas,
20 Juli 2006.
17
Kompas,
25 April 2006.
18
Lihat
Rencana Pembangunan Jangka Menengah, op.cit, halaman 400-401.
13
4. Pembangunan Pelabuhan
a. Pembangunan
terminal khusus mobil
(car terminal) di
pelabuhan
Tanjung
Priok. Kebutuhan bongkar muat khusus mobil
di Tanjung
Priok untuk
bongkar muat mobil,
baik kebutuhan dalam
negeri
maupun ekspor
adalah sebesar 125.000-150.000 unit
per tahun.
Sebagaimana diketahui
sampai saat ini
pelabuhan Tanjung Priok
belum memiliki
terminal khusus untuk
mobil seperti di
negaranegara tetangga. Tanah seluas 22 ha untuk keperluan tersebut telah
disiapkan oleh
PT Pelindo II.
Pembangunan yang diharapkan
selesai pada
tahun 2007 tersebut
akan menelan biaya
sebesar Rp
200 milyar.
Pada tahap ke
2 akan dibangun
gudang parkir dan
workshop
dengan daya tampung sekitar 350.000 unit per tahun
19
.
b. Sebanyak
45 kepala daerah
mengajukan permintaan untuk
mengelola 145
pelabuhan lokal. Sampai
saat ini pelabuhan
yang
masih dikelola
oleh Departemen Perhubungan
sebanyak 321
pelabuhan
20
. Sesuai
dengan semangat UU No 32
tahun 2004,
secara bertahap
pelabuhan akan dilimpahkan
pengelolaannya
kepada
Pemda. Seluruh asetnyapun akan
diserahkan kepada Pemda
melalui Departemen
Keuangan. Dalam pelaksanaan
PP No 69
tahun 2001
telah dibuat Keputusan
Menteri Perhubungan tentang
Pelimpahan/Penyerahan Penyelenggaraan Pelabuhan
Laut (Unit
Pelaksana Teknis/Satuan
Kerja kepada Pemprov
dan
Pemkab/Kota), ditetapkan
diantaranya pelabuhan regional
dan
pelabuhan
lokal.
c. Rencana pembangunan Pelabuhan Internasional
Bojonegara (PIB),
di
mana pada tahap I akan membutuhkan investasi sebesar Rp 1,9
Trilyun. Ada
investor pelabuhan asing,
yaitu Port of
Singapore
19
Business
News, 22 Agustus 2006.
20
Kompas,
15 Juni 2006. Lihat juga Business News, 15 Juni 2006.
14
Authority
(PSA) dan Hutchison Ports Indonesia Pte Ltd (HPI) yang
bersaing untuk
mendapatkan kepercayaan Pemerintah
untuk
membangun
dan
mengelola Pelabuhan Internasional
Bojonegara.
PIB nantinya
akan dijadikan Hub
internasional dan Akan
dilengkapi dengan
terminal peti kemas,
curah kering, curah
cair,
multipurpose dan
Ro Ro. PIB
diharapkan bisa beroperasi
pada
tahun 2009
yang akan difungsikan
sebagai alternatif untuk
menampung kelebihan
kapasitas Pelabuhan Tanjung
Priok yang
diperkirakan akan
stagnan pada tahun
2009. Pembangunan PIB
sangat diperlukan
karena Pelabuhan Tanjung
Priok pada tahun
2009 akan
mengalami kelebihan kapasitas
sampai 4 juta
TEU’s
(twenty-foot equivalent
unit)
21
. Untuk
kepentingan PIB sudah
dikeluarkan SK
Menteri Perhubungan No KM 67/2005
tentang
Rencana Induk
Pelabuhan Bojonegara sebagai
Pedoman
Pembangunan dan
Pengembangan pelabuhan Bojonegara.
Untuk
pembangunannya dibutuhkan
lahan daratan total
seluas 500 ha
yang akan
digunakan untuk pelayanan
kepelabuhanan seluas 150
ha
dan lahan untuk jasa pendukung pelabuhan seluas 350 ha. Selain
itu, kebutuhan
areal perairan seluas
7.495 ha akan
dimanfaatkan
untuk
kegiatan pelayanan jasa kepelabuhanan seluas 2.697 ha dan
perairan
untuk kegiatan keselamatan pelayaran seluas 4.798 ha.
5. Pembangunan Transportasi Udara
a.
Pengembangan kapasitas
Bandar Udara Soekarno-Hatta yang
saat
ini
hanya mampu untuk menampung 18 juta penumpang per tahun,
sementara jumlah
penumpangnya sudah mencapai
28 juta per
tahun
22
. Pembangunan landas pacu 15.150 x 45 m2 antara lain di
Makassar, Medan,
Ternate, Sorong. Pembangunan
terminal
21
Bisnis
Indonesia, 4 Januari 2006.
22
Kompas,
15 Juni 2006.
15
penumpang
171.085 m2 antara lain di Makassar, Medan, Ternate,
Sorong
dan Lombok
23
;
b. Rehabilitasi fasilitas landasan 2,82 juta m2,
terminal 231.013 m2,
dan
bangunan operasional seluas 143.038 m2
24
;
C. Regulasi Pembangunan Infrastruktur
Transportasi
1. UU No 38 tahun 2004 tentang Jalan
Undang-undang ini
disusun dengan mempertimbangkan fungsi
jalan
sebagai
salah satu sarana transportasi yang merupakan unsur penting
dalam
pengembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara, khususnya
untuk memajukan
kesejahteraan umum. Undang-undang
ini juga
disusun untuk
mengakomodasikan berbagai kepentingan
seperti
perkembangan otonomi
daerah, tantangan persaingan
global serta
tuntutan peningkatan
peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan
jalan.
Dalam ketentuan Bab V tentang Jalan Tol antara lain dinyatakan
bahwa pengusahaan
jalan tol dilakukan
oleh Pemerintah dan/atau
badan
usaha yang memenuhi persyaratan.
2. UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran
Undang-undang
No 17 tahun 2008 tentang pelayaran merupakan suatu
perwujudan upaya
untuk meningkatkan dan
mendorong kemajuan
kegiatan pelayaran
di Indonesia sebagai
negara maritim. Undangundang
ini juga membuka
kemungkinan partisipasi swasta
dalam
pengelolaan pelabuhan
yang selama ini
dilakukan secara monopoli.
Partisipasi swasta
tersebut termasuk investor
asing yang
dimungkinkan
untuk memiliki saham yang cukup besar.
23
Lihat
Rencana Pembangunan Jangka Menengah, op.cit, halaman 412.
16
3. UU No 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian
Sebagai
salah satu moda transportasi darat yang strategis, pengelolaan
perkereta-apian memerlukan
penataan agar tidak
saja mampu
menjamin keselamatan
dan keamanan yang
lebih baik, namun
juga
terjangkau oleh
masyarakat. Dalam rangka
mencapai tujuan itu,
terbukanya
kemungkinan partisipasi masyarakat melalui swasta, baik
asing maupun
lokal menjadi suatu
kebutuhan yang perlu
diakomodasikan. Undang-undang
ini dirumuskan untuk
menjawab
kebutuhan
tersebut.
4. UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan
UU No
1 tahun 2009
tentang Penerbangan menggantikan
UU
Penerbangan sebelumnya,
yaitu UUU No 15 tahun
1992. Dari sisi
materi muatan,
UU ini boleh
dikatakan sangat komprehensif
karena
terdiri dari
24 Bab dan
466 pasal. Hal
itu tidak mengherankan,
mengingat adanya
prasyarat dari Uni
Eropa tentang dimasukkannya
ketentuan-ketentuan tertentu,
khususnya yang menyangkut
Keselamatan Penerbangan
dalam Undang-Undang Penerbangan
tersebut
apabila larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia ke
Uni
Eropa hendak dicabut. Kebijakan langit
terbuka (open sky policy)
juga tercermin
dari undang-undang ini,
yang tidak hanya
meliputi
pemilikan dan
pengoperasian maskapai penerbangan,
namun juga
mencakup
pengelolaan bandar udara.
5. UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-undang tentang
Penanaman Modal memang
dirancang
sebagai
undang-undang yang diharapkan mampu meningkatkan daya
saing investasi
Indonesia. Terdapat berbagai
bentuk insentif
penanaman modal
yang ditawarkan, termasuk
namun tidak terbatas
24
Ibid.
17
pada: perlakuan
yang sama terhadap
investor asing maupun
lokal;
jaminan tidak
dilakukannya nasionalisasi dan
pengembilalihan hak
milik asing;
terbukanya bidang-bidang usaha
untuk kegiatan
penanaman modal
asing; tidak adanya
keharusan divestasi;
kemungkinan kepemilikan
saham asing yang
lebih besar; lebih
terbukanya kemungkinan
ekspatriat bekerja di
Indonesia; dan lainlain.
6. Undang-undang
No 7 tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah
terakhir
dengan UU No 39 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Sebagai insentif
bagi kegiatan investasi,
pernah diterapkan berbagai
skema
insentif pajak, seperti: tax holiday; amortisasi yang dipercepat,
keringanan pajak,
dsb. Skema insentif
pajak tersebut berubah
dari
waktu ke
waktu seiring dengan
perubahan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
Kepentingan investor yang
perlu diperhatikan
dalam pembangunan
investasi infrastruktur adalah
adanya kepastian
hukum
dan konsistensi implementasi di bidang perpajakan. Tentu saja
beberapa skema
insentif yang bersifat
khusus juga perlu
dipertimbangkan.
7. Undang-undang No 10 tahun 1995 tentang
Kepabeanan
Untuk mendorong
investasi, dalam UU No 10
tahun 1995 tentang
Kepabeanan
terdapat
beberapa fasilitas dari
sisi kepabeanan yang
diberikan kepada
investor, termasuk namun
tidak terbatas pada
pembebasan bea
masuk barang modal,
percepatan pelayanan
kepabeanan, pemberian
prioritas, dsb. Fasilitas
tersebut dapat
diberikan,
misalnya terhadap barang modal, apabila telah dimasukkan
dalam
”master list” barang modal yang disetujui oleh BKPM. Upaya
penyempurnaan UU
kepabeanan saat ini
sedang dilakukan dalam
rangka:
penyederhanaan prosedur pemeriksaan kepabeanan; perluasan
18
fungsi tempat
penimbunan berikat; pengembangan
sistem EDI
(”electronic data
interchange”); penetapan kriteria
yang jelas jalur
hijau
dan jalur merah.
8. Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Atas dasar
perundang-perundangan yang berlaku
di bidang
ketenagakerjaan
saat ini, masih terdapat beberapa masalah yang masih
mengganjal dari
sisi kepentingan investor
yang memerlukan
penyempurnaan.
Ketentuan-ketentuan di bidang ketenagakerjaan yang
masih perlu
direvisi menyangkut, antara
lain: upah; pemutusan
hubungan kerja;
pesangon; cuti; penyelesaian
sengketa perburuhan;
maraknya demo
dan pemogokan buruh,
masalah outsourcing dan
kontrak kerja,
dan lain-lain Disamping
itu diperlukan pula
insentif
yang
berkaitan dengan ijin penggunaan tenaga kerja asing.
9. Undang-undang No 9 tahun 1992 tentang
Keimigrasian
Bentuk pelayanan
keimigrasian yang baik,
termasuk ijin tinggal
sementara,
visa kerja merupakan bentuk insentif
bagi investor dalam
melakukan
kegiatan investasi.
10. Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Agraria
Undang-undang No
5 tahun 1960
tentang Agraria memberikan
hakhak tertentu atas
tanah seperti hak
milik, hak guna
usaha, hak guna
bangunan, hak
pakai , dan
lain-lain Namun khusus
mengenai hak
milik
tidak dapat diberikan kepada individu
atau badan hukum asing.
Salah satu
bentuk insentif bagi
kegiatan investasi dari
segi hak-hak
atas
tanah adalah adanya upaya untuk memperpanjang jangka waktu
hak-hak atas
tanah seperti hak
guna usaha, hak
guna bangunan dan
hak
pakai, di mana hak-hak tersebut dapat dijadikan hak tanggungan.
19
11. Peraturan Pemerintah No 15 tahun 2005 tentang
Jalan Tol
Peraturan
Pemerintah No 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol dirumuskan
sebagai salah
satu bentuk penjabaran
dari UU No
38 tahun 2004
tentang
Jalan. Peraturan Pemerintah ini mengatur secara rinci berbagai
hal yang
berkaitan dengan Jalan
Tol, yang meliputi,
antara lain:
ketentuan umum;
penyelenggaraan jalan tol;
pengaturan jalan tol;
pembinaan jalan
tol; pengusahaan jalan
tol; pengawasan jalan
tol;
Badan
Pengatur Jalan Tol (BPJT); hak dan kewajiban pengguna dan
badan usaha
jalan tol; ketentuan
peralihan dan ketentuan
penutup.
Dari keseluruhan
ketentuan-ketentuan yang mengatur
jalan tol, yang
paling relevan
untuk diuraikan di
sini adalah menyangkut
pengusahaan jalan
tol
25
. Pengusahaan
jalan tol yang
meliputi
pendanaan, perencanaan
teknis, pelaksanaan konstruksi,
pengoperasian dan
atau pemeliharaan dapat
dilakukan oleh
Pemerintah
dan/atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan. Oleh
karena itu
sepanjang dipenuhi persyaratan-persyaratan yang
ditetapkan,
maka Badan Usaha (termasuk swasta) dapat berpartisipasi
dalam
pengusahaan jalan tol. Dengan demikian Peraturan Pemerintah
ini
memberi landasan hukum yang cukup kuat bagi partisipasi sektor
swasta. Ketentuan-ketentuan mengenai
pengusahaan jalan tol
secara
rinci mengatur
hal-hal yang terkait
dengan pengusahaan jalan
tol,
seperti: bentuk pengusahaan
26
;
pendanaan
27
;
persiapan pengusahaan
28
;
perencanaan teknis
29
; pengadaan
tanah
30
; pelaksanaan
konstruksi
31
;
pengoperasian
32
;
pemeliharaan
33
;
pelelangan pengusahaan jalan tol
34
;
perjanjian
pengusahaan jalan tol
35
;
dan tarif tol
36
.
25
Ketentuan
mengenai pengusahaan jalan tol terdapat pada Bab V tentang Pengusahaan Jalan
Tol,
mulai
pasal 19 sampai dengan pasal 68.
26
Pasal
19-22.
27
Pasal
23.
28
Pasal
24-26.
29
Pasal
27.
30
Pasal
28-29.
31
Pasal
30-35.
32
Pasal
36-52.
20
12. Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2006 tentang
Jalan
13. Peraturan
Pemerintah No 23
tahun 2005 tentang
Pengelolaan
Keuangan
Badan Layanan Umum
14. Peraturan
Pemerintah No 87
tahun 2003 tentang
Tim Nasional
Peningkatan
Ekspor dan Peningkatan Investasi.
15. Peraturan Pemerintah No
62 tahun 2008 tentang Perubahan
atas
Peraturan Pemerintah
No 1 tahun
2007 tentang Fasilitas
Pajak
Penghasilan untuk
Penanaman Modal di
bidang usaha-usaha
tertentu
dan/atau di daerah tertentu.
16. Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2000 tentang
Pajak Daerah.
17. Peraturan
Pemerintah No 25
tahun 2000 tentang
Kewenangan
Pemerintah
dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah otonom.
18.
Peraturan Pemerintah No
45 tahun 1996
tentang Pajak
Penghasilan atas
Penghasilan Wajib Pajak
Badan untuk Usaha
Industri
tertentu.
19. Peraturan Pemerintah No 44 tahun 1997 tentang
Kemitraan.
20. Peraturan
Pemerintah No 15 tahun 1999
tentang Bentuk-bentuk
Tagihan tertentu
yang Dapat Dikompensasikan sebagai
Setorah
Saham;
33
Pasal
53-54.
34
Pasal
55-63.
35
Pasal
64-65.
36
Pasal
66 -68.
21
21. Instruksi
Presiden No 3
tahun 2006 tentang
Paket Kebijakan
Perbaikan
Iklim Investasi
Instruksi
Presiden ini merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki
iklim
investasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia.
Dalam lampiran
dari Instruksi ini
dijabarkan dalam 5
aspek
37
, 19
kebijakan
38
, 85
Program aksi (”action plan”) yang dilengkapi dengan
keluaran, sasaran
waktu dan penanggungjawab masing-masing
39
.
Instruksi
Presiden ini tentu saja mencerminkan keseriusan Pemerintah
(minimal Presiden)
dalam upaya mendongkrak
iklim investasi
Indonesia, hal
mana tentu saja
dapat dianggap merupakan
bentuk
jaminan dan
perlindungan investasi. Namun
dalam perjalanannya,
yang paling
sulit adalah pada
konsistensi dan kesungguhan
dalam
tataran implementasinya, hal
mana merupakan salah
satu kelemahan
mendasar kita
yang telah banyak
diketahui, dan bahkan
seringkali
dikeluhkan
oleh kalangan investor.
22. Peraturan
Presiden No 67
tahun 2005 tentang
Kerjasama
Pemerintah
dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
Peraturan Presiden
ini memberikan dasar
hukum bagi kerjasama
antara Pemerintah
dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan
Infrastruktur, termasuk
infrastruktur transportasi. Dalam
konteks
37
Meliputi
aspek umum; Kepabeanan dan Cukai; Perpajakan; Ketenagakerjaan; Usaha Kecil,
Menengah
dan Koperasi.
38
Memperkuat
kelembagaan pelayanan investasi; sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan
daerah;
kejelasan ketentuan mengenau kewajiban AMDAL; percepatan arus barang;
pengembangan
peranan kawasan berikat; pemberantasan penyeleundupan; debrokratisasi di bidang
cukai;
insentif perpajakan untuk investasi; melaksanakan “self assessment” secara
konsisten;
perubahan
PPN untuk mempromosikan ekspor; melindungi hak wajib pajak; mempromosikan
transparansi
dan disclosure; menciptakan iklim hubungan industr ial yang mendukung perluasan
lapangan
kerja; perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri; penyelesaian berbagai
perselisihan
hubungan industrial secara cepat, murah dan berkeadilan; mempercepat proses
penerbitan
perijinan ketenagakerjaan; penciptaan pasar tenaga kerja fleksibel dan
produktif;
terobosan
paradigma pembangunan transmigrasi dalam rangka perluasan lapangan kerja; dan
pemberdayaan
usaha kecil, menengah dan koperasi.
39
Untuk
analisis terhadap Inpres No 3 tahun 2006, baca: Tulus Tambunan, “Iklim
Investasi di
Indonesia:
Masalah, Tantangan dan Potensi”, Kadin Indonesia-Jetro 2006. Baca juga: M
Ichsan
Modjo,
“Implementasi Paket Kebijakan Investasi”, dalam Jawa Pos, 13 Maret 2006.
22
tersebut maka
peraturan presiden ini
lebih memberikan kepastian
hukum bagi
partisipasi badan hukum
(swasta) yang mau
melakukan
investasi dalam
pembangunan infrastruktur transportasi.
Salah satu
ketentuan yang penting
dalam Peraturan Presiden No 67
tahun 2005
dikaitkan
dengan jaminan dan perlindungan investasi adalah ketentuan
yang mengatur
tentang Pengelolaan Resiko
dan Dukungan
Pemerintah
40
. Minimal
dalam ketentuan tersebut
diatur hal-hal yang
berkaitan dengan
pengelolaan risiko (”risk
management”), termasuk
pembebanan
risiko bersama (”risk burden sharing”) antara Pemerintah
(Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah)
dengan Badan Usaha
sesuai dengan
isi kerjasama. Ketentuan
ini tentu saja
secara teoritis
akan mampu
memberikan ketenangan pada
investor karena dengan
ikut menanggung
resiko maka Pemerintah
akan serius dan
sangat
terlibat
dalam menunjang keberhasilan investasi.
23. Keputusan
Presiden No 80
tahun 2003 tentang
Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana
diubah, terakhir
dengan perubahan ke
Enam dengan Peraturan
Presiden
No 85 tahun 2006
Keputusan Presiden
No 80 tahun
2003 beserta segenap
perubahannya
41
dirancang sebagai pedoman
agar pengadaan
barang/jasa Pemerintah
yang dibiayai dengan
APBN/APBD dapat
dilaksanakan dengan
efektif dan efisien
dengan prinsip persaingan
sehat,
transparan, terbuka, dan perlakuan yang
adil bagi semua pihak,
sehingga
hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi fisik,
keuangan
maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan
40
Periksa
ketentuan Peraturan Presiden No 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan
Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, khususnya Bab VI tentang Pengelolaan
Resiko dan
Dukungan
Pemerintah, Pasal 16 dan 17.
41
Perubahan
yang dilakukan antara lain dengan: Keppres No 61 tahun 2004; Peraturan Presiden
No
32 tahun 2005; Peraturan Presiden No 70 tahun 2005; Peraturan Presiden No 8
tahun 2006;
Peraturan
Presiden No 79 tahun 2006; dan terakhir (ke enam) dengan Peraturan Presiden No
85
tahun
2006.
23
pelayanan masyarakat
42
. Ketentuan-ketentuan pokok
yang diatur
dalam Keppres
ini, antara lain:
ketentuan umum; pengadaan
yang
dilaksanakan penyedia
barang/jasa; swakelola; pendayagunaan
produksi
dalam negeri dan peran serta usaha kecil termasuk koperasi
kecil; pembinaan
dan pengawasan; pengembangan
kebijakan
pengadaan barang/jasa
Pemerintah; ketentuan lain-lain;
ketentuan
peralihan;
dan ketentuan penutup. Keppres ini juga dilengkapi dengan
penjelasan dan
lampiran. Lampiran I
terdiri dari 5 bab
43
sedangkan
Lampiran
II terdiri dari 2 contoh formulir
44
. Apabila diteliti ketentuan
yang
terdapat pada Keppres No 80 tahun 2003
beserta perubahannya,
akan nampak
bahwa pengaturannya sangat
dipengaruhi dengan
pembahasan pada
forum World Trade
Organization (WTO),
khususnya
yang berkaitan dengan ”Government Procurement”. Upaya
mengikuti standard
internasional dalam pengadaan
barang/jasa
pemerintah tentu
saja merupakan insentif,
jaminan dan perlindungan
terhadap badan
usaha asing yang
mungkin ikut berpartisipasi dalam
kegiatan
pengadaan barang/jasa pemerintah.
24. Peraturan
Presiden No 36
tahun 2005 sebagaimana
diubah
dengan
Peraturan Presiden No 65 tahun 2005 tentang Pengadaan
Lahan
bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Secara umum
ketentuan dalam kedua
Peraturan Presiden ini
dimaksudkan untuk
membantu proses pengadaan
tanah bagi
kepentingan umum,
termasuk untuk kepentingan
investasi di bidang
infrastruktur transportasi.
Peraturan tersebut akan
dapat memberikan
42
Paragraph
1 konsiderans menimbang pada Keppres No 80 tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan
Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah.
43
Terdiri
dari : persiapan pengadaan barang/jasa Pemerintah; proses pengadaan barang/jasa
yang
memerlukan
penyediaan barang/jasa; pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan swakelola;
lainlain; serta pelaksanaan penilaian kualifikasi. Yang menarik dari Bab IV
(lain-lain) adalah
pengadaan
barang/jasa dengan dana pinjaman/hibah luar negeri; serta pengadaan barang/jasa
dengan
E-procurement.
24
kepastian
hukum lebih baik bagi kalangan investor yang berpartisipasi
dalam pembangunan
infrastruktur transportasi, terutama
dari sisi
waktu
dan biaya pembebasan tanah yang harus
dikeluarkan. Ini tentu
saja dapat
diklasifikasikan sebagai bentuk
jaminan dan perlindungan
investasi.
Secara eksplisit misalnya dinyatakan, bahwa yang termasuk
pembangunann untuk
kepentingan umum meliputi:
jalan umum dan
jalan
tol
45
;
rel kereta api
46
;
pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api
dan
terminal
47
;
dan lain-lain.
25. Peraturan Presiden No 42 tahun 2005 tentang Komite
Kebijakan
Percepatan
Penyediaan Infrastruktur
Pertimbangan dari
dikeluarkannya Peraturan Presiden
No 42 tahun
2005
tentang Komite Kebijakan Percepatan
Penyediaan Infrastruktur
adalah untuk
lebih mengefektifkan koordinasi
dalam rangka
percepatan
penyediaan infrastruktur melalui penyempurnaan tugas dan
fungsi serta
keanggotaan komite dimaksud
48
. Komite
yang diketuai
Menko Perekonomian
dan bertanggungjawab kepada
Presiden ini
mempunyai
tugas pokok
49
:
i. merumuskan
strategi dalam rangka
koordinasi pelaksanaan
penyediaan
infrastruktur;
ii. mengkoordinasikan dan
memantau pelaksanaan kebijakan
percepatan penyediaan
infrastruktur oleh Menteri
terkait dan
Pemerintah
Daerah;
44
2
contoh formulir, masing-masing: contoh formulir penilaian kualifikasi pekerjaan
jasa
pemborongan,
pemasukan barang/jasa lainnya; dan contoh formulir penilaian kualifikasi
pekerjaan
jasa
konsultasi.
45
Lihat
ketentuan pasal 5 huruf a Peraturan Presiden No 65 tahun 2006 tentang Pengadaan
Tanah
bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
46
Ibid.
47
Ibid,
pasal 5 huruf c.
48
Komite
dimaksud di sini adalah Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur
atas
dasar
Keputusan Presiden No 81 tahun 2001.
49
Ketentuan
Pasal 2 Peraturan Presiden No 42 tahun 2005.
25
iii. merumuskan kebijakan pelaksanaan kewajiban
pelayanan umum
(”public service
obligation”) dalam percepatan
penyediaan
infrastruktur;
iv. menetapkan
upaya pemecahan berbagai
permasalahan yang
terkait
dengan percepatan penyediaan infrastruktur.
Infrastruktur dalam
Peraturan Presiden ini
mencakup: infrastruktur
transportasi, disamping
infrastruktur lainnya seperti
jalan, pengairan,
air minum
dan sanitasi, telematika,
ketenagalistrikan dan
pengangkutan
minyak dan gas bumi
50
.
26. Instruksi
Presiden No 5
tahun 2003 tentang
Paket Kebijakan
Ekonomi Menjelang
dan sesudah berakhirnya
Program
Kerjasama
dengan International Monetary Fund
Inpres
ini memuat paket kebijakan ekonomi pasca kerjasama dengan
IMF yang terutama dilakasanakan pada tahun 2003
dan 2004 dengan
sasaran pokok:
memelihara dan memantapkan
stabilitas ekonomi
makro
yang sudah dicapai; melanjutkan restrukturisasi dan reformasi
sektor
keuangan; dan meningkatkan investasi, ekspor dan penciptaan
lapangan kerja.
Paket kebijakan ekonomi
ini dilengkapi dengan
matriks yan
g berisi butir-butir
kebijakan, rencana tindak,
keluaran,
sasaran
waktu, pelaksana dan penanggung jawabnya. Sifatnya cukup
komprehensip dan
dalam banyak hal,
baik format maupun
substansinya
diambil alih oleh Inpres No 3 tahun 2006, yang banyak
berbeda
lebih kepada sasaran waktunya.
27. Keputusan
Presiden No 97
tahun 1993 tentang
Tata Cara
Penanaman Modal
sebagaimana telah beberapa
kali diubah,
terakhir
dengan Keputusan Presiden No 117 tahun 1998;
26
28. Keputusan
Menteri Keuangan No
518/KMK.01/2005 tanggal 31
Oktober 2005
tentang Pembentukan Komite
Pengelolaan Resiko
atas
Penyediaan Infrastruktur
Keputusan Menteri
Keuangan ini dikeluarkan
guna mendukung
penyediaan
infrastruktur yang memadai dan
berkesinambungan dalam
pengelolaan
resiko yang dihadapi oleh Pemerintah dalam penyediaan
infrastruktur
tersebut
51
.
Untuk itu dipandang perlu untuk membentuk
suatu Unit
Kerja di lingkungan
Departemen Keuangan yang
akan
bertugas untuk
mengidentifikasi,
mengevaluasi dan mengendalikan
resiko yang
berpotensi membebani keuangan
Negara. Sebelum unit
kerja tersebut
terbentuk maka perlu
dibentuk Suatu Komite
Pengelolaan Resiko
yang melaksanakan fungsi
pengelolaan resiko
atas penyediaan
infrastruktur sampai dengan
terbentuknya unit kerja
dimaksud.
29. Peraturan
Menteri Keuangan No
38/PMK.01/2006 tentang
Petunjuk
Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Resiko atas
Penyediaan
Infrastruktur
Perumusan Peraturan
Menteri Keuangan ini
dimaksudkan sebagai
petunjuk dalam
Pelaksanaan Pengendalian dan
Pengelolaan resiko
atas Penyediaan
Infrastruktur. Ketentuan-ketentuan yang
penting
dalam Peraturan
Menteri tersebut, antara
lain: pembentukan Unit
Pengelola Resiko;
pembagian resiko atas
resiko politik (”political
risk”),
resiko kinerja proyek (”project performance risk”), dan resiko
permintaan
(”demand risk”); serta pedoman yang
mengatur tentang
ruang
lingkup pengelolaan resiko, jenis resiko dan bentuk dukungan
Pemerintah; kriteria
pemberian dukungan Pemerintah;
prosedur
50
Ibid,
Pasal 5.
51
Lihat
konsiderans Menimbang huruf a,b, dan c dari Keputusan Menteri Keaungan No
518/KMK.01/2005
tanggal 31 Oktober 2005.
27
alokasi dana
dalam rangka pengelolaan
resiko atas penyediaan
infrastruktur,
serta pelaporan dan pengawasan.
30. Peraturan
Menteri Keuangan No
136/PMK.05/2006 tanggal 27
Desember
2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan
No
119/PMK.05/2006 tentang Tata Cara
Penyediaan, Pencarian
dan
Pengelolaan Dana Dukungan Infrastruktur
31. Surat
Edaran Menteri Pekerjaan
Umum No 11/SE/M/2005
tanggal
16 November 2005 tentang Pedoman Penyesuaian
Harga
Satuan
dan Nilai Kontrak
Surat Edaran
Menteri ini mengatur
tentang Penyesuaian Harga
Satuan dan
Nilai Kontrak Kegiatan
Pemerintah tahun Anggaran
2005 dalam
rangka menyamakan persepsi
dan tertib administrasi
dalam implementasinya. Ketentuan-ketentuan yang
diatur meliputi:
ketentuan umum;
lingkup eskalasi harga;
cara perhitungan eskalasi
harga; sumber
dana; mekanisme pengajuan
eskalasi harga;
mekanisme pengajuan
revisi DIPA; serta
administrasi kontrak.
Ketentuan ini
juga penting untuk
diketahui oleh kalangan
investor
guna dijadikan
sebagai pedoman dalam
penghitungan harga sesuai
dengan
kontrak mereka (baik barang maupun jasa).
32.
Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No 295/PRT/M/2005
tentang
Badan Pengatur jalan Tol;
33. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No
11/PRT/M/2006 tentang
Wewenang dan
Tugas Penyelenggaraan Jalan
Tol pada
Direktorat
Jendral Bina Marga, Badan Pengatur Jalan Tol dan
Badan
Usaha Jalan Tol;
28
34. Peraturan
Gubernur Provinsi DKI
Jakarta No 9
tahun 2006
tentang Penguasaan
Perencanaan/Peruntukan
Bidang Tanah
untuk Pelaksanaan
Pembangunan Trace Jalan
Tanah Tinggi
Barat/Timur
Kemayoran Gempol di Kelurahan Harapan
Mulya,
Kelurahan
Bungur, Kelurahan Utan Panjang, Kelurahan Kebon
Kosong,
Kelurahan Serdang, Kecamatan Senen, dan Kecamatan
Kemayoran
Kotamadya Jakarta Pusat;
29
BAB III
SKEMA
JAMINAN DAN PERLINDUNGAN INVESTASI DALAM
PEMBANGUNAN
INFRASTUKTUR TRANSPORTASI
A. Jaminan Pemerintah atas Kerugian yang Mungkin
Timbul
1. Revenue Shortfall Guarantee
Bentuk jaminan
yang diberikan oleh
Pemerintah dalam hal
pendapatan
(”revenue”) yang
diperoleh oleh investor
berada di bawah
dari angka
pendapatan
yang diperkirakan.
2. Dana Penjaminan Infrastruktur
Guna memberikan
jaminan terhadap investasi
di bidang infrastruktur,
Pemerintah
menempuh kebijakan menempatkan dana penjaminan
dalam
suatu rekening
khusus yang akan
menampung dana-dana yang
terkait
dengan pengembangan
infrastruktur. Rekening ini
akan dikelola oleh
Dirjen Perbendaharaan Negara.
Pada tahun 2006
Kepala Badan
Pengkajian
Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional (Bapekki)
Departemen Keuangan
telah merekomendasikan tujuh
proyek jalan tol
yang dapat
memperoleh penjaminan kepada
Menteri Keuangan
52
. Dana
yang tersimpan
dalam rekening tersebut
terpisah dari alokasi
anggaran
infrastruktur yang ditetapkan untuk kementrian dan lembaga.
Kondisi itu
disebabkan karena
rekening tersebut akan
difungsikan juga sebagai
penampung dana
pihak ketiga yang
bekerjasama dengan pemerintah
dalam membangun
proyek infrastruktur. Penggunaan
dana itu bisa
bersifat
belanja atau penyertaan.
52
Pernyataan
yang disampaikan oleh Kepala Bapekki pada tanggaal 2 Juni 2006. Adapun ke tujuh
proyek
tol itu adalah: Depok-Antasari; Cinere-Jagorawi; Makassar Seksi IV;
Surabaya-Mojokerto;
Kanci-Pejagaan;
dan Mojokerto-Kertosono.Lihat Kompas, 5 Juni, 2006.
30
3. Comfort Letter (Support Letter/Administrative
Letter)
Secara
umum diartikan sebagai:
”A
letter sent by State Authority following a notification for exemption
or
negative clearance of commercial agreement that may infringe certain
law”
53
.
Sementara
itu Black’s Law Dictionary merumuskan pengertian ”Comfort
Letter” sebagai:
”A Letter from
an accounting firm
stating that while
certain informal
procedures were followed
which did not
bring to light
material changes
in the financial
statements since the
date of the
last
audit
indicated, only an audit with established auditing procedures can be
relied
upon to furnish such information”
54
.
Meskipun “comfort
letter” tidak memiliki
kekuatan mengikat secara
hukum, namun
pada umumnya tidak
dilanggar oleh otoritas
yang
membuatnya.
4. Risk Sharing
Merupakan
skema jaminan yang diberikan dalam
pembangunan Jakarta
Mmonorail. Skema
Risk Sharing ini
diterapkan dalam hal
penumpang
(monorail) di
bawah 160.000 orang
per tahun. Dalam
hal jumlah
penumpang
berada di bawah target, maka pemerintah akan bersama-sama
menanggung
resikonya.
53
Lihat
Martin A Elizabeth (Ed), A Dictionary of Law, Fifth Edition, Oxford University
Press,
Oxford,
2003, halaman 89. Bandingkan dengan pengertian yang dikemukakan oleh I.P.M
Ranuhandoko,
Terminologi Hukum , Inggris-Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, 2003, halaman
141,
yang merumuskan Comfort Letter sebagai: “Surat rincian mengenai keuangan yang
dibuat
oleh
seorang akuntan, yang sulit dimengerti oleh orang awam”.
54
Black,
Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, West Publishing Co,
1979,
halaman
242.
31
B. Jaminan dalam Pengadaan Tanah
1. Pemerintah
menegaskan siap berbagi
resiko dengan investor
dalam
proses
pembebasan lahan untuk jalan tol. Bentuknya adalah Pemerintah
siap menanggung
kelebihan harga tanah
yang dibebaskan dari
harga
tanah
yang telah disepakati sebelumnya;
2. Pemerintah mencoba memberi kepastian kepada
investor dengan ”land
capping”,
artinya membatasi harga tanah yang dibebaskan. Jika terjadi
kelebihan harga,
maka 10% kelebihan
harga ditanggung oleh
investor
sedangkan
90 ditanggung pemerintah yang sumbernya dari APBN.
3. Kebijakan
tersebut selain memberikan
kepastian dalam proses
pembebasan
dan pembagian resiko, Pemerintah juga akan memperbaiki
masalah
kepastian waktu untuk pembebasan lahan;
4. Juga
dilakukan revisi terhadap
Peraturan Presiden No
36 tahun 2005
mengenai Pengadaan
Tanah bagi pelaksanaan
Pembangunan untuk
Kepentingan
Umum yaitu dengan Perpres No 65 tahun 2006.
5. Pemerintah juga membentuk Badan Layanan Umum
(BLU) yang akan
mengelola
dana bergulir untuk pembebasan tanah.
C. Jaminan Percepatan Pelayanan Administratif
Salah satu
faktor yang mengurangi
daya saing investasi
Indonesia adalah
lemahnya ”governance”
yang disebabkan oleh
buruknya birokrasi yang
mengakibatkan ekonomi
biaya tinggi (”high
cost ekonomy”). Sebagai
gambaran untuk
melakukan kegiatan usaha
di Indonesia dibutuhkan
12
prosedur
yang memakan waktu rata-rata 151 hari.
32
Pemerintah tampaknya
menyadari hal ini,
oleh karenanya sedang
diupayakan untuk
menciptakan iklim usaha
yang lebih baik
dengan cara
reformasi birokrasi.
Prosedur dan jangka
waktu memulai usaha
juga
dipersingkat menjadi
30 hari. Untuk
menciptakan perbaikan administrasi
serta
pelayanan publik, saat ini sedang dibahas Rancangan Undang-Undang
tentang Administrasi
dan Rancangan Undang-undang
tentang Pelayanan
Publik.
D. Jaminan Kepastian Hukum
Dari hasil
penelitian yang dilakukan
oleh Political and
Economy Risk
Consultancy (PERC)
yang berbasis di
Hongkong, dari penelitiannya
terhadap Sistem
Hukum di 12
Negara di Asia dari sudut
Ekspatriat yang
bekerja
di negara-negara tersebut pada tahun 2005 menilai Indonesia adalah
negara yang
terburuk sistem hukumnya
55
. Unsur-unsur
dari sistem hukum
yang
diteliti adalah: sistem peradilan, kepolisian, tingkat korupsi, penegakan
hukum kontrak,
penegakan HAKI, keamanan,
penyelesaian sengketa serta
aturan
nilai tukar.
Buruknya sistem
hukum serta rendahnya
jaminan kepastian hukum
memberikan
kontribusi terhadap rendahnya daya saing investasi Indonesia.
Bahkan, pada
tahun 2006 daya
saing investasi Indonesia
menurun dari
peringkat 131
pada tahun 2005
menjadi peringkat 135
pada tahun 2006.
Menyadari
akan hal itu, beberapa langkah yang dilakukan Pemerintah untuk
memperbaikinya,
sepanjang yang dapat diobservasi, meliputi:
1. Upaya pemberantasan korupsi;
55
Dibandingkan
dengan Vietnam, China, Philipina, Thailand, India, Malaysia, Taiwan, Korea
Selatan,
Jepang, Hongkong dan Singapura. Untuk selengkapnya lihat, “Hongkong, Singapore
Best
Judicial
System, RI The Worst”, Jakarta Post, 3 June 2005.
33
2. Meratifikasi
perjanjian-perjanjian
internasional yang terkait
dengan
investasi, seperti:
WTO Agreement
56
, Conventionon
Settlement of
Disputes Between
States and Nationals
of Other States
57
; Convention
on
the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
58
;
3. Memperbaiki
sistem peradilan melalui
peningkatan pengawasan
terhadap kinerja
aparatur penegak hukum
melalui peningkatan peran
kelembagaan seperti:
Komisi Yudisial, Komisi
Kepolisian, Komisi
Kejaksaan;
4. Peningkatan penegakan hukum di bidang HAKI;
5. Menyediakan
mekanisme penyelesaian sengketa
di luar peradilan
melalui arbitrase
dan ADR yaitu
dengan penetapan UU
no 30 tahun
1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
Hal yang
masih belum ditangani
dengan baik adalah
masalah penegakan
hukum
kontrak, hal itu tercermin bahkan dari sikap pemerintah menghadapi
kasus-kasus di
bidang kontrak investasi,
seperti: Kasus Karaha
Bodas,
Kasus
Put-Option Cemex atas Semen Gresik,
Kasus Kartika Plaza, Kasus
Chung
Hwa, dan lain-lain
E. Jaminan atas Kerusuhan, Pengambilalihan
Asset, dan lain-lain
Salah satu
bentuk jaminan dan
perlindungan yang dikehendaki
investor
dalam investasi
infrastruktur transportasi adalah
terhadap situasi yang
berkaitan dengan
kerusuhan dan pengambilalihan aset
investor yang
mengakibatkan kerugian
pada investor. Kasus-kasus
serupa seperti kasus
Dipasena,
Spin-off
Semen Padang dan
Kartika Plaza telah
menambah
kekhawatiran bagi calon investor yang harus disikapi
secara jelas dan tegas
oleh pemerintah.
Kesungguhan aparat pemerintah
dalam menangani kasus
56
Diratifikasi
dengan UU No 7 tahun 2004.
57
Diratifikasi
dengan UU No 5 tahun 1968.
58
Diratifikasi
dengan Keppres No 34 tahun 1981.
34
keamanan
investasi akan memberi pengaruh positif terhadap iklim investasi
Indonesia.
Jaminan atas
kerusuhan, pengambilalihan aset
biasanya dituangkan dalam
perjanjian bilateral
mengenai promosi dan
perlindungan investasi.
Ketentuan
jaminan tersebut diberlakukan secara timbal balik (”reciprocal”).
Sayang sekali
dalam prakteknya seringkali
Pemerintah terkesan
membiarkan
terjadinya kerusuhan dan pengambilalihan aset asing yang pada
akhirnya merugikan
investor. Kejadian tersebut
dari sisi kepentingan
investor mencerminkan
tidak adanya jaminan
kepastian dalam penegakan
hukum.
F. Jaminan Atas Perlakuan yang Sama
Adanya jaminan
perlakuan yang sama
(”equal treatment”) yang
diberikan
oleh ”host
country” terhadap investor
merupakan sesuatu hal
yang
menciptakan
keadilan bagi investor dan karenanya akan membawa dampak
positif terhadap
iklim investasi. Pemerintah
Indonesia dalam RUU
Penanaman
Modal yang baru telah mengakomodasikan hal tersebut. Setelah
diundangkan
maka jaminan tersebut diformalkan, hal mana akan disambut
baik oleh
para investor. Tantangannya
adalah terletak pada
sejauh mana
konsistensi dalam pelaksanaannya. Ini
yang sering menimbulkan
permasalahan,
terutama pengawasan atas implementasi aturan yang berlaku.
35
BAB IV
KONTRAK-KONTRAK
INVESTASI PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR
DI BIDANG TRANSPORTASI DENGAN
POLA
BUILD, OPERATE AND TRANSFER (BOT)
A. Umum
Pola yang
tepat dalam investasi
infrastruktur pada sektor
transportasi
adalah
pola Build, Operate and
Transfer (BOT). Pola ini dipandang tepat
terutama karena
resiko investasi selama
pembangunan dan
pengoperasiannya berada
pada pihak swasta,
sementara Pemerintah akan
memperoleh fasilitas
infrastruktur tersebut pada
masa akhir konsesi.
Kontrak-kontrak yang
terkait dengan pembangunan
infrastruktur
transportasi dengan
pola BOT meliputi,
antara lain: concession
contract;
construction
contract; shareholders agreement; syndicated loan agreement;
operation agreement;
off-take agreement; supply
agreement dsb. Bab
ini
akan
membahas bentuk-bentuk jaminan dan perlindungan investasi terkait
dengan kontrak-kontrak pembangunan
infrastruktur, khususnya
transportasi
tsb.
B. Beberapa Pengertian dan Pemahaman Pokok pada
Kontrak-Kontrak
BOT
1. Peristilahan dan Batasan
Secara umum
dipahami bahwa istilah
BOT digunakan untuk
semua tipe
“Concession Agreement”,
namun demikian banyak
variasi
peristilahan/akronim
lain yang digunakan, antara lain:
- FBOOT (Finance, Build, Own, Operate,
Transfer);
- BOO (Build, Own, Operate);
36
- BOL (Build, Operate, Lease);
- DBOM (Design, Build, Operate, Maintain);
- DBOT (Design, Build, Operate, Maintain);
- BOD (Build, perate, Deliver);
- BOOST (Build, Own, Operate, Subsidise,
Transfer);
- BRT (Build, Rent, Transfer);
- BTO (Build, Transfer, Operate);
- DBFM (Design, Build, Finance, Maintain);
- ROT (Rehabilitate, Operate, Transfer);
- BOT (Build, Operate, Transfer).
Kesemua bentuk
proyek di atas
merupakan alternatif lain
dari BOT,
meskipun ada
juga yang khusus,
namun pada umumnya
digunakan
pola/strategi
yang sama
59
.
Mengenai
batasan proyek BOT itu sendiri dirumuskan sebagai:
Suatu
proyek yang didasarkan atas pemberian konsesi oleh Prinsipal (pada
umumnya Pemerintah)
kepada Promotor (Pemegang
Konsesi/Concessionaire)
dimana promotor bertanggung jawab atas seluruh
kegiatan yang
mencakup kegiatan Konstruksi,
Pembiayaan,
Pengoperasian, Pemeliharaan
atas suatu proyek/fasilitas tertentu
selama
suatu
jangka waktu konsesi sebelum akhirnya mengalihkan semua fasilitas
tersebut
kepada Prinsipal sebagai suatu fasilitas operasional penuh. Selama
jangka waktu
konsesi, Promotor memiliki
dan mengoperasikan fasilitas
tersebut serta
memungut pembayaran guna
mengembalikan biaya dan
investasi yang
telah dikeluarkan, termasuk
biaya pemeliharaan dan
pengoperasian serta
suatu marjin keuntungan
(“a margin of
profit”)
daripadanya.
59
Untuk
lebih memahami istilah-istilah dan pengertian-pengertian sebagaimana tersebut
di atas,
baca:
Merna A and N J Smith, Guide to the Preparation and Evaluation of BOOT Project
Tenders,
Asia
Law and Practice, 1996; Schell, Charles, Project and Infrastructure Finance in
Asia , Asia
37
2. Pertimbangan-pertimbangan Pokok
bagi Pembangunan
Infrastruktur
di Bidang Transportasi dengan Pola BOT
Pertimbangan pokok
dari pilihan pola
BOT pada pembangunan
dan
pengoperasian fasilitas/proyek-proyek tertentu
pertama-tama tentu saja
didasarkan atas
kepentingan Prinsipal (khususnya
Pemerintah) yang
memperoleh berbagai
keuntungan dengan penggunaan
pilihan pola BOT
ini,
seperti:
- Tidak membebani neraca pembayaran pemerintah
(“off balance-sheet
financing”);
- Mengurangi
jumlah pinjaman Pemerintah
maupun sektor publik
lainnya;
- Merupakan
tambahan sumber pembiayaan
bagi proyek-proyek yang
prioritaskan
(“additional finance sources for priority projects”);
- Tambahan fasilitas baru;
- Mengalihkan
resiko bagi konstruksi,
pembiayaan dan pengoperasian
kepada
sektor swasta;
- Mengoptimalkan kemungkinan
pemanfaatan perusahaan maupun
teknologi
asing;
- Mendorong proses alih teknologi, khususnya
bagi kepentingan negaranegara berkembang;
- Diperolehnya
fasilitas yang lengkap
dan operasional setelah
masa
akhir
konsesi.
Sebelum menentukan
dan untuk keberhasilan
pembangunan dan
pengoperasian
suatu fasilitas/proyek infrastruktur yang menggunakan pola
BOT
maka secara konseptual perlu dipertimbangkan faktor-faktor, seperti:
- Tipe fasilitas;
Law
and Practice, 1995; Sorab, Beena Developing and Financing Transport Project in
Asia, Asia
Law
and Practice, Euromoney Publications;
38
- Manfaat sosialnya;
- Dukungan
Pemerintah (Prinsipal) yang
dapat diberikan kepada
Promotor;
- Kualifikasi dan pengalaman dari Promotor itu
sendiri;
- Lokasi proyek/fasilitas tersebut;
- Besar ekuitas yang akan dipakai;
- Jaminan kelangsungan suplai bahan mentah
(“raw materials”);
- Jaminan
pembelian (“off-take”) atas
produk dan atau
jasa yang
dihasilkan
dari pengoperasian fasilitas-fasilitas tersebut;
- angka waktu konsesi;
- Komponen dari masing-masing paket yang
terkait dengan konsrtruksi,
operasi, pemeliharaan,
pembiayaan dan penggerak
perolehan
penerimaan
(“revenue generating”).
Bagi kepentingan
Promotor, serta pihak-pihak
lain yang terkait
seperti
“Investor”, “Lender”,
dan “User”, aspek
kelayakan proyek/fasilitas
tersebut
secara komersial (“commercial viability”) tentulah amat penting.
Untuk
menjadikan proyek infrasrtruktur dengan
pola BOT berhasil, maka
ada
beberapa faktor yang layak diperhatikan, yaitu:
- Kondisi pasar;
- Dukungan peraturan perundang-undangan;
- Kondisi pembiayaan melalui Pasar Modal;
- Kesesuaian
antara kebutuhan atas
proyek tersebut dikaitkan
dengan
pengembalian
investasi yang layak;
- Kemampuan untuk membayar kembali atas hutang
dan investasi yang
telah
dikeluarkan;
- Pengembalian investasi (“return on
investment”) yang memadai;
- Tingkat
penerimaan (“level of
acceptance”) dari masyarakat
atas
keberadaaan
proyek/fasilitas tersebut.
39
3.
Para
Pihak Dalam Pembangunan
Infrastruktur Transportasi
dengan
Pola BOT
Mengingat
skala dari proyek-proyek infrastruktur dengan pola BOT pada
umumnya sangat
besar, baik menyangkut
jumlah pembiayaan dan
investasi, teknologi,
dan jangka waktunya,
maka diperlukan suatu
pemahaman mengenai
pihak-pihak (“parties”) yang
terlibat di dalamnya.
Pada
dasarnya pelaku utama (kunci) dari pembangunan dan pengoperasian
suatu proyek
infrastruktur dengan pola
BOT adalah Prinsipal
dan
Promotor.
Prinsipal
(“Principal”) adalah pihak yang secara keseluruhan bertanggung
jawab atas
pemberian konsesi dan
merupakan pemilik akhir
dari
proyek/fasilitas
tersebut setelah habisnya jangka waktu konsesi. Biasanya
yang bertindak
selaku Prinsipal adalah
Pemerintah/badan-badan
Pemerintah, atau
badan-badan hukum tertentu
yang diberi hak
monopoli
oleh
Pemerintah.
Sementara itu
Promotor (“Promoter”) adalah
suatu badan
hukum/organisasi yang
diberi konsesi untuk
membangun, memiliki,
mengoperasikan
dan mengalihkan fasilitas tertentu. Organisasi Promotor
biasanya
didukung oleh pihak-pihak lain.
Pihak-pihak lain
yang biasanya terlibat
dalam pembangunan dan
pengoperasian suatu
proyek infrastruktur dengan
pola BOT adalah:
Perusahaan yang
melakukan kegiatan konstruksi
(“Constructors”), Pihak
yang
mengoperasikan fasilitas tersebut (“Operator”), Pihak yang memasok
baik
kebutuhan bahan-baku (“raw Materials) maupun “consumables” yang
dikenal
sebagai “Supplier”, Pihak (lembaga keuangan bank dan non-bank)
yang
memberikan pinjaman bagi pelaksanaan proyek tersebut yang disebut
“Lender”,
Pihak yang melakukan investasi selaku
pemegang saham pada
40
proyek
tersebut, yaitu “Investor”, dan akhirnya adalah pihak yang menjadi
pengguna
dari fasilitas tersebut yang disebut “User”.
Hubungan
kerjasama di antara para pihak pada
proyek pembangunan dan
pengoperasian proyek
infrastruktur dengan pola
BOT, baik antar
para
pihak utama
(Prinsipal dengan Promotor)
maupun antara pihak
utama
dengan pihak-pihak
lainnya biasanya diikat
oleh suatu perjanjian
(kontrak).
Bentuk/jenis kontrak yang menguasai hubungan kerjasama dan
hubungan hukum
diantara para pihak
tersebut berupa, antara
lain:
“Concession Agreement”,
“Offtake Contracts”, “Operation
Contract”,
“Construction Contract”,
“Shareholder Agreement”, “Loan
Agreement”,
“Supply
Contract”, dan lain-lain. Hal-hal lebih rinci menyangkut kontrakkontrak
sebagaimana tersebut di atas akan dijelaskan pada bagian lain dari
tulisan
ini.
4. Struktur Organisasi
Adanya suatu
struktur organisasi yang
solid pada pembangunan
dan
pengoperasian proyek
infrastruktur dengan pola
BOT merupakan syarat
mutlak dari
keberhasilannya. Dalam struktur
organisasi tersebut akan
tergambar secara
jelas peran dari
para pihak yang
terkait sebagaim ana
yang
dijabarkan secara rinci dalam kontrak-kontrak yang dibuat diantara
para
pihak.
Struktur
organisasi dari proyek-proyek di bidang infrastruktur dengan pola
BOT yang
dilaksanakan di berbagai
negara pada umumnya
serupa.
Meskipun tidak
tertutup kemungkinan adanya
variasi lain sesuai
dengan
kebutuhan.
41
Di
bawah ini digambarkan bagaimana suatu model struktur organisasi dari
suatu
proyek BOT
- Principal;
- Promotor;
- User;
- Supplier;
- Investor;
- Lender;
- Constructor;
- Operator;
- Shareholde
5. Fase-fase Pelaksanaan Tender pada Proyek
Infrastruktur dengan
Pola
BOT
Pelaksanaan tender
atas suatu proyek
infrastruktur dengan pola
BOT
dilaksanakan
melalui fase-fase sebagai berikut:
a) Fase Pertama
1) Pada awalnya Prinsipal mempersiapkan suatu
konsep strategis dari
proyek yang
akan diajukan atas
dasar hasil studi
kelayakan
(“feasibility
study”) yang dilakukan;
2) Selanjutnya Prinsipal menyiapkan undangan
pra-kualifikasi kepada
calon-calon
Promotor yang dianggap memenuhi syarat;
3) Setelah
itu Prinsipal mempersiapkan
Draft Struktur Perjanjian
Konsesi (“Structured
Concession Agreement”) yang
terdiri dari:
Legal Agreement
yang berisi syarat-syarat
umum dan khusus,
demikian pula
syarat-syarat proyek yang
terdiri dari paket-paket:
konstruksi,
operasi, pemeliharaan, pembiayaan dan penerimaan;
4) Selanjutnya
undangan tender dikirimkan
kepada calon-calon
Promotor
yang dianggap memenuhi syarat tersebut.
42
b)
Fase Kedua
1) Langkah
pertama yang ditempuh
oleh calon Promotor
setelah
menerima
undangan tender adalah melakukan penilaian mengenai
kelayakan proyek
tersebut secara komersial
dengan mengkaji
syarat-syarat yang
ditetapkan oleh Prinsipal
dalam dokumen RFP
(“Request for
Proposal”) maupun “Structured
Concession
Agreement”;
2) Penilaian tersebut dilakukan baik melalui metode penilaian secara
cepat
(“Rapid Appraisal Method”) maupun secara rinci (“Detailed
Appraisal
Method”);
3) Apabila
hasil penilaian mengindikasikan bahwa
proyek tersebut
memang layak,
maka calon Promotor
juga perlu mengidentifikasi
kontrak-kontrak lainnya
(“secondary contract”) serta
mengkaji
bagaimana
pengaruhnya terhadap proyek tersebut;
4) Setelah itu calon Promotor menyiapkan paket
dokumen tender yang
lainnya
untuk segera diserahkan kepada Prinsipal.
c)
Fase Ketiga
1) Pada
fase ini Prinsipal
menilai/mengevaluasi
kesesuaian antara
dokumen tender
yang diserahkan oleh
calon Promotor dengan
parameter pemenuhan
atas persyaratan-persyaratan yang
telah
ditetapkan
oleh Prinsipal;
2) Atas dasar hasil evaluasi tersebut maka
dengan menggunakan nilai
komulatif
tertinggi ditetapkanlah pemenang tender tersebut.
6.Paket-Paket dalam
Pembangunan Proyek Infrastruktur
dengan
Pola
BOT
Pembangunan dan
pengoperasian
proyek/fasilitas
infrastruktur dengan
pola
BOT, secara garis besarnya dapat dibagi atas 4 paket, masing-masing:
43
a)
Paket Konstruksi (“Construction Package”)
Komponen-komponen dari
paket konstruksi menampung
semua
kegiatan
yang terkait dengan fasilitas konstruksi, yang meliputi:
1) Kelayakan;
2) Penyelidikan lokasi (“Site Investigation”);
3) Perancangan dan pengawasan;
4) Pembelian/pembebasan lahan;
5) Pengadaan alat/equipment;
7) Konstruksi;
8) Instalasi mekanikal dan elektrikal;
9) Commissioning.
b)
Paket Operasi (“Operation Package”)
Komponen-komponen
dari paket operasi menampung semua kegiatan
yang terkait
dengan pengoperasian dan
pemeliharaan fasilitas, yang
mencakup:
1) Operasi;
2) Pemeliharaan;
3) Pelatihan;
4) “Consumables”;
5) Bahan mentah/baku (“raw materials”);
6) “Power” (mis; tenaga listrik);
7) Perbaikan (“Service Requirement”).
c)
Paket Pembiayaan (“Finance Package”)
Komponen-komponen dari
paket pembiayaan mencakup
semua
kegiatan yang
terkait dengan aspek
pembiayaan atas kegiatan
konstruksi dan
bilamana perlu juga
mencakup tahap awal
dari fase
operasional,
yang mencakup biaya-biaya:
44
1) Pinjaman (“loans”);
2) Bunga atas pinjaman (“interest of loans”);
3) Fee untuk arranger (“Arrangement Fee”);
4) “Success fee”;
5) Transfer nilai tukar (“currency transfer”);
6) Dividen (pembagian keuntungan kepada
pemegang saham).
d) Paket Penerimaan (“Revenue Package”)
Komponen-komponen dari
paket penerimaan menampung
aliran
penerimaan (“revenue
stream”) yang terkait
dengan kegiatan
menggerakkan penerimaan
(“revenue generating”) selama
masa
konsesi,
yang meliputi:
1) Kebutuhan data (“demand data’);
2) Tingkat tarif;
3) Peningkatan aliran penerimaan;
4) Penerimaan dari fasilitas-fasilitas yang ada.
C. Jenis-jenis
Kontrak yang Terkait
dengan Investasi Pembangunan
Infrastruktur,
Khususnya di Bidang Transportasi
Seperti yang
telah disinggung di
atas, kegiatan pembangunan
dan
pengoperasian
proyek/fasilitas infrastruktur dengan pola BOT melibatkan
partisipasi
dari berbagai pihak di mana hubungan
kerja/hubungan hukum
di antara
para pihak diatur
dalam kontrak-kontrak tertentu.
Adapun
gambaran singkat
mengenai jenis-jenis kontrak
yang terkait meliputi,
antara
lain:
1. Kontrak Konsesi (“Concession Agreement”)
Sebagai
kontrak yang menjadi dasar dari kontrak-kontrak lainnya, Kontrak
Konsesi
merupakan kontrak antara Prinsipal dengan Promotor. Kontrak ini
45
merupakan suatu
dokumen yang mengatur
segala aspek hubungan
kerjasama
dan hubungan hukum antara Prinsipal dan Promotor, termasuk
alokasi atas
resiko-resiko yang terkait
dengan paket-paket konstruksi,
pengoperasian, pemeliharaan,
pembiayaan dan penerimaan
serta
persyaratan-persyaratan
konsesi atas suatu fasilitas/proyek tertentu.
Adapun ketentuan-ketentuan pokok
yang terdapat pada
“Concession
Agreement”
adalah:
- Jangka waktu konsesi (“length of the
concession life”);
- Lingkup
proyek, mencakup fasilitas-fasilitas yang
akan dibangun dan
dioperasikan serta
luas cakupan hak-hak
dan kewajiban Prinsipal,
Promotor
serta Pihak Ketiga;
- Gambaran yang jelas tentang sifat konsesi,
termasuk hak eksklusipnya,
jika
diterapkan;
- Batasan mengenai dukungan Pemerintah;
- Struktur harga dan Tarif (“pricing or tariff
structure”)
Penetapan tarif
disatu pihak harus
mengakomodasikan syarat-syarat
dari Pemerintah
(“Principal”), namun dilain
pihak harus menjaga
kelayakan proyek
dan harus cukup
fleksibel untuk mengakomodir
perubahan-perubahan
yang tak dapat diramalkan sebelumnya;
- Hukum
yang berlaku dan
mekanisme penyelesaian sengketa
(“governing
law and dispute resolution mechanism”);
- Konsekuensi
dari tindakan-tindakan seperti
pengambilalihan dan
pelanggaran perjanjian
(“concequences of expropriation
or breach of
agreement”);
- Hak-hak
seperti penggantian atas
hak-hak dan kewajiban
promotor
kepada
pemberi pinjaman (“right as to assignment of Promoter’s rights
and
obligations to Lenders);
- Alas hak atas kepemilikan selama jangka
waktu konsesi dan pada saat
selesainya jangka
waktu konsesi (“title
to property during
concession
period
and at the expiry of the term”);
46
- Aspek-aspek keuangan seperti fasilitas pajak
dan nilai tukar (“financial
terms,
such as tax benefit and foreign exchange”).
2. Construction Contract (Kontrak Konstruksi)
Adalah kontrak
antara “Promoter” dengan
“Constructor”. “Contructor”
biasanya diambil
dari perusahaan jasa
konstruksi atau patungan
atau
konsorsium dari perusahaan-perusahaan konstruksi.
Kadang-kadang
“Constructor” juga
mengambil peran sebagai
“Promoter” dari sejumlah
proyek
BOT.
Ketentuan-ketentuan pokok
yang terdapat pada
kontrak konstruksi,
meliputi
60
:
- Tanggung
jawab mengenai perancangan,
konstruksi dan fase
“commissioning”;
- Tanggung jawab pemilik;
- Harga
kontrak, baik yang
ditetapkan secara lumpsum
maupun unit
price;
- Akses ke tanah dan kondisi site;
- Tanggal penyelesaian;
- Kepatuhan terhadap pihak-pihak yang
berwenang;
- Pembayaran;
- Pekerjaan tambah kurang (“variation order”);
- Bonus dan Penalti;
- Pernyataan dan Jaminan (“representations and
warranty”);
- Jaminan (security);
- Asuransi;
60
Bagi
analisis terhadap kontrak-kontrak konstruksi, baca: Hamid Shahab, Aspek Teknis
dan
Aspek
Hukum Penggunaan Fundasi Dalam, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1997. Baca juga: H
Nazarkhan
Yasin, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta,
2003. Bandingkan dengan Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra
Aditya
Bakti, Bandung, 1998. Bandingkan juga, Hamid Shahab, Aspek Hukum dalam Sengketa
Bidang
Konstruksi, Penerbita Djambatan, 1996.
47
- Pekerjaan yang cacat (“defective works”);
- Hak atas Kekayaan Intelektual;
- Keadaan terpaksa dan Penangguhan;
- Ganti rugi;
- Hukum yang berlaku;
- Pengalihan dan sub-kontrak;
- Penyelesaian sengketa;
- Pengakhiran.
3.
Supply Contract (Kontrak Suplai)
Supply Contract
adalah kontrak antara
Promotor dan Suplaier.
Suplaier
biasanya adalah
BUMN, swasta atau
badan hukum yang
diberikan hak
monopoli untuk
itu yang mensuplai
bahan-bahan mentah terhadap
fasilitas/proyek
selama periode operasi.
Ketentuan-ketentuan
pokok dari Kontrak Suplai biasanya meliputi:
- Persyaratan pokok (basic terms);
- Jangka waktu suplai (term of supply);
- Kuantitas;
- Kualitas;
- Harga dan penyesuaian harga (price and price
adjustment);
- Inspeksi, contoh dan pengujian (inspection,
test and sampling);
- Pengangkutan (transportation);
- Wanprestasi dan pengakhiran (default and
termination).
4.
Shareholder Agreement
Shareholder Agreement
adalah kontrak/perikatan antara
“Promoter”
dengan “Investor”.
Investor memberi ekuitas
atau menyediakan barang
dan
merupakan bagian dari suatu “Corporate Structure” yang mencakup di
dalamnya: ”Supplier
vendor”, “Constructor” dan
“Operator”, termasuk
48
pemegang saham
yang terdiri dari
lembaga-lembaga keuangan dan/atau
individu. Investor
menyediakan equitas untuk
membiayai fasilitas yang
besarnya biasanya
ditetapkan oleh “debt/equity
ratio” yang
diperlukan/ditetapkan
oleh lenders, atau atas dasar ketentuan “Concession
Agreement.”
Ketentuan-ketentuan
Pokok dari Shareholder Agreement, meliputi:
- Identitas para pihak;
- Ketentuan menimbang (whereas clause);
- Batasan shareholder dan pembentukan
perseroan;
- Kontribusi modal;
- Pengalihan saham;
- Jaminan saham;
- Opsi pembelian saham;
- Penetapan harga pembelian;
- Pengelolaan dan pengawasan;
- Kebijakan dividen dan pembagian keuntungan;
- Persyaratan kontrak dengan konsumen;
- Hutang perseroan;
- Jangka waktu transaksi;
- Kerahasiaan dan HAKI;
- Lisensi dan bantuan teknis;
- Pemberitahuan;
- Hubungan diantara para pihak;
- Pengalihan saham;
- Saat efektif berlakunya perjanjian dan
pengakhirannya;
- Sifat mengikat;
- Transaksi komersial;
- Hukum yang berlaku;
- Perpajakan;
- Arbitrase;
49
- Ketentuan tambahan;
- Tandatangan para pihak.
5.
Operation Contract
Operation
Contract adalah kontrak antara “Promoter” dengan “Operator”.
Operator biasanya
ditetapkan diantara perusahaan
yang secara khusus
memiliki
keahlian dan pengalaman dalam mengoperasikan fasilitas/proyek
atau juga
perusahaan yang secara
khusus didirikan untuk
melakukan
pengoperasian
dan pemeliharaan atas suatu fasilitas/proyek tertentu.
Ketentuan-ketentuan
Pokok dari Operation Contract, meliputi:
- Cakupan (operasi, pemeliharaan, pelatihan);
- Jangka waktu operasi;
- Metode operasi;
- Spesifikasi;
- Biaya dan resources;
- Tingkat keterlibatan;
- Lisensi, otorisasi dan perijinan (permits);
- Kinerja, tanggung jawab dan jaminan;
- Metode pengumpulan pendapatan dan nilai
tukar;
- Bonus dan penalty;
- Keadaan terpaksa (force majeure);
- Mekanisme penyelesaian sengketa;
- Mekanisme pembayaran (cost plus, lump sum,
unit rate);
- Pengakhiran perjanjian;
- Jadwal pelatihan.
6.
Loan Agreement
Loan Agreement
merupakan dasar dari
suatu perikatan antara
“Lender”
dan “Promoter”.
“Lender” pada umumnya
adalah bank-bank komersial,
50
bank-bank
investasi, dana pensiun, lembaga penyedia kredit ekspor yang
memberikan pinjaman
dalam bentuk hutang
untuk membiayai suatu
proyek/fasilitas tertentu. Dalam
hampir semua kasus,
“Lender” akan
mengambil
peran mengkoordinasikan suatu konsorsium pemberi pinjaman
atau
pinjaman sindikasi.
Ketentuan-ketentuan pokok
pada “Loan Agreement”
pada umumnya
meliputi:
- Jumlah
pinjaman dan saat
pinjaman tersebut tersedia
dan dapat
dicairkan;
- Fee
yang harus dibayarkan,
contohnya: commitment fee,
arrangement
fee,
agency fee, legal fee, serta fee lainnya yang bersifat incidental;
- Pernyataan
dan jaminan yang
dibuat oleh peminjam
dan obligor
lainnya;
- Covenants
(baik yang bersifat
positif maupun negative)
untuk
diperhatikan
oleh peminjam serta obligor lainnya selama jangka waktu
pinjaman;
- Tata cara
yang harus diikuti dalam penyediaan pinjaman , contohnya:
conditions precedent
(persyaratan) yang harus
dipenuhi sebelum tiaptiap pencairan;
- Cara
bagaimana bunga dihitung,
jangka waktu bunga
yang dipilih,
bagaimana
dan kapan pembayaran akan dilakukan;
- Masalah-masalah administrative lainnya
seperti cara pemberitahuan
diantara
para pihak;
- Daftar situasi mengenai “event of defaults”
(wanprestasi);
- Ketentuan
yang mengatur hubungan
antara agen bank
dari sindikat
pemberi
pinjaman serta bank-bank lainnya dalam sindikat tersebut;
- Ketentuan
yang memberi hak
kepada bank, sesuai
dengan perjanjian,
untuk menyiapkan
dana dan menjamin
perlindungan terhadap
keuntungan
bank;
51
- Ketentuan
mengenai pengalihan atas
semua “income stream”
serta
dokumen
proyek (kepada lender);
- Dokumen jaminan (security documents);
- Jaminan (guarantee);
- Persetujuan Pemerintah;
- Keadaan terpaksa (“force majeure”);
- Hukum yang berlaku (“governing law”);
- Mekanisme penyelesaian sengketa;
- Pengakhiran perjanjian.
7.
Offtake Contract
Pada proyek-proyek
seperti pembangkit listrik
(“power plant”),
keberadaan “Sales”/Offtake Contract
biasanya dilakukan antara
“User’
dengan
“Promoter”. “User” biasanya merupakan suatu badan hukum atau
individu yang
menggunakan atau membeli
produk dari suatu
fasilitas/proyek
(misalnya: daya listrik). Akan tetapi
dalam proyek-proyek
seperti jalan
tol, dimana penerimaan/pendapatan diperoleh
dari
pembayaran
langsung oleh masyarakat atas penggunaan fasilitas tersebut,
maka
“Off-take Contract” tidak diperlukan.
Ketentuan-ketentuan Pokok
pada Offtake Contract
pada umumnya
meliputi:
- Batasan;
- Status Pembeli (Status of Purchasers);
- Jangka waktu konstruksi (construction
period);
- Tarif;
- Suplai energi (fuel supply);
- Bonus dan penalty;
- Ketentuan tentang pembayaran;
- Hukum yang berlaku;
52
- Jangka waktu suplai;
- Dukungan Pemerintah (government support);
- Keadaan terpaksa (force majeure);
- Mekanisme penyelesaian sengketa.
8. Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT)
sebagai Contoh Kontrak
BOT
Sebagai
salah satu contoh dari kontrak pembangunan infrastruktur dengan
pola
BOT adalah Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) yang dianggap
sebagai
kontrak bisnis berdimensi publik antara
pemerintah dengan swasta
(investor)
61
. PPJT
merupakan kontrak yang
dibuat secara baku
oleh
Pemerintah yang
ditawarkan kepada swasta
(investor) yang akan
melaksanakan
pengusahaan jalan tol. Karena sifatnya baku dan berdimensi
publik, maka
peran Pemerintah lebih
bersifat mendukung pihak
swasta
(investor) dalam
pelaksanaannya, terutama dalam
hal-hal yang berkaitan
dengan
resiko pengadaan tanah, tingkat pengembalian investasi, tarif, dan
lain-lain PPJT
sat ini sudah merupakan praktek
yang berlangsung dalam
pengusahaan
jalan tol.
Ketentuan-ketentuan pokok
yang standard pada
PPJT meliputi hal-hal
sebagai
berikut:
- Definisi, Pengertian dan Tanggal Efektif;
- Pengusahaan
Jalan Tol (pemberian,
ruang lingkup, masa
konsesi,
kepemilikan,
pembatasan perjanjian, pengawasan, pelaporan, resiko dan
tanggung
jawab);
- Jaminan
Pelaksanaan (penyerahan, maksud,
nilai, masa berlaku
dan
pencairan);
61
Untuk
uraian selengkapnya, baca Iwan E Joesoef, Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol
(PPJT)
sebagai
Kontrak Bisnis berdimensi Publik antara Pemerintah dengan Investor (swasta)
dalam
Proyek
Infrastruktur, Badan Penerbit FH UI, Jakarta, tahun 2006.
53
- Pengadaan
Tanah (kewajiban, prakiraan
biaya, jangka waktu,
keterlambatan dan
kenaikan harga, pembayaran
oleh investor, status
tanah,
lingkup dan sewa);
- Pendanaan
(rasio hutang dan
ekuitas, financial close
dan pemeriksa
teknis
independen);
- Perencanaan
Teknik (rencana awal
dan akhir, kesesuaian,
perubahan,
penunjukan
perencana teknik ahli);
- Konstruksi
Jalan Tol (permulaan
dan penyelesaian, tata
cara, laporan,
penolakan
dan penghentian sementara, serah terima, pemeriksaan oleh
BPJT, sertifikat
laik operasi, as
built drawings, biaya,
kewajiban dan
tanggung
jawab perusahaan jalan tol);
- Pemeliharaan (kewajiban, laporan, pelebaran,
simpang susun tambahan,
jalan
akses, biaya pemeliharaan);
- Jaminan Pemeliharaan (penyerahan, nilai,
pencairan);
- Pengoperasian
Jalan Tol (awal,
tata cara, SDM,
iklan dan utilitas,
usaha-usaha
lain, penghasilan perusahaan jalan tol, biaya, penangguhan
konstruksi
selama masa pengoperasian);
- Tarif
Tol (penentuan, awal
pengenaan, keterlambatan penerbitan,
penyesuaian tariff,
keterlambatan penetapan penyesuaian
tariff, tidak
terbitnya
penetapan penyesuaian tarif, pengawasan pengumpulan tol);
- Asuransi
(masa konstruksi, masa
operasi, persyaratan, syarat-syarat
lainnya);
- Cidera
Janji Perusahaan Jalan
Tol (sebelum konstruksi,
dalam masa
konstruksi,
selama masa pengoperasian, cidera janji umum);
- Cidera Janji Pemerintah (kejadian,
pengakhiran oleh perusahaan, akibat
pengakhiran,
akibat tidak dilakukan pengakhiran) ;
- Nilai Pekerjaan Selesai dan Uji Tuntas (nilai
pekerjaan, uji tuntas);
- Penggantian Kepemilikan (penggantian kepemilikan dan pengendalian;
pilihan
sebelum pengakhiran, konsekuensi);
- Perubahan Hukum (definisi, pemberitahuan,
konsekuensi);
54
- Keadaan
Kahar (definisi, pemberitahuan, keterlambatan, pengakhiran,
perbaikan,
asuransi);
- Berakhirnya
Pengusahaan Jalan Tol
(konsekuensi, tanggung jawab
setelah
berakhirnya atau pengakhiran dini pengusahaan jalan tol);
- Pernyataan dan jaminan (oleh pemerintah, oleh
perusahaan jalan tol);
- Pembebasan
Tanggung Jawab (tanggung
jawab perusahaan jalan
tol ,
pmbebasan
tanggung jawab tidak dibatasi oleh asuransi);
- Penyelesaian
Perselisihan (penyelesaian perselisihan,
arbitrase, tidak
berlakunya
pasal 1266);
- Pengalihan
Hak dan Kepemilikan
Saham (larangan, pengecualian,
pemegang
saham dan susunan pemegang saham, perubahan pemegang
saham,
kejadian yang membolehkan adanya perubahan);
- Addendum Perjanjian;
- Lampiran;
- Pemberitahuan;
- Pelepasan Hak;
- Hukum yang Berlaku dan Domisili Hukum;
- Pemisahan Ketentuan yang Tidak Dapat
Diterapkan;
- Keseluruhan Perjanjian.
D. Berbagai Resiko pada Kontrak
Investasi Pembangunan
Infrastruktur
pada
Bidang Transportasi dengan Pola BOT
1.
Identifikasi terhadap Resiko yang Dihadapi
Terhadap
proyek-proyek infrastruktur dengan pola BOT yang biasanya
mempunyai skala
yang sangat besar,
maka skala resiko
yang
dihadapi/mungkin dihadapi
juga semakin besar.
Untuk meminimalisir
resiko yang
dihadapi/mungkin dihadapi, maka diperlukan suatu
kemampuan untuk
mengidentifikasi dan mengantisipasi resiko-resiko
tersebut,
termasuk untuk mencari jalan keluarnya. Secara umum resiko
55
yang mungkin
dihadapi dapat dibagi
atas “Typical Global
Risk” dan
“Typical
Elemental Risk”.
a.
“Typical Global Risk” antara lain meliputi:
1) “Political Risk” (Resiko Politis)
62
Apabila
dilihat dari sisi negara, contoh-contoh dari resiko politis
adalah: gangguan
terhadap stabilitas politik
dan keamanan;
terjadinya tindakan-tindakan sepihak
seperti pengambilalihan
(“expropriation”) maupun
nasionalisasi, penjualan aset
secara
paksa, penetapan
harga tarif dan
tol (“capping of
tol or tariff
level”), perubahan
pada “off-take agreement”,
kenaikan pajak
dan royalti,
kenaikan pungutan, permasalahan
menyangkut
repatriasi keuntungan,
perubahan dalam pemerintahan,
instabilitas
eksternal, perubahan dalam kebijakan fiskal, tingkat
hutang
negara dan penigkatan atas infrastruktur yang sudah ada,
dan
lain-lain
Sementara dari
sisi konsesi itu
sendiri, resiko politis
yang
mungkin dihadapi
meliputi antara lain:
keterlambatan dalam
proses pemberian
konsesi, jangka waktu
konsesi, penetapan
harga oleh
Prinsipal,
pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat,
dukungan peraturan
perundang-undangan, komitmen negara
dalam menjalankan
ketentuan-ketentuan yang terdapat
pada
kontrak konsesi,sifat
eksklusivitas dari kontrak
dan
kompetisi/persaingan
dari fasilitas-fasilitas yang sudah ada
63
.
62
Untuk
analisis selengkapnya mengenai Resiko Politis dalam kaitan dengan kegiatan
investasi,
baca:
Theodore H Moran (ed), International Political Risk Management, MIGA, The World
Bank
Group,
Washington DC, 2001.
63
Uraian
selengkapnya mengenai resiko politis dikaitkan dengan konsesi, baca: A Merna
& N J
Smith,
Guide to the Preparation and Evaluation of Build, Own, Operate, Transfer
Project Tenders,
Asia
Law and Practice, Hongkong, second edition, halaman 49-54.
56
2) Resiko dari Segi Hukum (“Legal Risk”)
Dari sisi
negara tuan rumah
(“host-country”), resiko hukum
dapat
muncul dari keadaan-keadaan seperti: lemahnya kerangka
sistem
hukum yang ada, perubahan undang-undang selama masa
konsesi,
perselisihan/sengketa dalam masyarakat, kemungkinan
timbulnya konflik
antara hukum nasional
dengan hukum
regional
(domestik), perubahan regulasi menyangkut ekspor dan
impor, perubahan
di bidang hukum
perusahaan, perubahan
menyangkut standar
dan spesifikasi, aspek-aspek
hukum
dagang, masalah
pertanggung jawaban, kepemilikan,
dan lainlain.
Dari segi
perjanjian (“Concession Agreement”)
itu sendiri,
resiko hukum
dapat bersumber pada
faktor-faktor seperti: tipe
concession agreement,
perubahan menyangkut kewajibankewajiban atau
dasar kerangka hukum
yang ada, perubahan
dalam ketentuan-ketentuan perjanjian,
status pelaksanaan dan
mekanisme
penyelesaian sengketa
64
.
Dari
segi pasar, resiko hukum yang mungkin timbul bersumber
pada:
perubahan-perubahan menyangkut kebutuhan atas produk
yang dihasilkan
oleh fasilitas tersebut,
eskalasi harga bahan
baku dan
“consumbales”, kemunduran ekonomi,
kemerosotan
mutu produk,
kompetisi, tingkat penerimaan
masyarakat atas
kebijakan yang
membebankan pada “User”
untuk membayar,
penolakan
(resistensi) konsumen, dan lain-lain.
64
Ibid.
57
3) Resiko Komersial (“Commercial Risk”)
Masalah kelangsungan
tersedianya bahan baku
yang memadai,
fluktuasi nilai
tukar, devaluasi, dan
lain-lain akan sangat
berpengaruh
terhadap tingkat resiko komersial.
4) Resiko Lingkungan (“Environmental Risk”)
Faktor-faktor yang
dapat berpengaruh terhadap
resiko
lingkungan
mencakup: lokasi proyek, kendala lingkungan
yang
ada, perubahan
lingkungan yang terjadi,
pengaruh dari
kelompok-kelompok penekan
(“pressure group”), faktor-faktor
dari luar
yang mempengaruhi operasi,
masalah dampak
lingkungan, tingkat
penerimaan/persetujuan masyarakat
setempat serta
perubahan-perubahan ekologis selama
masa
konsesi.
b) Sementara itu “Typical Elemental Risks”
meliputi:
1) Resiko dari segi Konstruksi (“Construction
Risks”)
Faktor-faktor seperti
kondisi alam, kondisi
tanah, perubahan
cuaca, kendala
fisik, keahlian pekerja,
periode konstruksi,
keterlambatan, jadwal,
teknik yang digunakan,
tipe kontrak
konstruksi, biaya
konstruksi, perancangan, ketersediaan
informasi, pemenuhan
atas standar dan
spesifikasi,
ketentuanketentuan mengenai perubahan
teknologi, dan lain-lain
akan
sangat
mempengaruhi tingkat resiko konstruksi.
2) Resiko Operasi (“Operation Risks”)
Faktor-faktor seperti:
kondisi operasi, pasokan
bahan baku,
ada/tidaknya gangguan
terhadap operasi, metode
operasi,
ketersediaan suku
cadang, jaminan, waktu
yang tersedia, biaya
58
dan tingkat
pelatihan, “manuals” dalam
bekerja, kualitas dan
jumlah personil,
dan lain-lain akan
sangat berpengaruh pada
besar/kecilnya
resiko operasi.
3) Resiko Keuangan (“Finance Risks”)
Masalah besar/kecilnya resiko
keuangan dalam proyek
dengan
pola BOT
ini akan sangat
ditentukan oleh variabel-variabel,
seperti: tingkat
bunga, cara penghitungan
bunga, jangka waktu
pinjaman, cara
pembayaran, jadwal pembayaran,
neraca
pembayaran, tingkat
pengembalian, tipe dan
sumber pinjaman,
ketersediaan pinjaman,
nilai tukar yang
digunakan, dukungan
kelembagaan,
waktu dan jumlah pembayaran dividen, dan lainlain.
4) Resiko Penerimaan (“Revenue Risks”)
Resiko
penerimaan juga akan sangat tergantung kepada faktorfaktor seperti:
kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan yang
semakin
bertambah, periode konsesi yang diperlukan, kebutuhan
akan fasilitas
terpasang, model cara
penerimaan, mata uang
dalam penerimaan,
variasi formula tarif,
perubahan-perubahan
dalam
aliran penerimaan, dan lain-lain.
2. Bentuk-bentuk
Jaminan dan Perlindungan
Investasi
infrastruktur
pada Kontrak Investasi Infrastruktur
Transportasi
Dengan mengacu
kepada berbagai bentuk
resiko dari investasi
infrastruktur
sebagaimana tersebut di atas, maka perlu
diiidentifikasi dan
diinventarisasi bentuk-bentuk
perlindungan investasi pada pembangunan
infratruktur
transportasi yang dapat diberikan oleh
“Host Country”, yang
meliputi,
antara lain:
59
a)
Jaminan
dan Perlindungan Investasi
yang Bersumber kepada
Ketentuan-Ketentuan
Kontrak Konsesi
Concession agreement
selayaknya mampu memberikan
jaminan dan
perlindungan yang
memadai kepada kepentingan
investor, baik
terhadap resiko
politis, resiko hukum,
serta resiko komersial
yang
ditimbulkan. Bentuk
jaminan dan perlindungan
investasi yang dapat
diberikan,
antara lain:
- meningkatkan stabilitas politik dan
keamanan;
- menjamin
tidak dilakukannya tindakan
expropriasi, nasionalisasi,
penguasaan dan
penyitaan tanpa alasan
yang dapat
dipertanggungjawabkan dan
dengan ganti rugi
yang memadai
sesuai
dengan kaidah-kaidah internasional yang berlaku;
- menciptakan
tariff yang fleksibel
dan dinamis berdasarkan
kesepakatan;
- kenaikan tarif pajak dan royalty dilakukan
secara dapat diperkirakan
(predictable)
dan dengan alasan-alasan yang sah;
- tidak
mengubah kebijakan mengenai
hak repatriasi atas
keuntungan;
- menjamin
tidak adanya perubahan
yang fundamental dalam
kebijakan investasi
sehubungan dengan adanya
pergantian
pemerintahan;
- menjamin stabilitas dalam kebijakan fiskal;
- menjamin
proses pemberian konsesi,
dispensasi, persetujuan,
perijinan
yang mudah, murah dan tepat waktu;
- adanya dukungan dari segi legislasi
nasional;
- komitmen yang kuat dari Pemerintah untuk
melaksanakan kontrak
konsesi
secara konsisten;
- tidak
adanya perubahan-perubahan menyangkut
isi kontrak
konsesi;
60
- tersedianya
mekanisme penyelesaian sengketa
yang efektif dan
adil;
- jaminan penerimaan dengan mata uang yang
“convertible”;
- terjaganya stabilitas fluktuasi nilai tukar,
termasuk devaluasi mata
uang;
- jaminan Pemerintah untuk memfasilitasi
penyelesaian menyangkut
kendala
dari sisi lingkungan.
b) Jaminan dan Perlindungan Investasi yang Bersumber kepada Kontrak
Konstruksi
Dalam kontrak
konstruksi selayaknya ada
kejelasan mengenai paketpaket
yang diberikan kepada
kontraktor. Selain itu
juga ada kejelasan
mengenai penyiapan lahan, nilai-kontrak, volume pekerjaan, pekerjaan
tambah-kurang, lamanya
penyelesaian, commissioning, tata
cara
penyerahan,
tata cara pembayaran, interpretasi, penyelesaian sengketa,
dan lain-lain.
Komitmen untuk melaksanakan
isi kontrak atas
dasar
itikad
baik akan mampu meminimalkan resiko karena segalanya dapat
dikalkulasi
secara matang.
c)
Jaminan dan Perlindungan Menyangkut Kontrak Operasi
Apabila terdapat
kejelasan mengenai hal-hal
yang menyangkut
pengoperasian,
pemeliharaan serta pelatihan selama masa operasi, maka
resiko yang
dapat ditimbulkan akan
bisa diminimalisasi. Oleh
karenanya segala
sesuatu menyangkut persoalan
tersebut agar dapat
diformulasikan secara
rinci dalam kontrak
operasi, dengan demikian
diharapkan tidak
akan timbul persoalan-persoalan yang
bersifat
dadakan. Kecermatan
dalam proses negosiasi,
formulasi dan finalisasi
kontrak
akan sangat memegang peranan. Lebih dari itu segala sesuatu
yang mungkin
timbul sehubungan dengan
masa operasi, khususnya
resiko
operasi, harus telah diantasipasi secara matang.
61
d) Jaminan
dan Perlindungan Menyangkut
Kontrak Pembiayaan
(Shareholder
Agreement dan Loan Agreement)
Resiko-resiko yang
mungkin timbul sehubungan dengan
pembiayaan
proyek harus
dicermati sejak awal.
Khusus dalam project
financing
biasanya Bank
(lender) meminta bentuk-bentuk
jaminan tertentu dari
Prinsipal (Pemerintah).
Di Indonesia, khususnya
untuk pembangunan
infrastruktur, bentuk-bentuk
jaminan semacam itu
telah mulai
disiapkan,
termasuk tata cara penyediaan, pencairan dan pengendalian
dana dukungan
infrastruktur serta kelembagaan
terkait seperti BLU
(badan
layanan umum). Bentuk dukungan lain adalah akses yang lebih
mudah kepada
pembiayaan infrastruktur melalui
bank-bank lokal.
Dengan
adanya jaminan ini diharapkan investor bersedia menyediakan
“equity”nya untuk
pelaksanaan pembangunan dan
pengoperasian
proyek
infrastruktur transportasi.
e)
Jaminan dan Perlindungan atas Resiko dari Sisi Penerimaan
Upaya untuk
meminimalisasi resiko penerimaan
adalah dengan
mekanisme “risk
sharing” yang dapat
ditawarkan oleh “host
country”
selama
periode konsesi. Hal lain yang dapat
dilakukan adalah dengan
cara penyesuaian
tariff agar tetap
terjamin keekonomian dari
kegiatan
yang
dilakukan.
62
BAB V
ANALISIS
A. Dari
Sisi Kepentingan Pengadaan
Infrastruktur Transportasi
Nasional
Penerapan Pola
BOT dalam pengadaan
infrastruktur, khususnya dalam
bidang transportasi,
merupakan salah satu
pilihan yang sangat
layak
dipertimbangkan.
Melalui penerapan pola BOT maka diharapkan semakin
banyak fasilitas
infrastruktur yang dapat
dibangun. Ketersediaan
infrastruktur transportasi
seperti Jalan Tol;
Mass Rapid Transit
(MRT);
sarana dan
prasarana perkeretaapian; Busway;
Monorail; Pelabuhan;
Bandar
Udara; dan lain-lain, akan mampu menopang kelancaran kegiatan
ekonomi
yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing investasi dan
mempercepat
pertumbuhan ekonomi.
B. Dari
Sisi Kepentingan Investor
Dari sisi
kepentingan investor (baik
asing maupun local)
terbukanya
kemungkinan partisipasi
swasta bekerjasama dengan
pemerintah (publicprivate partnership)
merupakan lahan bisnis
yang cukup menjanjikan.
Adanya berbagai
skema insentif yang
ditawarkan seperti: land
capping;
penyesuaian tariff;
jaminan perlindungan investasi;
insentif pajak; risk
sharing; akses
pembiayaan ; jaminan
kepastian berusaha, termasuk
kepastian
hukum; pengembalian investasi; dan lain-lain akan memberikan
keyakinan untuk
berinvestasi. Apalagi jika
return on investment-nya
dianggap
cukup tinggi.
C. Dari Sisi Kepentingan Masyarakat
Pada instansi
pertama masyarakatlah yang
paling menikmati keberadaan
infrastruktur transportasi
yang baik. Hal
itu akan semakin
memperlancar
63
segala bentuk
kegiatan masyarakat, terutama
dalam kegiatan ekonomi.
Transportasi yang
lancar, aman dan
nyaman juga akan
meningkatkan
efisiensi yang
akan berkontribusi kepada
meningkatnya margin
keuntungan yang
dapat diperoleh. Namun
demikian juga terdapat
kemungkinan masyarakat
akan terbebani dengan
biaya yang lebih
tinggi
jika pengadaan
infrastruktur dilakukan oleh
swasta dibandingkan dengan
jika dilakukan oleh Pemerintah. Di sini pentingnya Pemerintah melakukan
penataan
agar terdapat keseimbangan antara keuntungan dan jaminan yang
diberikan kepada
swasta (investor) disatu
pihak, dengan kepentingan
pelayanan
public dan kemampuan masyarakat di lain pihak.
D. Dari Sisi Kepentingan Pemerintah
Skema kerjasama
antara Pemerintah dengan
Investor Swasta dalam
pembangunan dan
pengoperasian fasilitas infrastruktur
transportasi akan
sangat meringankan
beban anggaran Pemerintah.
Ada beberapa
keuntungan nyata
yang dinikmati Pemerintah,
antara lain: sangat
mengurangi anggaran
pembangunan yang harus
dipikul oleh Pemerintah
mengingat sebagian
besar pendanaan dipikul
oleh swasta; resiko
dalam
pembangunan dan
pengoperasiannya dipikul oleh
swasta; keberadaan
infrastruktur transportasi
yang lebih baik
juga merupakan perwujudan
pelayanan
pemerintah kepada masyarakat serta mampu mendongkrak daya
tarik
investasi; memberikan tambahan pemasukan bagi Negara, baik yang
bersumber kepada
bahagian pemerintah (royalty)
maupun penerimaan
pajak; dan
pada akhir masa
konsesi fasilitas infrastruktur
tersebut
sepenuhnya
dikuasai Negara.
E. Dari Sisi Jaminan dan Perlindungan Hukum
Dalam
setiap kegiatan investasi, adanya jaminan dan perlindungan hukum
yang
memadai merupakan suatu kebutuhan mutlak. Dari
aspek investasi,
jaminan dan
perlindungan hukum lebih
memberikan kepastian berusaha,
64
sehingga segala
sesuatunya menjadi lebih
dapat diperhitungkan
(calculable/predictable). Dari
sisi kepentingan investor
(asing), adanya
jaminan dan
perlindungan hukum yang
memadai terhadap hak-hak
sah
serta
hak-hak yang diperoleh (acquired rights)
yang dimiliki orang/badan
hukum asing
(alien) akan meningkatkan
kepercayaan dan kenyamanan
investasi.
F. Dari Sisi Resiko
Setiap
usaha serta kerjasama selalu memiliki resiko. Hal itu merupakan hal
yang wajar.
Resiko yang ditimbulkan
dari kerjasama antara
Pemerintah
dengan swasta
dalam pembangunan dan
pengoperasian infrastruktur
transportasi dapat
bersumber dari resiko
komersial namun dapat
juga
diakibatkan oleh
resiko non-komersial. Untuk meminimalisasikan resiko
dalam kerjasama
dengan skema BOT
maka baik Pemerintah
maupun
investor
swasta harus mau berbagi resiko (risk sharing).
Pembagian resiko
yang
proporsional dan adil akan
menguatkan chemistry dalam kerjasama
tersebut.
G. Dari Sisi Penyelesaian Sengketa
Dalam setiap
kerjasama, termasuk kerjasama
di bidang pembangunan
infrastruktur transportasi,
sengketa mungkin saja
timbul sehubungan
dengan interpretasi
dan implementasi kontrak.
Hal seperti itu
tidak
terkecuali
akan dapat timbul dalam kontrak kerjasama dengan pola BOT.
Untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya sengketa, idealnya kontrak
BOT tersebut
sudah mengatur tata
cara dan mekanisme
penyelesaian
sengketa yang
jelas bagi ke dua belah pihak. Kejelasan
klausula
penyelesaian sengketa
harus mencakup semua
tahapan penyelesaian
sengketa, mulai
dari negosiasi atau
pilihan ADR lainnya
sampai dengan
penyelesaian melalui
proses adjudikasi (pengambilan
putusan), baik oleh
65
arbitrase
maupun litigasi. Kejelasan menyangkut mekanisme penyelesaian
sengketa
juga harus meliputi hal-hal, seperti: forum penyelesaian, tata cara
penyelesaian,
hukum yang berlaku, sifat penyelesaian dan/atau keputusan.
Setiap
investor, khususnya investor asing sangat menghendaki proses dan
tata cara
penyelesaian yang murah,
cepat, adil, tidak
memihak serta
dilengkapi
dengan mekanisme penegakan hukumnya yang efektif.
H. Dari Sisi Pembiayaan
Pembangunan infrastruktur, termasuk
infrastruktur transportasi biasanya
memerlukan
biaya yang sangat besar. Dengan keterbatasan anggaran yang
dimiliki, tentu
saja baik Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah
Daerah
akan merasa
berat jika harus
membiayai proyek pembangunan
infrastruktur
dengan bertumpu kepada anggaran yang tersedia yang sangat
tidak memadai.
Oleh karena itu
partisipasi swasta dalam
pembiayaan
proyek infrastruktur
menjadi sangat esensial.
Partisipasi swasta dalam
pembiayaan infrastruktur
transportasi, baik yang
bersumber dari
ekuitasnya maupun
dari pinjaman melalui
jaringan perbankan dan/atau
lembaga pembiayaannya
akan sangat membantu
realisasi infrastruktur
transportasi.
Hal ini dapat dipenuhi dalam kerjasama dengan pola BOT.
I. Dari Sisi Pengadaan Tanah dan Bangunan
Dalam pembangunan
dan pengoperasian infrastruktur
transportasi seperti
jalan, jembatan,
jalur kereta api,
pelabuhan, Bandar udara,
dan lain-lain
pasti tidak
akan terlepas dari
kebutuhan lahan dan
bangunan. Pola BOT
sebagai salah
satu bentuk kerjasama
Pemerintah dan swasta
seringkali
menghadapi permasalahan
pengadaan tanah dan
bangunan. Untunglah
posisi
Pemerintah sebagai salah satu pihak dalam kontrak BOT memiliki
kewenangan
dan keleluasaan dalam penggunaan tanah untuk kepentingan
umum. Artinya
dalam rangka memenuhi
kepentingan infrastruktur yang
66
diperlukan
oleh masyarakat, Pemerintah dapat menetapkan kebijakan dan
regulasi
yang memungkinkan pengadaan tanah dengan harga yang wajar.
67
BAB VI
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. SIMPULAN
Dari uraian
serta analisis pada
Bab-Bab sebelumnya, maka
dapat
disimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Mengingat pentingnya penyediaan sarana dan
prasarana infrastruktur
transportasi dalam
upaya mendorong pertumbuhan
ekonomi dan
investasi, maka
kebijakan dan regulasi
untuk mewujudkannya sudah
berada
pada arah yang benar, meskipun implementasinya tidak selalu
sesuai
dengan harapan.
2. Untuk menarik investasi di bidang
infrastruktur transportasi, berbagai
bentuk jaminan
dan insentif telah
ditawarkan, yang meliputi
namun
tidak terbatas
pada: revenue shortfall
guarantee; dana penjaminan
infrastruktur; comfort
letter; risk sharing;
jaminan pengadaan tanah;
perlakuan
yang sama; dan lain-lain.
3. Pembangunan
infrastruktur transportasi sebagai
bentuk kerjasama
antara Pemerintah
dengan swasta (investor)
dengan pola BOT
yang
telah menjadi
common practices dan
bahkan best practices
meliputi
kontrak-kontrak seperti:
concession contract; construction
contract;
operation and
maintenance contract, off-take
contract; supply
agreement; syndicated
loan agreement; investment
agreement; dan
dalam lingkup
lokal misalnya Perjanjian
Pengusahaan Jalan Tol
(PPJT);
68
4. Aspek-aspek
hukum kontrak yang
terkait dengan pembangunan
infrastruktur transportasi
mencakup: jaminan kepastian
hukum;
sumber-sumber hukum;
pembagian resiko; hukum
yang berlaku;
mekanisme
penyelesaian sengketa; penegakan hukum, dan lain-lain.
5. Meskipun
kontrak-kontrak pembangunan infrastruktur
transportasi
tidak sepenuhnya
bersumber kepada hukum
kontrak nasional, dan
bahkan
dalam beberapa hal banyak mengadopsi sistem hukum kontrak
common
law, namun secara umum telah memadai. Namun demikian
masih
terdapat berbagai kekurangan yang perlu diperbaiki.
B. REKOMMENDASI
Sebagai upaya
perbaikan untuk mendukung
pembangunan infrastruktur
transportasi, kiranya
perlu dipertimbangkan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Memastikan agar berbagai kebijakan dan
regulasi di bidang investasi
pembangunan infrastruktur
transportasi
diimplemantasikan secara
konsisten
melalui komitmen semua pihak yang terkait.
2. Perlunya
berbagai jaminan dan
perlindungan investasi yang
ditawarkan benar-benar
dipahami oleh instansi-instnsi terkait
serta
para pelaksana
di lapangan agar
dapat dilaksanakan dan
mampu
menciptakan
kepastian hukum.
3. Perlunya
penyesuaian ketentuan hukum
kontrak nasional dengan
berbagai standard
dan praktek terbaik
(best practices) yang
berlaku
secara internasional
agar mempermudah pergaulan
internasional dan
kegiatan
investasi yang dilakukan di Indonesia.
69
4. Perlunya upaya yang sistematis untuk menata berbagai aspek
hukum
dari kontrak-kontrak investasi
infrastruktur transportasi untuk
meminimalisasi permasalahan
yang mungkin timbul,
demikian pula
untuk menjamin
penegakan hukum dan
adanya mekanisme
penyelesaian
sengketa yang adil.
5. Penyempurnaan
atas ketentuan-ketentuan serta
implementasi hukum
kontrak
nasional terkait dengan kontrak-kontrak investasi infrastruktur
transportasi akan
meningkatkan keyakinan berusaha
(berinvestasi)
bagi
para investor.
70
DAFTAR REFERENSI
PUSTAKA
- Arumugam,
Rajenthran “An overview
of Foreign Direct
Investment Legal
Rudiments in
ASEAN”, dalam Regional
Outlook, South East
Asia, ISEAS,
Singapore,
2006;
- Bisset, Norman, “EPC Contracts”, Baker &
McKenzie, 2006;
- Bisset, Norman, “Operation and Maintenance
Contract”, Baker & Mc Kenzie,
2006;
- Bisset, Norman, “Fuel Supply Agreements”,
Baker & McKenzie, 2006:
- Black,
Henry Campbell, Black’s
Law Dictionary, Fifth
Edition, West
Publishing
Company, 1979;
- Budidjaja,
Tony, Public Policy
as Grounds for
Refusal of Recognition
and
Enforcement
of Foreign Arbitral Awards in Indonesia, PT Tata Nusa, Jakarta,
2002;
- Delmon, Jeffrey, BOO/BOT Projects: A Commercial and Contractual Guide,
Sweet
and Maxwell, London, 2000;
- Fuady,
Munir, Kontrak Pemborongan
Mega Proyek, Citra
Aditya Bakti,
Bandung,
1998;
- Joesoef, Iwan E, Perjanjian Pengusahaan Jalan Tolm (PPJT)
Sebagai Kontrak
Bisnis
Berdimensi Publik antara Pemerintah dengan Investor (Swasta) dalam
Proyek
Infrastruktur, Badan Penerbit FH-UI, Jakarta, 2006;
- Londong, Tineke Louise Tuegeh, Asas Ketertiban Umum & Konvensi New
York
1958, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998;
- Mertin,
Elizabeth A, Oxford
Dictionary of Law,
Fifth Edition, Oxford
University
Press, 2003;
- Merna A & D Bower, Dispute Resolution in
Construction and Infrastructure
Projects,
Asia Law and Practice, Hongkong, 1997;
71
- Merna
A & N
J Smith, Guide
to the Preparation
and Evaluation of
BOOT
Project
Tenders, Asia Law and Practice, Hongkong, 1996;
- Merna A & N J Smith, Projects Procured by Privately Financed
Concession
Contracts,
Volume 1, Asia Law and Practice, Hongkong, 1996;
- Merna
A & N
J Smith, Projects
Procured by Privately
Finance Concession
Contracts,
Volume 2, Asia Law and Practice, Hongkong, 1996;
- Merna, A & N J Smith, Mechanism for the
Award of Competitive Tenders for
Works
and Supply Contracts, Asia Law and Practice, Hongkong, 1996;
- Modjo,
M Ikhsan, “Implementasi
Paket Kebijakan Investasi”,
Jawa Pos, 13
maret
2006.
- Moran,
Theodore H, International
Political Risk Management,
MIGA, The
World
Bank Group, Washington, 2001;
- Ranuhandoko, I.P.M, Terminologi Hukum, Inggris-Indonesia, Penerbit
Sinar
Grafika,
cetakan ketiga, 2003;
- Santoso,
Budi, Aspek Hukum
Pembiayaan Proyek Infrastruktur
dengan
Model BOT
(Build, Operate and
Transfer), Genta Press,
Yogyakarta, 2008,
edisi
Kedua;
- Schell,
Charles, Projects and Infrastructure Finance
in Asia, Asia
Law and
Practice,
Hongkong, 1995;
- Shahab, Hamid, Aspek Hukum dalam Sengketa Bidang Konstruksi,
Penerbit
Djambatan,
Jakarta, 1996;
- Shahab,
Hamid, Aspek Teknis
dan Hukum Penggunaan
Sistem Fundasi
Dalam,
Penerbit Djambatan, Jakarta, 1997;
- Sorab,
Beena, Developing and
Financing Transport Projects
in Asia,
Euromoney
Publications, 1997;
- Sorab, Beena (eds), The Life and Death of
Infrastructure Project, Euromoney
Publications,
1997;
72
- Sornarajah,
M, The International
Law on Foreign
Investment, Second
Edition,
Cambridge University Press, Cambridge, 2004;
- Supancana,
I.B.R, “Aspek-Aspek Kontraktual
pada Pembangunan dan
Pengoperasian
Proyek-Proyek Infrastruktur dengan Pola BOOT (Build, Own,
Operate
and Transfer)”, Center for Regulatory Research, 2002;
- Supancana,
I.B.R, Kerangka Hukum
dan Kebijakan Investasi
Langsung di
Indonesia,
Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2006;
- Tambunan,
Tulus, “Iklim Investasi di
Indonesia: Masalah, Tantangan
dan
Potensi”,
Kadin Indonesia-Jetro, 2006;
- Yasin, H Nazarkhan, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia,
Gramedia
Pustaka
Utama, Jakarta, 2003;
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
i. Undang-undang No 38 tahun 2004 tentang Jalan;
ii. Undang-undang
No 25 tahun
2004 tentang Sistem
Perencanaan
Pembangunan
Nasional;
iii. Undang-undang
No 1 tahun
1967 jo UU
No 11 tahun
1970 tentang
Penanaman
Modal Asing;
iv. Undang-undang
No 6 tahun 1968 jo Undang-undang No 12
tahun 1970
tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri;
v. Peraturan Pemerintah No 15 tahun 2005 tentang
Jalan Tol;
vi. Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2006 tentang
Jalan;
vii. Peraturan Pemerintah No 23
tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan
Layanan Umum (BLU);
viii. Peraturan Presiden No 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
dan
Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur;
73
ix. Peraturan
Presiden No 42
tahun 2005 tentang
Komite Kebijakan
Percepatan
Penyediaan Infrastruktur;
x. Peraturan
Pemerintah No 1
tahun 2007 tentang
Pemberlakuan Insentif
bberupa
PPh bagi Penanaman Modal di Bidang tertentu dan atau daerah
tertentu;
xi. Peraturan
Presiden No 7
tahun 2005 tentang
Rencana Pembangunan
Jangka
Menengah Nasional tahun 2004-2009;
xii. Peraturan
Presiden No 36
tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
xiii. Peraturan Presiden No 65
tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden No 36
tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan
Pembangunan
untuk Kepentingan Umum;
xiv. Keputusan
Presiden No 80
tahun 2003 tentang
Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan
Barang /Jasa Pemerintah;
xv. Keputusan Presiden No 61 tahun 2004 tentang
Perubahan atas Keputusan
Presiden No
80 tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah;
xvi. Peraturan
Presiden No 32
tahun 2005 tentang
Perubahan kedua atas
Keputusan Presiden
No 80 tahun
2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan
Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah;
xvii. Peraturan
Presiden No 8
tahun 2006 tentang
Perubahan ketiga atas
Keputusan Presiden
No 80 tahun
2003 tentang Pedoman
Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah;
xviii. Keputusan
Menteri Keuangan No
518/KMK.01/2005 tentang
Pembentukan
Komite Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur;
xix. Peraturan
Menteri Keuangan No
38/PMK.01/2006 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengendalian
dan Pengelolaan Resiko
atas Penyediaan
Infrastruktur;
74
xx. Peraturan Menteri Keuangan No 136/PMK.05/2006
tanggal 27 Desember
2006 tentang
Perubahan Peraturan Menteri
Keuangan No
119/PMK.05/2006 tentang
Tata Cara Penyediaan,
Pencarian dan
Pengelolaan
Dana Dukungan Infrastruktur.
PERJANJIAN
INTERNASIONAL
- Convention
on the Settlement
of Disputes between
States and Nationals
of
Other
States of 1966;
- New
York Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards
of 1958;
- WTO Agreement of 1994 with Annex concerning
Trade Related Investment
Measures;
- Convention Establishing Multilateral
Investment Guarantee Agency (MIGA);
- The ASEAN Treaty on the Protection and
Promotion of Foreign Investment
of
1987 as amended in 1996;
- The Framework Agreement for the ASEAN
Investment Agreement 1998 as
amended
in 2001 (The Framework Agreement).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar