Minggu, 31 Maret 2019

PASAL-PASAL ASEPEK HUKUM DALAM PEMBAGUNAN


                                               
NAMA : ASRIANTI
NPM    : 17-630-095
TGS 2 : PASAL-PASAL ASPEK HUKUM DALAM    PEMBAGUNAN


ASPEK-ASPEK HUKUM KONTRAK DALAM
PEMBANGUNAN DAN PENGOPERASIAN
INFRASTRUKTUR  DENGAN POLA BOT
(BUILD, OPERATE AND TRANSFER)
Tim Pengkajian Di Bawah Pimpinan
PROF. DR. I.B.R. SUPANCANA, SH., MH.
Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Jakarta
2008






Pengantar
Salah  satu  upaya  yang  dilakukan  oleh  Pemerintah  Indonesia  dalam  rangka
menarik  investasi  langsung  ke  Indonesia  adalah  melalui  percepatan
pembangunan infrastruktur. Sebagaimana diketahui, keberadaan infrastruktur
yang  memadai  adalah  merupakan  salah  satu  faktor  daya  tarik  investasi
disamping factor-faktor lainnya seperti: stabilitas politik dan keamanan yang
terjamin,  birokrasi  perijinan  yang  ramping  dan  effisien,  jaminan  dan
perlindungan investasi yang memadai, dan lain-lain.
Dalam  rangka  percepatan  pembangunan  infrastruktur  seperti  transportasi,
enerji,  komunikasi,  dan  lain-lain,  salah  satu  faktor  yang  seringkali  menjadi
kendala  adalah  faktor  pembiayaan.  Anggaran  Negara  yang  terbatas  tidak
memungkinkan  pembiayaan  pembangunan  infrastruktur  dilakukan
sepenuhnya  dengan  menggunakan  dana  pemerintah  yang  bersumber  dari
APBN. Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka salah satu cara yang dapat
ditempuh adalah dengan mengundang partisipasi swasta dalam pembangunan
infrastruktur. Skema ini dikenal dengan istilah “Public-Private Partnership”.
Guna mengundang partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur, maka
perlu  dikembangkan  suatu  pola  kerjasama  yang  menjamin  disatu  pihak
keberadaan  infrastruktur  tersebut  bagi  kepentingan  Negara  dan  khususnya
masyarakat  disatu  pihak,  dengan  kepentingan  swasta  selaku  investor  dilain
pihak. Adalah  merupakan hal  yang  wajar apabila  dari partisipasinya, pihak
swasta dapat memperoleh keuntungan.




Dalam  pelaksanaan  partisipasi  swasta  pada  pembangunan  infrastruktur  akan
terkait  berbagai  pihak,  baik  Pemerintah,  investor,  konstruktor,  lembaga
pembiayaan, supplier, operator, dan lain-lain. Hubungan kerja diantara pihakpihak  tersebut  biasanya  diikat  melalui  perjanjian/kontrak.Bentuk-bentuk
kontrak  yang  terkait  antara  lain:  concession  agreement,  shareholders
agreement,  long  term  supply  agreement,  operation  and  maintenance
agreement,  syndicated  loan  agreement,  off-take  agreement,  dan  lain-lain.
Secara  keseluruhan  kotrak-kontrak  tersebut  disebut  kontrak  BOT  (Build,
Operate and Transfer).
Tim  Penelitian  yang  kami  pimpin  ini  berupaya  untuk  membedah  berbagai
kontrak-kontrak  sebagaimana  tersebut  di  atas  untuk  menemukan  pola  yang
tepat yang dapat diterapkan di Indonesia, sesuai dengan kebijakan, hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Semoga hasil  pengkajian  ini akan bermanfaat baik bagi perkembangan ilmu
hukum  maupun bagi praktek kontrak-kontrak pem,bangunan infrastruktur di
Indonesia.
Jakarta, Desember 2008
Ketua Tim
Prof. Dr. I.B.R Supancana, SH., MH.
DAFTAR ISI
PENGANTAR
DAFTAR ISI





BAB I : PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
B.    Permasalahan
C.  Ruang Lingkup
D.  Maksud dan Tujuan
E.  Metodologi
F.  Sistematika
BAB II: KEBIJAKAN, KEBUTUHAN DAN REGULASI
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DI
INDONESIA
A.  Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Transportasi di Indonesia
1.  Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
2.  Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
3.  Rencana Strategis/Blueprint pada sektor Pekerjaan Umum
B.  Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur Transportasi
1.  Pembangunan Jalan termasuk Jalan Tol
2.  Pembangunan Jalan Kereta Api dan Monorail
3.  Pembangunan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
4.  Pembangunan Pelabuhan
5.  Pembangunan Transportasi Udara
C.  Regulasi Pembangunan Infrastruktur Transportasi
1.  Undang-undang No 38 tahun 2004 tentang Jalan
2.  Undang-undang No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran



3.  Undang-undang No 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian
4.  Undang-undang No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan
5.  Undang-undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
6.  Undang-undang  No  7  tahun  1983  sebagaimana  yang  telah  diubah
terakhir dengan UU 39 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
7.  Undang-undang No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.
8.  Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
9.  Undang-undang No 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian
10.  Undang-undang No tahun 1960 tentang Agraria
11.  Peraturan Pemerintah No 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol.
12.  Peraturan Pemerintah  No 34 tahun 2006 tentang Jalan
13.  PP No 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum
14.  Peraturan  Pemerintah  No  87  tahun  2003  tentang  Tim  Nasional
Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi.
15.  Peraturan  Pemerintah  No  62  tahun  2008  tentang  Perubahan  atas
Peraturan  Pemerintah  No  1  tahun  2007   tentang  Fasilitas  Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di bidang usaha-usaha tertentu
dan/atau di daerah tertentu.
16.  Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2000 tentang Pajak Daerah.
17.  Peraturan  Pemerintah  No  25  tahun  2000  tentang  Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah otonom.




18.  Peraturan Pemerintah  No 45 tahun  1996 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan Wajib Pajak Badan untuk Usaha Industri tertentu.
19.  Peraturan Pemerintah No 44 tahun 1997 tentang Kemitraan.
20.  Peraturan  Pemerintah  No  15  tahun  1999  tentang  Bentuk-bentuk
Tagihan  tertentu  yang  Dapat  Dikompensasikan  sebagai  Setorah
Saham;
21.  Instruksi  Presiden  No  3  tahun  2006  tentang  Paket  Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi
22.  Peraturan Presiden No 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
23.  Keputusan Presiden No 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan  barang/Jasa  Pemerintah  sebagaimana  diubah,  terakhir
dengan perubahan ke Enam dengan Peraturan Presiden No 85 tahun
2006
24.  Peraturan  Presiden  No  36  tahun  2005  sebagaimana  diubah  dengan
Peraturan Presiden No 65 tahun 2005 tentang Pengadaan Lahan bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
25.  Peraturan  Presiden  No  42  tahun  2005  tentang  Komite  Kebijakan
Percepatan Penyediaan Infrastruktur;
26.  Instruksi  Presiden  No  5  tahun  2003  tentang  Paket  Kebijakan
Ekonomi  Menjelang  dan  sesudah  berakhirnya  Program  Kerjasama
dengan International Monetary Fund;




27.  Keputusan Presiden No 97 tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman
Modal  sebagaimana  telah  beberapa  kali  diubah,  terakhir  dengan
Keputusan Presiden No 117 tahun 1998;
28.  Keputusan  Menteri  Keuangan  No  518/KMK.01/2005  tanggal  31
Oktober 2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Resiko atas
Penyediaan Infrastruktur;
29.  Peraturan Menteri Keuangan No 38/PMK.01/2006 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Resiko atas Penyediaan
Infrastruktur
30.  Peraturan  Menteri  Keuangan  No  136/PMK.05/2006  tanggal  27
Desember 2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan  No
119/PMK.05/2006  tentang  Tata  Cara  Penyediaan,  Pencarian  dan
Pengelolaan Dana Dukungan Infrastruktur.
31.  Surat  Edaran  Menteri  Pekerjaan  Umum  No  11/SE/M/2005  tanggal
16 November 2005 tentang Pedoman Penyesuaian Harga Satuan dan
Nilai Kontrak;
32.  Peraturan  Menteri  Pekerjaan  Umum  No  295/PRT/M/2005  tentang
Badan Pengatur jalan Tol;
33.  Peraturan  Menteri  Pekerjaan  Umum  No  11/PRT/M/2006  tentang
Wewenang  dan  Tugas  Penyelenggaraan  Jalan  Tol  pada  Direktorat
Jendral  Bina  Marga,  Badan  Pengatur  Jalan  Tol  dan  Badan  Usaha
Jalan Tol;




34.  Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta  No 9 tahun 2006 tentang
Penguasaan  Perencanaan/Peruntukan  Bidang  Tanah  untuk
Pelaksanaan  Pembangunan  Trace  Jalan  Tanah  Tinggi  Barat/Timur
Kemayoran  Gempol  di  Kelurahan  Harapan  Mulya,  Kelurahan
Bungur,  Kelurahan  Utan  Panjang,  Kelurahan  Kebon  Kosong,
Kelurahan  Serdang,  Kecamatan  Senen,  dan  Kecamatan  Kemayoran
Kotamadya Jakarta Pusat;

BAB III SKEMA JAMINAN DAN PERLINDUNGAN INVESTASI
DALAM PEMBANGUNAN INFRASTUKTUR TRANSPORTASI
A.  Jaminan Pemerintah atas Kerugian yang mungkin Timbul
1.  Revenue Shortfall Guarantee
2.  Dana Penjaminan Infrastruktur
3.  Comfort Letter (Support Letter/Administrative Letter)
4.  Risk Sharing
B.  Jaminan dalam Pengadaan Tanah
C.  Jaminan Percepatan Pelayanan Administratif
D.  Jaminan Kepastian Hukum
E.  Jaminan atas Kerusuhan, Pengambilalihan Aset, dll
F.  Jaminan atas Perlakuan yang sama






BAB  IV:   ASPEK-ASPEK  HUKUM  PERJANJIAN  PADA  KONTRAK
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DENGAN POLA BOT
A.  Umum
B.  Beberapa Pengertian dan Pemahaman Pokok pada Kontrak-Kontrak BOT
1.  Peristilahan dan Batasan
2.  Pertimbangan-Pertimbangan Pokok bagi Pembangunan Infrastruktur di
Bidang Transportasi dengan Pola BOT
3.  Para Pihak dalam Pembangunan Infrastruktur Transportasi dengan Pola
BOT
4.  Struktur Organisasi
5.  Fase-Fase Pelaksanaan  Tender pada  Proyek  Infrastruktur dengan  Pola
BOT
6.  Paket-Paket  dalam  Pembangunan  Proyek  Infrastruktur  dengan  Pola
BOT
C.  Jenis-jenis  Kontrak  yang  Terkait  dengan  Investasi  Pembangunan
Infrastruktur, Khususnya di Bidang Transportasi
1.  Kontrak Konsesi (“Concession Agreement”)
2.  Construction Contract (Kontrak Konstruksi)
3.  Supply Conctract (Kontrak Suplai)
4.  Shareholder Agreement
5.  Operation Contract
6.  Loan Agreement
7.  Off-take Contract
8.  Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) sebagai contoh kontrak BOT


D.  Berbagai Resiko pada Kontrak Investasi Pembangunan Infrastruktur pada
Bidang Transportasi dengan Pola BOT
1.  Identifikasi terhadap Resiko yang dihadapi
2.  Bentuk-bentuk  Jaminan  dan  Perlindungan  Investasi  infrastruktur  pada
Kontrak Investasi Infrastruktur Transportasi

BAB V: ANALISIS
A.  Dari Sisi kepentingan Pengadaan Infrastruktur Transportasi Nasional
B.  Dari Sisi Kepentingan Investor
C.  Dari Sisi Kepentingan Masyarakat
D.  Dari Sisi Kepentingan Pemerintah
E.  Dari Sisi Jaminan dan Perlindungan Hukum
F.  Dari Sisi Resiko
G.  Dari Sisi Penyelesaian Sengketa
H.  Dari SIsi Pembiayaan
I.  Dari sisi Pengadaan Tanah dan bangunan
J.  Dari Sisi Pengadaan
BAB VI: SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A.  Simpulan
B.  Rekomendasi
DAFTAR REFERENSI
LAMPIRAN
1



BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Krisis  finansial  internasional  yang  dimulai  dengan  kasus  Sub  Prime
Mortgage  pada  sector  perumahan  di  Amerika  Serikat  telah  menjadi
bencana ekonomi  global. Runtuhnya berbagai perusahaan raksasa seperti
Lehman Brothers yang diikuti dengan tumbangnya perusahaan-perusahaan
lainnya  telah  menyebabkan  meluasnya  krisis  ekonomi  yang  bahkan
diklaim  terburuk  sejak  krisis  tahun  1930-an.  Implikasi  krisis  tersebut
meluas  dan  telah  menjelma  menjadi  krisis  global.  Perekonomian  dunia
mengalami  bencana  yang  akibatnya  juga  dirasakan  di  Indonesia.  Dalam
keadaan  seperti  itu  maka  secara  langsung  akan  memperlambat
pertumbuhan  ekonomi.  Yang  lebih  dikhawatirkan,  perlambatan
pertumbuhan  ekonomi  tersebut  akan  berpengaruh  secara  langsung
terhadap  maraknya PHK, makin besarnya angka pengangguran yang pada
akhirnya akan memperbanyak angka kemiskinan.
Dalam situasi sebagaimana digambarkan di atas, hal yang dapat dilakukan
adalah  menggenjot  pembangunan  infrastruktur  yang  diharapkan  akan
mampu  menyerap  jumlah  tenaga  kerja  dalam  jumlah  yang  cukup
signifikan.  Dengan  rencana  pemerintah  menambah  anggaran
pembangunan  infrastruktur  dari  yang  semula  sebesar  100  trilyun  rupiah
menjadi sekitar 100 trilyun rupiah, jumlah tenaga kerja yang dapat diserap
akan mencapai antara 3,5 juta sampai 4 juta orang



1.Dalam pembangunan infrastruktur tersebut swasta dilibatkan dalam skema
public-private  partnership  (PPP).  Untuk  tahun  2009-2010  Pemerintah
menetapkan  sekitar  82  proyek  infrastruktur  dengan  pola  PPP  tersebut.
2
Diantara  82  proyek  tersebut,  terdapat  21  proyek  sector  jalan  told  an  24
proyek di bidang transportasi lainnya
2
.
Dengan  memanfaatkan  momentum  krisis  melalui  pembangunan
infrastruktur  maka  diharapkan  ketika  krisis  mereda  maka  kesiapan
infrastruktur  tersebut  akan  menjadi  daya  saing  investasi  Indonesia.
Konsekuensinya,  peningkatan  daya  saing  tersebut  akan  potensial
menambah  masuknya  arus  investasi,  yang  pada  akhirnya  akan  mampu
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi.
Dengan  memperhatikan  pentingnya  pembangunan  infrastruktur  dalam
meningkatkan  daya  saing  investasi,  maka  kebijakan  mendorong
pembangunan  infrastruktur,  dalam  hal  ini  di  bidang  transportasi,  yang
mengundang kerjasama public dan privat adalah tepat. Perlunya partisipasi
swasta tersebut didasarkan  atas kenyataan bahwa salah satu pemasalahan
yang  paling  krusial  yang  dihadapi  oleh  negara-negara  berkembang,
termasuk  Indonesia,  adalah  adanya  keterbatasan  yang  dimiliki  dalam
upaya untuk menyiapkan infrastruktur yang memadai. Infrastruktur seperti
sarana transportasi, telekomunikasi dan listrik merupakan kebutuhan yang
sangat  fundamental  dalam  rangka  mendorong  roda  perekonomian.
Keterbatasan  yang  dimiliki  tersebut  bersifat  multi  dimensi,  karena  tidak

hanya  menyangkut  masalah  terbatasnya  sumber  pendanaan/pembiayaan,
tetapi  juga  terbatasnya  kemampuan  sumber  daya  manusia,  teknologi  dan
bahkan manajemennya.
Mengingat  pemenuhan  akan  kebutuhan  infrastruktur  tersebut  merupakan
hal  yang  harus  memperoleh  prioritas  penanganan,  maka  dalam  keadaan
yang  serba  terbatas  tersebut  perlu  dicarikan  upaya  untuk  mengatasinya.
Salah satu upaya yang telah banyak dilakukan adalah dengan mengundang
1
Bisnis Indonesia, “Insentif Infrastruktur Serap 2,5 juta Pekerja”, 19 Januari 2009.
2
Dewi Astuti, “Swasta Dilibatkan di 82 Proyek Infrastruktur”, Bisnis Indonesia, 2 Februari 2009.
3
partisipasi  “private  sectors”  untuk  melakukan  investasi  pada  sector
transportasi. Pola yang sering digunakan dalam pembangunan infrastruktur
di  bidang  transportasi  adalah  dengan  menggunakan  pola  BOT  (“Build,
Operate and Transfer”).  Pemilihan atas pola ini didasarkan  atas berbagai
keuntungan  yang  dapat  ditawarkannya,  khususnya  bagi  pemerintah,
sementara bagi pihak investor,  disamping  potensi keuntungan  yang dapat
diraih, juga mengandung resiko kerugian.







Untuk  menarik  investasi  swasta  dalam  pembangunan  infrastruktur  pada
sektor  transportasi,  juga  diperlukan  suatu  mekanisme  yang  mampu
meminimalkan kerugian mereka yaitu melalui bentuk-bentuk perlindungan
investasi  yang  dapat  ditawarkan  oleh  pemerintah.  Minimalisasi  kerugian
melalui  skema  perlindungan  investasi  akan  merupakan  insentif  yang
mampu menciptakan iklim investasi yang lebih baik.
B.   PERMASALAHAN
Dalam kaitan dengan judul karya ilmiah ini,  ada 2 aspek utama yang  akan
dikaji, yaitu:
1.  Sejauh mana kebijakan dan regulasi dalam pembangunan infrastruktur
transportasi dapat dianggap memadai?
2.  Apa saja bentuk-bentuk jaminan investasi yang dapat ditawarkan?
3.  Apa  saja  bentuk-bentuk  kontrak  investasi  transportasi  infrastruktur
dengan pola BOT  yang merupakan common practices dan bahkan best
practices?
4.  Aspek-aspek  hukum  apakah  yang  timbul  atau  mungkin  timbul  pada
kontrak-kontrak invenstasi infrastruktur dengan pola BOT tersebut?
5.  Sejauh mana  ketentuan-ketentuan hukum (kontrak) yang berlaku telah
mengatur  secara  memadai  aspek-aspek  hukum  tersebut,  serta
bagaimana upaya yang dapat ditempuh untuk menyempurnakannya?
4





C.   RUANG LINGKUP
Materi yang akan dicakup dalam penelitian ini meliputi:
1.   Fakta,  data  dan  informasi  tentang  kebutuhan  investasi  infrastruktur,
khususnya infrastruktur transportasi di Indonesia;
2.   Kebijakan  dan  pengaturan  yang  ditempuh  oleh  Pemerintah  dalam
pemenuhan dan pembangunan infrastruktur transportasi ;
3.  Kontrak-kontrak dengan pola BOT yang terkait dengan pembangunan
infrastruktur transportasi;
4.   Identifikasi  dan  analisis  masalah-masalah  hukum  yang  mungkin
timbul;
5.   Langkah-langkah penyempurnaan yang patut ditempuh.
D.   MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis
bentuk-bentuk  kontrak  BOT  di  bidang  pembangunan  infrastruktur
transportasi dan masalah-masalah hukum yang terkait di dalamnya.
Tujuan dari penelitian    ini adalah untuk memberikan masukan dan dasar
pertimbangan  kepada  Pemerintah  guna  penyempurnaan  dasar  dan  aturan
hukum  yang  memadai  bagi  kontrak-kontrak  infrastruktur  transportasi
dengan  pola  BOT  sesuai  dengan  kebutuhan  yang  ada  serta  mampu
menciptakan  kondisi  yang  saling  menguntungkan  antara  Pemerintah,
investor dan masyarakat.





E.   METODOLOGI
Dalam penelitian digunakan beberapa pendekatan yang berkaitan dengan:
pengumpulan data dan informasi; analisis; serta penyajian.
5
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan melakukan penelitian
kepustakaan,  baik  yang  bersumber  kepada  berbagai  data  dan  informasi
yang  ”di  release”  oleh  pemerintah;  tulisan  para  ahlidalam  bentuk  buku,
jurnal,  artikel  lepas,  newsletter;  pengalaman  para  praktisi  dan  pengambil
putusan; kebijakan dan regulasi nasional dan internasional; dan lain-lain
Analisis  yang  dilakukan  dalam  karya  ilmiah  ini  difokuskan  pada  norma
yang  terkait  dengan  hukum  dan  kebijakan,  oleh  karena  itu  bersifat
normatif-kualitatif-komparatif. Sementara penyajiannya bersifat deskriptif,
eksploratif.
F.   SISTEMATIKA
Untuk mempermudah pemahaman terhadap isi karya tulis ini, maka buku
ini  dibagi  atas  beberapa  Bab,  dimana  isi  masing-masing  Bab  akan
melengkapi informasi dan analisis. Adapun susunan dan isi dari masingmasing Bab adalah sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan
Menguraikan  latar  belakang;  permasalahan;  ruang  lingkup;  maksud  dan
tujuan; metodologi dan sistematika;
Bab  II:  Kebijakan,  Kebutuhan  dan  Regulasi  Pembangunan  Infrastruktur
Transportasi di  Indonesia




Menyajikan  Kebijakan  dalam  Pembangunan  Infrastruktur  Transportasi,
dilanjutkan  dengan  uraian  data,  fakta,  angka  dan  informasi  tentang
kebutuhan  investasi  di  bidang  infrastruktur,  khususnya  transportasi  di
Indonesia,  baik  transportasi  darat  (kereta  api,  jalan  tol,  monorail);  laut
(pelabuhan);udara  (bandara,  ATC);  antariksa  (air  launch  space
transportation  system),  dan  lain-lain  Bab  ini  diakhiri  dengan  uraian
Peraturan-perundang-an  terkait  yang  menjadi  dasar  hukum  bagi
Pembangunan Infrstruktur Transportasi.
6
Bab  III:  Skema  Kebijakan  tentang  Jaminan  dan  Perlindungan  dalam
Pembangunan Infrastruktur Transportasi
Dalam bab ini akan digambarkan bentuk-bentuk insentif, jaminan maupun
perlindungan investasi yang dapat diberikan kepada investor yang terlibat
dalam pemmbangunan dan pengoperasian infrastruktur transportasi.
Bab  IV:  Kontrak-Kontrak  Investasi  Pembangunan  Infrastruktur
Transportasi dengan Pola BOT
Pada Bab ini akan dikaji sejauh mana kontrak-kontrak yang terkait dengan
investasi  pembangunan  infrastruktur  transportasi,  seperti:  concession
contract; construction contract; operation contract; supply agreement; offtake  agreement;  credit  contract;  shareholders  agreement;  dan  lain-lain
telah  mengatur  dan  mengakomodasikan  kepentingan  para  pihak  secara
seimbang,  khususnya  menyangkut  jaminan  dan  perlindungan  pada
kepentingan  investor.  Dalam  Bab  ini  juga  akan  disajikan  suatu  contoh
kontrak  pembangunan  infrastruktur  ttransportasi,  yaitu  Perjanjian
Pengusahaan  Jalan  Tol  (PPJT).  Berbagai  resiko  yang  terkait  juga  akan
diuraikan berikut cara penyelesaiannya.

Bab V: Analisis
Dalam  bab  ini  akan  dilakukan  analisis  terhadap  kontrak-kontrak
pembangunan  infrastruktur  transportasi  dengan  pola   BOT.  Analisis
dilakukan  dalam  upaya  untuk  mengakomodir  kepentingan  para
stakeholders.  Hasil  analisis  tersebut  diharapkan  akan  dapat  digunakan
sebagai masukan dalam rangka penyempurnaannya.
Bab VI: Penutup
Berisi Kesimpulan dan Rekomendasi.
7
BAB II
KEBIJAKAN, KEBUTUHAN  DAN REGULASI PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI DI INDONESIA

A.  Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Transportasi di Indonesia
Dalam upaya untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia, aspek  yang
memerlukan  prioritas  adalah  penyediaan  infrastruktur,  baik  berupa
pembangunan  jalan,  pelabuhan,  bandar  udara,  pembangkit  listrik,  sarana
telekomunikasi,  air  minum,  dan  lain-lain.     Di  satu  sisi  ketersediaan
infrastruktur tersebut sangat vital, namun pada sisi lain Pemerintah sangat
memiliki  keterbatasan  anggaran  untuk   pemenuhannya.  Guna  mengatasi
persoalan tersebut maka alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan cara
mengundang  partisipasi  swasta  dalam  pembangunan  infrastruktur
transportasi.



Transportasi secara umum berfungsi sebagai katalisator dalam mendukung
pertumbuhan  ekonomi,  pengembangan  wilayah  dan  pemersatu  wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Infrastruktur transportasi mencakup
transportasi  jalan,  perkeretaapian,  angkutan  sungai,  danau  dan
penyeberangan,  transportasi  laut  dan  udara.  Pada  umumnya  infrastruktur
transportasi  mengemban  fungsi  pelayanan  publik  dan  misi  pembangunan
nasional
3
.
1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Dalam  rangka  upaya  menarik  partisipasi  swasta  dalam  investasi
pembangunan  infrastruktur  transportasi,  maka  pertama-tama  perlu
8
diipahami sasaran pembangunan transportasi dalam 5 tahun (2004-1009),
yaitu
4
:
1.  Meningkatnya  kondisi  dan  kualitas  prasarana  dan  sarana  dengan
menurunkan tingkat ”backlog” pemeliharaan;
2.  Meningkatnya  jumlah  dan  kualitas  pelayanan  transportasi,  terutama
keselamatan transportasi nasional;
3.  Meningkatnya  kualitas  pelayanan  transportasi  yang
berkesinambungan dan ramah lingkungan serta sesuai dengan standar
pelayanan yang dipersyaratkan;


4.  Meningkatnya mobilitas dan distribusi nasional dan wilayah;
5.  Meningkatnya  pemerataan  dan  keadilan  pelayanan  transportasi,  baik
antar  wilayah  maupun  antar  golongan  masyarakat  di  perkotaan,
pedesaan, maupun daerah terpencil dan perbatasan;
6.  Meningkatnya akutabilitas pelayanan transportasi melalui pemantapan
sistem transportasi nasional, wilayah dan lokal;
7.  Khusus  untuk  daerah  yang  terkena  bencana  nasional  akan  dilakukan
program rehabilitasi sarana dan prasarana transportasi dan pembinaan
SDM yang terpadu dengan program sektor-sektor lainnya dan rencana
pengembangan wilayah.
Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan di atas, maka dalam rangka
investasi  pembangunan  infrastruktur  transportasi  perlu  diperhatikan
kebijakan umum pembangunan transportasi, yang meliputi
5
:
1.  Kebijakan pembangunan sarana dan prasarana transportasi;
2.  Kebijakan  untuk  meningkatkan  keselamatan  transportasi  nasional
secara terpadu;
3.  Kebijakan untuk meningkatkan mobilitas dan distribusi nasional;
3
Lihat Peraturan Presiden no 7 tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah,
khusus Bagian IV (Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat), Bab 33 tentang Percepatan
Pembangunan Infrastruktur, halaman 367.
4

Lihat, Ibid, halaman 368.
5
Ibid.
9
4.  Kebijakan pembangunan transportasi yang berkelanjutan;
5.  Kebijakan  pembangunan  transportasi  terpadu  yang  berbasis
pengembangan wilayah;
6.  Kebijakan peningkatan data dan informasi serta pengembangan audit
sarana dan prasarana transportasi nasional;
7.  Kebijakan  membangun  dan  memantapkan  terwujudnya  sistem
transportasi nasional, wilayah dan lokal secara bertahap dan terpadu;
8.  Kebijakan  untuk  melanjutkan  restrukturisasi  kelembagaan  dan
peraturan  perundang-undangan  transportasi  dan  peraturan
pelaksanaannya;
9.  Kebijakan untuk mendorong pengembangan industri jasa transportasi
yang  bersifat  komersial  di  daerah  yang  telah  berkembang  dan
melibatkan  peran  serta  swasta  dan  masyarakat  dan  meningkatkan
pembinaan pelaku transportasi nasional;
10.  Kebijakan  pemulihan  jalur  distribusi  dan  mobilisasi  di  wilayahwilayah yang terkena dampak benccana nasional secara terpadu.
Selain  sasaran  dan  kebijakan  umum  pembangunan   transportasi  dalam
RPJM 2004-2009, aspek lain yang harus diperhatikan adalah  Program dan
Kegiatan  Pembangunan  di  bidang  transportasi,  seperti:  jalan  dan
jembatan


6
;  lalu  lintas  angkutan  jalan  (LLAJ)
7
;  Perkeretaapian
8
;  angkutan
sungai  danau  dan  penyeberangan
9
;  Transportasi  Laut
10
;  dan  Transportasi
Udara
11
.
6
Ibid,  halaman  377.  Antara  lain  dinyatakan  program  peningkatan/pembangunan  jalan  dan
jembatan,  seperti:  peningkatan/pembangunan  jalan  arteri  primer  sep anjang  12.321  km  dan
jemnbatan sepanjang 26,579 m; peningkatan/pembangunan jalan-jalan arteri primer dan strategis
di kawasan perkotaan, termasuk  “fly-over”; penanganan jalan sepanjang 1.800 km pada daerahdaerah  yang  berbatasan  dengan  Negara-negara  tetangga;  penanganan  jalan  sepanjang  3.750  km
untuk  kawasan  terisolir;  peningkatan/pembangunan  jaringan  jalan  propinsi  sepanjang  2.390  km
dan jalan kabupaten sepanjang 81.742 km; pengembangan/pembangunan jalan tol sepanjang 1.593
km.

7
Ibid, halaman 383-386.
8
Ibid, halaman 392-395.
9
Ibid, halaman 400-401.
10
Ibid, halaman 407-409.
11
Ibid, halaman 412-413.
10
2.  Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
Dalam  RPJP  2005-2025  pembangunan  transportasi  diarahkan  untuk
mendukung  kegiatan  ekonomi,  sosial,  budaya   serta  lingkungan  dan
dikembangkan  melalui  pendekatan  pengembangan  wilayah  agar  tercapai
keseimbangan  dan  pemerataan  pembangunan  antar  daerah;  membentuk
dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan
keamanan  nasional;   serta  membentuk  struktur  ruang  dalam  rangka
mewujudkan sasaran pembangunan nasional
12
.
Untuk  itu  pembangunan  transportasi  dilaksanakan  dengan
mengembangkan  jaringan  pelayanan  secara  antar  moda  dan  inter  moda;
menyelaraskan  peraturan  perundang-undangan  yang  terkait  dengan
penyelenggaraan  transportasi  yang  memberikan  kepastian  hukum  dan

iklim  usaha  yang  kondusif;  mendorong  seluruh  pemangku  kepentingan
untuk  berpartisipasi  dalam  penyediaan  pelayanan;  meningkatkan  iklim
kompetisi secara sehat agar dapat meningkatkan efisiensi dan memberikan
alternatif  bagi  pengguna  jasa  dengan  ttap  mempertahankan  keberpihakan
pemerintah sebagai regulator terhadap pelayanan umum yang terjangkau,
murah, aman dan nyaman.
B.   Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur Transportasi
Sebagai gambaran akan kebutuhan pembangunan infrastruktur transportasi
dapat diamati pada data-data di bawah ini:
1.  Pembangunan Jalan Termasuk Jalan Tol
a.  Selama  kurun  waktu  2005-2009  rencana  pembangunan  jalan  tol
mencapai 1.827 km yang meliputi 52 ruas. Untuk pembangunan tol
tersebut  dibutuhkan  pembebasan  lahan  sebanyak  12.789  hektar,
12
UU RI No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025. Halaman 89.
11
dengan total biaya pembebasan diperkirakan sebesar   Rp 15,97
trilyun, dari jumlah tersebut yang telah memiliki peta lokasi adalah
sepanjang dengan perkiraan pembebasan sebesar Rp  15,97 trilyun.
Dana awal yang akan ditalangi oleh Pemerintah untuk kepentingan
pembebasan  tanah  itu  adalah  sebesar  Rp  3  trilyun.  Setelah  tanah
dibebaskan investor  wajib membayar biaya  yang telah digunakan,
berikut bunganya
13
.

b.  Pemerintah  saat  ini  juga  sedang  melakukan  perbaikan  terhadap
jalur lintas Timur Sumatra (Jalintim) sepanjang  320 km dari total
406  km.  Dana  perbaikan  sebesar  Rp  280  milyard  diperoleh  dari
APBN  dan  pinjaman  dari  Asian  Development  Bank
14
.  Sementara
itu juga sedang dilakukan pembangunan jalur Pantai Timur dengan
panjang  keseluruhan  185,95  km  yang  telah  dimulai
pembangunannya  sejak  tahun  2002.  Biaya  pembebasan  lahan
diperoleh dari pinjaman Japan Bank for International Cooperation
(JBIC)  sebesar  Rp  540  milyar.  Dalam  pelaksanaannya  terdapat
kendala  dalam  pembebasan  lahan  karena  permintaan  harga  tanah
yang terlalu besar dari pemilik tanah. Hal itu mengakibatkan  Rp 80
milyar  dana  harus  dikembalikan  sementara  terdapat  72  bidang
tanah milik 400 KK yang belum dibebaskan
15
.
2.  Pembangunan Jalan Kereta Api dan Monorail
a.  Rencana  pembangunan  jalan  kereta  api  di  Kalimantan  sepanjang
918 km  yang terdiri dari 4 ruas masing-masing sepanjang 70 km,
277 km, 250 km dan  321 km. Jalur-jalur rel kereta api yang akan
dibangun  tersebut  untuk  mempermudah  akses  ke  pelabuhan  dari
daerah-daerah  yang  kaya  akan  sumber  daya  alam,  baik  tambang
13
Kompas, 18 Agustus 2006.

14
Kompas, 28 Juni 2006.
15
Kompas 12 Agustus 2006.
12
maupun  perkebunan.  Pada  saat  ini  sedang  dilaksanakan  kegiatan
”feasibility  study”  yang  dilakukan  oleh  konsorsium  Inggris  dan
Irlandia
16
.
b.  Dalam  upaya  optimalisasi  jalan  kereta  api  di  Lampung,  saat  ini
sedang dilakukan perbaikan lintasan sepanjang 105 km. Disamping
itu juga sedang dilakukan pembangunan jaringan rel kereta api luar
kota  Bandar  Lampung  dengan  biaya  sekitar  Rp  400  milyar.
Pembangunan  jalan  kereta  api  lain  yang  sedang  dilakukan  adalah
jaringan baru dari Tarahan ke Bakauheni sepanjang 100 km dengan
jumlah dana diperkirakan sebesar Rp 1,3 trilyun
17
.
3.  Pembangunan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan
18
a.  Pembangunan sistem transportasi sungai, danau dan penyeberangan
di  Pulau  Kalimantan  yang  terpadu  dengan  sistem  transsportasi
dasar Trans Kalimantan;


b.  Pembangunan  prasarana  dermaga  penyeberangan,  terutama  pada
lintas-lintas antar provinsi;
c.  Pembangunan  dermaga  danau  di  Danau  Toba,  Ranau,  Kerinci,
Gajah Mungkur, Kedung Ombo dan Cacaban;
d.  Rehabilitasi  dermaga  sungai  di  23  lokasi  yang  tersebar  di  Pulau
Sumatera dan kalimantan;
e.  Rehabilitasi  dermaga  penyeberangan  di  23  lokasi,  di  mana  5
diantaranya milik ASDP.
16
Kompas, 20 Juli 2006.
17
Kompas, 25 April 2006.
18
Lihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah, op.cit, halaman 400-401.
13
4.  Pembangunan Pelabuhan
a.  Pembangunan  terminal  khusus  mobil  (car  terminal)  di  pelabuhan
Tanjung Priok.  Kebutuhan bongkar muat khusus mobil di Tanjung
Priok  untuk  bongkar  muat  mobil,  baik  kebutuhan  dalam  negeri
maupun  ekspor  adalah  sebesar  125.000-150.000  unit  per  tahun.
Sebagaimana  diketahui  sampai  saat  ini  pelabuhan  Tanjung  Priok
belum  memiliki  terminal  khusus  untuk  mobil  seperti  di  negaranegara tetangga. Tanah seluas 22 ha untuk keperluan tersebut telah
disiapkan  oleh  PT  Pelindo  II.  Pembangunan  yang  diharapkan
selesai  pada  tahun  2007  tersebut  akan  menelan  biaya  sebesar  Rp
200  milyar.  Pada  tahap  ke  2  akan  dibangun  gudang  parkir  dan

workshop dengan daya tampung sekitar 350.000 unit per tahun
19
.
b.  Sebanyak  45  kepala  daerah  mengajukan  permintaan  untuk
mengelola  145  pelabuhan  lokal.  Sampai  saat  ini  pelabuhan  yang
masih  dikelola   oleh  Departemen  Perhubungan  sebanyak  321
pelabuhan
20
.  Sesuai  dengan  semangat  UU  No  32  tahun  2004,
secara  bertahap  pelabuhan  akan  dilimpahkan  pengelolaannya
kepada Pemda. Seluruh  asetnyapun akan diserahkan kepada Pemda
melalui  Departemen  Keuangan.  Dalam  pelaksanaan  PP  No  69
tahun  2001  telah  dibuat  Keputusan  Menteri  Perhubungan  tentang
Pelimpahan/Penyerahan  Penyelenggaraan  Pelabuhan  Laut  (Unit
Pelaksana  Teknis/Satuan  Kerja  kepada  Pemprov  dan
Pemkab/Kota),  ditetapkan  diantaranya  pelabuhan  regional  dan
pelabuhan lokal.
c.  Rencana pembangunan Pelabuhan Internasional Bojonegara (PIB),
di mana pada tahap I akan membutuhkan investasi sebesar Rp 1,9
Trilyun.  Ada  investor  pelabuhan  asing,  yaitu  Port  of  Singapore
19
Business News, 22 Agustus 2006.
20
Kompas, 15 Juni 2006. Lihat juga Business News, 15 Juni 2006.


14
Authority (PSA) dan Hutchison Ports Indonesia Pte Ltd (HPI) yang
bersaing  untuk  mendapatkan  kepercayaan  Pemerintah  untuk
membangun  dan  mengelola  Pelabuhan  Internasional  Bojonegara.
PIB  nantinya  akan  dijadikan  Hub  internasional  dan  Akan
dilengkapi  dengan  terminal  peti  kemas,  curah  kering,  curah  cair,
multipurpose  dan  Ro  Ro.  PIB  diharapkan  bisa  beroperasi  pada
tahun  2009  yang  akan  difungsikan  sebagai  alternatif  untuk
menampung  kelebihan  kapasitas  Pelabuhan  Tanjung  Priok  yang
diperkirakan  akan  stagnan  pada  tahun  2009.  Pembangunan  PIB
sangat  diperlukan  karena  Pelabuhan  Tanjung  Priok  pada  tahun
2009  akan  mengalami  kelebihan  kapasitas  sampai  4  juta  TEU’s
(twenty-foot  equivalent  unit)
21
.  Untuk  kepentingan  PIB  sudah
dikeluarkan  SK  Menteri  Perhubungan  No  KM  67/2005  tentang
Rencana  Induk  Pelabuhan  Bojonegara  sebagai  Pedoman
Pembangunan  dan  Pengembangan  pelabuhan  Bojonegara.  Untuk
pembangunannya  dibutuhkan  lahan  daratan  total  seluas  500  ha
yang  akan  digunakan  untuk  pelayanan  kepelabuhanan  seluas  150
ha dan lahan untuk jasa pendukung pelabuhan seluas 350 ha. Selain
itu,  kebutuhan  areal  perairan  seluas  7.495  ha  akan  dimanfaatkan
untuk kegiatan pelayanan jasa kepelabuhanan seluas 2.697 ha dan
perairan untuk kegiatan keselamatan pelayaran seluas 4.798 ha.


5.  Pembangunan Transportasi Udara
a.  Pengembangan  kapasitas  Bandar  Udara  Soekarno-Hatta  yang  saat
ini hanya mampu untuk menampung 18 juta penumpang per tahun,
sementara  jumlah  penumpangnya  sudah  mencapai  28  juta  per
tahun
22
.  Pembangunan landas pacu 15.150  x 45 m2 antara lain di
Makassar,  Medan,  Ternate,  Sorong.  Pembangunan  terminal
21
Bisnis Indonesia, 4 Januari 2006.
22
Kompas, 15 Juni 2006.
15
penumpang 171.085 m2 antara lain di Makassar, Medan, Ternate,
Sorong dan Lombok
23
;
b.  Rehabilitasi fasilitas landasan 2,82 juta m2, terminal 231.013 m2,
dan bangunan operasional seluas 143.038 m2
24
;





C.  Regulasi Pembangunan Infrastruktur Transportasi
1.  UU No 38 tahun 2004 tentang Jalan
Undang-undang  ini  disusun  dengan  mempertimbangkan  fungsi  jalan
sebagai salah satu sarana transportasi yang merupakan unsur penting
dalam pengembangan  kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya
untuk  memajukan  kesejahteraan  umum.  Undang-undang  ini  juga
disusun  untuk  mengakomodasikan  berbagai  kepentingan  seperti
perkembangan  otonomi  daerah,  tantangan  persaingan  global  serta
tuntutan  peningkatan  peran  serta  masyarakat  dalam  penyelenggaraan
jalan. Dalam ketentuan Bab V tentang Jalan Tol antara lain dinyatakan
bahwa  pengusahaan  jalan  tol  dilakukan  oleh  Pemerintah  dan/atau
badan usaha yang memenuhi persyaratan.
2.  UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran
Undang-undang No 17 tahun 2008 tentang pelayaran merupakan suatu
perwujudan  upaya  untuk  meningkatkan  dan  mendorong  kemajuan
kegiatan  pelayaran  di  Indonesia  sebagai  negara  maritim.  Undangundang  ini  juga  membuka  kemungkinan  partisipasi  swasta  dalam
pengelolaan  pelabuhan  yang  selama  ini  dilakukan  secara  monopoli.
Partisipasi  swasta  tersebut  termasuk  investor  asing  yang
dimungkinkan untuk memiliki saham yang cukup besar.
23
Lihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah, op.cit, halaman 412.
16




3.  UU No 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian
Sebagai salah satu moda transportasi darat yang strategis, pengelolaan
perkereta-apian  memerlukan  penataan  agar  tidak  saja  mampu
menjamin  keselamatan  dan  keamanan  yang  lebih  baik,  namun  juga
terjangkau  oleh  masyarakat.  Dalam  rangka  mencapai  tujuan  itu,
terbukanya kemungkinan partisipasi masyarakat melalui swasta, baik
asing  maupun  lokal  menjadi  suatu  kebutuhan  yang  perlu
diakomodasikan.  Undang-undang  ini  dirumuskan  untuk  menjawab
kebutuhan tersebut.
4.  UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan
UU  No  1  tahun  2009  tentang  Penerbangan  menggantikan  UU
Penerbangan  sebelumnya,  yaitu  UUU  No  15  tahun  1992.    Dari  sisi
materi  muatan,  UU  ini  boleh  dikatakan  sangat  komprehensif  karena
terdiri  dari  24  Bab  dan  466  pasal.  Hal  itu  tidak  mengherankan,
mengingat  adanya  prasyarat  dari  Uni  Eropa  tentang  dimasukkannya
ketentuan-ketentuan  tertentu,  khususnya  yang  menyangkut
Keselamatan  Penerbangan  dalam  Undang-Undang  Penerbangan
tersebut apabila larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia ke
Uni Eropa hendak dicabut.  Kebijakan langit terbuka (open sky policy)
juga  tercermin  dari  undang-undang  ini,  yang  tidak  hanya  meliputi
pemilikan  dan  pengoperasian  maskapai  penerbangan,  namun  juga
mencakup pengelolaan bandar udara.




5.  UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-undang  tentang  Penanaman  Modal  memang  dirancang
sebagai undang-undang yang diharapkan mampu meningkatkan daya
saing  investasi  Indonesia.  Terdapat  berbagai  bentuk  insentif
penanaman  modal  yang  ditawarkan,  termasuk  namun  tidak  terbatas
24
Ibid.
17
pada:  perlakuan  yang  sama  terhadap  investor  asing  maupun  lokal;
jaminan  tidak  dilakukannya  nasionalisasi  dan  pengembilalihan  hak
milik  asing;  terbukanya  bidang-bidang  usaha  untuk  kegiatan
penanaman  modal  asing;  tidak  adanya  keharusan  divestasi;
kemungkinan  kepemilikan  saham  asing  yang  lebih  besar;  lebih
terbukanya  kemungkinan  ekspatriat  bekerja  di  Indonesia;  dan  lainlain.
6.  Undang-undang  No 7 tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah
terakhir dengan UU No 39 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Sebagai  insentif  bagi  kegiatan  investasi,  pernah  diterapkan  berbagai
skema insentif pajak, seperti: tax holiday; amortisasi yang dipercepat,
keringanan  pajak,  dsb.  Skema  insentif  pajak  tersebut  berubah  dari
waktu  ke  waktu  seiring  dengan  perubahan  perundang-undangan  di
bidang  perpajakan.  Kepentingan  investor  yang  perlu  diperhatikan
dalam  pembangunan  investasi  infrastruktur  adalah  adanya  kepastian
hukum dan konsistensi implementasi di bidang perpajakan. Tentu saja
beberapa  skema  insentif  yang  bersifat  khusus  juga  perlu
dipertimbangkan.

7.  Undang-undang No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan
Untuk  mendorong  investasi,  dalam  UU  No  10  tahun  1995  tentang
Kepabeanan  terdapat  beberapa  fasilitas  dari  sisi  kepabeanan  yang
diberikan  kepada  investor,  termasuk  namun  tidak  terbatas  pada
pembebasan  bea  masuk  barang  modal,  percepatan  pelayanan
kepabeanan,  pemberian  prioritas,  dsb.  Fasilitas  tersebut  dapat
diberikan, misalnya terhadap barang modal, apabila telah dimasukkan
dalam ”master list” barang modal yang disetujui oleh BKPM.  Upaya
penyempurnaan  UU  kepabeanan  saat  ini  sedang  dilakukan  dalam
rangka: penyederhanaan prosedur pemeriksaan kepabeanan; perluasan
18
fungsi  tempat  penimbunan  berikat;  pengembangan  sistem  EDI
(”electronic  data  interchange”);  penetapan  kriteria  yang  jelas  jalur
hijau dan jalur merah.
8.  Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Atas  dasar  perundang-perundangan  yang  berlaku  di  bidang
ketenagakerjaan saat ini, masih terdapat beberapa masalah yang masih
mengganjal  dari  sisi  kepentingan  investor  yang  memerlukan
penyempurnaan. Ketentuan-ketentuan di bidang ketenagakerjaan yang
masih  perlu  direvisi  menyangkut,  antara  lain:  upah;  pemutusan
hubungan  kerja;  pesangon;  cuti;  penyelesaian  sengketa  perburuhan;
maraknya  demo  dan  pemogokan  buruh,  masalah  outsourcing  dan
kontrak  kerja,  dan  lain-lain  Disamping  itu  diperlukan  pula  insentif
yang berkaitan dengan ijin penggunaan tenaga kerja asing.


9.  Undang-undang No 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian
Bentuk  pelayanan  keimigrasian  yang  baik,  termasuk  ijin  tinggal
sementara, visa kerja merupakan  bentuk insentif bagi investor dalam
melakukan kegiatan investasi.
10.  Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Agraria
Undang-undang  No  5  tahun  1960  tentang  Agraria  memberikan  hakhak  tertentu  atas  tanah  seperti  hak  milik,  hak  guna  usaha,  hak  guna
bangunan,  hak  pakai  ,  dan  lain-lain  Namun  khusus  mengenai  hak
milik tidak dapat diberikan kepada  individu atau badan hukum asing.
Salah  satu  bentuk  insentif  bagi  kegiatan  investasi  dari  segi  hak-hak
atas tanah  adalah  adanya upaya untuk memperpanjang jangka  waktu
hak-hak  atas  tanah  seperti  hak  guna  usaha,  hak  guna  bangunan  dan
hak pakai, di mana hak-hak tersebut dapat dijadikan hak tanggungan.
19
11.  Peraturan Pemerintah No 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol
Peraturan Pemerintah No 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol dirumuskan
sebagai  salah  satu  bentuk  penjabaran  dari  UU  No  38  tahun  2004
tentang Jalan. Peraturan Pemerintah ini mengatur secara rinci berbagai
hal  yang  berkaitan  dengan  Jalan  Tol,  yang  meliputi,  antara  lain:
ketentuan  umum;  penyelenggaraan  jalan  tol;  pengaturan  jalan  tol;
pembinaan  jalan  tol;  pengusahaan  jalan  tol;  pengawasan  jalan  tol;
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT); hak dan kewajiban pengguna dan
badan  usaha  jalan  tol;  ketentuan  peralihan  dan  ketentuan  penutup.
Dari  keseluruhan  ketentuan-ketentuan  yang  mengatur  jalan  tol,  yang
paling  relevan  untuk  diuraikan  di  sini  adalah  menyangkut
pengusahaan  jalan  tol

25
.  Pengusahaan  jalan  tol  yang  meliputi
pendanaan,  perencanaan  teknis,  pelaksanaan  konstruksi,
pengoperasian  dan  atau  pemeliharaan  dapat  dilakukan   oleh
Pemerintah dan/atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan. Oleh
karena  itu  sepanjang  dipenuhi  persyaratan-persyaratan  yang
ditetapkan, maka Badan Usaha (termasuk swasta) dapat berpartisipasi
dalam pengusahaan jalan tol. Dengan demikian Peraturan Pemerintah
ini memberi landasan hukum yang cukup kuat bagi partisipasi sektor
swasta.  Ketentuan-ketentuan  mengenai  pengusahaan  jalan  tol  secara
rinci  mengatur  hal-hal  yang  terkait  dengan  pengusahaan  jalan  tol,
seperti:  bentuk pengusahaan
26
; pendanaan
27
; persiapan pengusahaan
28
;
perencanaan  teknis
29
;  pengadaan  tanah
30
;  pelaksanaan  konstruksi
31
;

pengoperasian
32
; pemeliharaan
33
; pelelangan pengusahaan jalan tol
34
;
perjanjian pengusahaan jalan tol
35
; dan tarif tol
36
.
25
Ketentuan mengenai pengusahaan jalan tol terdapat pada Bab V tentang Pengusahaan Jalan Tol,
mulai pasal 19 sampai dengan pasal 68.
26
Pasal 19-22.
27
Pasal 23.
28
Pasal 24-26.
29
Pasal 27.
30
Pasal 28-29.

31
Pasal 30-35.
32
Pasal 36-52.
20
12.  Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2006 tentang Jalan
13.  Peraturan  Pemerintah  No  23  tahun  2005  tentang  Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum
14.   Peraturan  Pemerintah  No  87  tahun  2003  tentang  Tim  Nasional
Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi.
15.  Peraturan Pemerintah  No  62  tahun 2008 tentang Perubahan atas
Peraturan  Pemerintah  No  1  tahun  2007  tentang  Fasilitas  Pajak
Penghasilan  untuk  Penanaman  Modal  di  bidang  usaha-usaha
tertentu dan/atau di daerah tertentu.
16.  Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2000 tentang Pajak Daerah.
17.  Peraturan  Pemerintah  No  25  tahun  2000  tentang  Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah otonom.
18. Peraturan  Pemerintah  No  45  tahun  1996  tentang  Pajak
Penghasilan  atas  Penghasilan  Wajib  Pajak  Badan  untuk  Usaha
Industri tertentu.
19.  Peraturan Pemerintah No 44 tahun 1997 tentang Kemitraan.
20.  Peraturan  Pemerintah  No 15 tahun 1999 tentang Bentuk-bentuk
Tagihan  tertentu  yang  Dapat  Dikompensasikan  sebagai  Setorah
Saham;
33

Pasal 53-54.
34
Pasal 55-63.
35
Pasal 64-65.
36
Pasal 66 -68.
21
21.  Instruksi  Presiden  No  3  tahun  2006  tentang  Paket  Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi
Instruksi Presiden ini merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki
iklim investasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi  Indonesia.
Dalam  lampiran  dari  Instruksi  ini  dijabarkan  dalam  5  aspek
37
,  19
kebijakan
38
,  85  Program  aksi  (”action plan”) yang dilengkapi dengan
keluaran,  sasaran  waktu  dan  penanggungjawab  masing-masing
39
.
Instruksi Presiden ini tentu saja mencerminkan keseriusan Pemerintah
(minimal  Presiden)  dalam  upaya  mendongkrak    iklim  investasi
Indonesia,  hal  mana  tentu  saja  dapat  dianggap  merupakan  bentuk
jaminan  dan  perlindungan  investasi.  Namun  dalam  perjalanannya,

yang  paling  sulit  adalah  pada  konsistensi  dan  kesungguhan  dalam
tataran  implementasinya,  hal  mana  merupakan  salah  satu  kelemahan
mendasar  kita  yang  telah  banyak  diketahui,  dan  bahkan  seringkali
dikeluhkan oleh kalangan investor.
22.  Peraturan  Presiden  No  67  tahun  2005  tentang  Kerjasama
Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
Peraturan  Presiden  ini  memberikan  dasar  hukum  bagi  kerjasama
antara  Pemerintah  dengan  Badan  Usaha  dalam  Penyediaan
Infrastruktur,  termasuk  infrastruktur  transportasi.  Dalam  konteks
37
Meliputi aspek umum; Kepabeanan dan Cukai; Perpajakan; Ketenagakerjaan; Usaha Kecil,
Menengah dan Koperasi.
38
Memperkuat kelembagaan pelayanan investasi; sinkronisasi peraturan pusat dan peraturan
daerah; kejelasan ketentuan mengenau kewajiban AMDAL; percepatan arus barang;
pengembangan peranan kawasan berikat; pemberantasan penyeleundupan; debrokratisasi di bidang
cukai; insentif perpajakan untuk investasi; melaksanakan “self assessment” secara konsisten;
perubahan PPN untuk mempromosikan ekspor; melindungi hak wajib pajak; mempromosikan
transparansi dan disclosure; menciptakan iklim hubungan industr ial yang mendukung perluasan
lapangan kerja; perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri; penyelesaian berbagai
perselisihan hubungan industrial secara cepat, murah dan berkeadilan; mempercepat proses
penerbitan perijinan ketenagakerjaan; penciptaan pasar tenaga kerja fleksibel dan produktif;
terobosan paradigma pembangunan transmigrasi dalam rangka perluasan lapangan kerja; dan
pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi.
39
Untuk analisis terhadap Inpres No 3 tahun 2006, baca: Tulus Tambunan, “Iklim Investasi di
Indonesia: Masalah, Tantangan dan Potensi”, Kadin Indonesia-Jetro 2006. Baca juga: M Ichsan
Modjo, “Implementasi Paket Kebijakan Investasi”, dalam Jawa Pos, 13 Maret 2006.
22
tersebut  maka  peraturan  presiden  ini  lebih  memberikan  kepastian
hukum  bagi  partisipasi  badan  hukum  (swasta)  yang  mau  melakukan
investasi  dalam  pembangunan  infrastruktur  transportasi.  Salah  satu
ketentuan  yang penting  dalam Peraturan Presiden  No 67 tahun 2005
dikaitkan dengan jaminan dan perlindungan investasi adalah ketentuan
yang  mengatur  tentang  Pengelolaan  Resiko  dan  Dukungan
Pemerintah
40
.  Minimal  dalam  ketentuan  tersebut  diatur  hal-hal  yang
berkaitan  dengan  pengelolaan  risiko  (”risk  management”),  termasuk
pembebanan risiko bersama (”risk burden sharing”) antara Pemerintah
(Menteri/Kepala  Lembaga/Kepala  Daerah)  dengan  Badan  Usaha
sesuai  dengan  isi  kerjasama.  Ketentuan  ini  tentu  saja  secara  teoritis
akan  mampu  memberikan  ketenangan  pada  investor  karena  dengan

ikut  menanggung  resiko  maka  Pemerintah  akan  serius  dan  sangat
terlibat dalam menunjang keberhasilan investasi.
23.  Keputusan  Presiden  No  80  tahun  2003  tentang  Pedoman
Pelaksanaan  Pengadaan  Barang/Jasa  Pemerintah  sebagaimana
diubah,  terakhir  dengan  perubahan  ke  Enam  dengan  Peraturan
Presiden No  85 tahun 2006
Keputusan  Presiden  No  80  tahun  2003  beserta  segenap
perubahannya
41
dirancang  sebagai  pedoman  agar  pengadaan
barang/jasa  Pemerintah  yang  dibiayai  dengan  APBN/APBD  dapat
dilaksanakan  dengan  efektif  dan  efisien  dengan  prinsip  persaingan
sehat, transparan,  terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak,
sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi fisik,
keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan
40
Periksa ketentuan Peraturan Presiden No 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan
Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, khususnya Bab VI tentang Pengelolaan Resiko dan
Dukungan Pemerintah, Pasal 16 dan 17.
41
Perubahan yang dilakukan antara lain dengan: Keppres No 61 tahun 2004; Peraturan Presiden
No 32 tahun 2005; Peraturan Presiden No 70 tahun 2005; Peraturan Presiden No 8 tahun 2006;


Peraturan Presiden No 79 tahun 2006; dan terakhir (ke enam) dengan Peraturan Presiden No 85
tahun 2006.
23
pelayanan  masyarakat
42
.  Ketentuan-ketentuan  pokok  yang  diatur
dalam  Keppres  ini,  antara  lain:  ketentuan  umum;  pengadaan  yang
dilaksanakan  penyedia  barang/jasa;  swakelola;  pendayagunaan
produksi dalam negeri dan peran serta usaha kecil termasuk koperasi
kecil;  pembinaan  dan  pengawasan;  pengembangan  kebijakan
pengadaan  barang/jasa  Pemerintah;  ketentuan  lain-lain;  ketentuan
peralihan; dan ketentuan penutup. Keppres ini juga dilengkapi dengan
penjelasan  dan  lampiran.  Lampiran  I  terdiri  dari  5  bab
43
sedangkan
Lampiran II terdiri dari 2 contoh formulir
44
.  Apabila diteliti ketentuan
yang terdapat pada Keppres No  80 tahun 2003 beserta perubahannya,
akan  nampak  bahwa  pengaturannya  sangat  dipengaruhi  dengan
pembahasan  pada  forum  World   Trade  Organization  (WTO),
khususnya yang berkaitan dengan ”Government Procurement”. Upaya
mengikuti  standard  internasional  dalam  pengadaan  barang/jasa



pemerintah  tentu  saja  merupakan  insentif,  jaminan  dan  perlindungan
terhadap  badan  usaha  asing  yang  mungkin  ikut  berpartisipasi  dalam
kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.
24.  Peraturan  Presiden  No  36  tahun  2005  sebagaimana  diubah
dengan Peraturan Presiden  No 65 tahun 2005  tentang Pengadaan
Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Secara  umum  ketentuan  dalam  kedua  Peraturan  Presiden  ini
dimaksudkan  untuk  membantu  proses  pengadaan  tanah  bagi
kepentingan  umum,  termasuk  untuk  kepentingan  investasi  di  bidang
infrastruktur  transportasi.  Peraturan  tersebut  akan  dapat  memberikan
42
Paragraph 1 konsiderans menimbang pada Keppres No 80 tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah.
43
Terdiri dari : persiapan pengadaan barang/jasa Pemerintah; proses pengadaan barang/jasa yang
memerlukan penyediaan barang/jasa; pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan swakelola; lainlain; serta pelaksanaan penilaian kualifikasi. Yang menarik dari Bab IV (lain-lain) adalah
pengadaan barang/jasa dengan dana pinjaman/hibah luar negeri; serta pengadaan barang/jasa
dengan E-procurement.
24
kepastian hukum lebih baik bagi kalangan investor yang berpartisipasi
dalam  pembangunan  infrastruktur  transportasi,  terutama  dari  sisi
waktu dan  biaya pembebasan tanah yang harus dikeluarkan. Ini tentu

saja  dapat  diklasifikasikan  sebagai  bentuk  jaminan  dan  perlindungan
investasi. Secara eksplisit misalnya dinyatakan, bahwa yang termasuk
pembangunann  untuk  kepentingan  umum  meliputi:  jalan  umum  dan
jalan tol
45
; rel kereta api
46
; pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api
dan terminal
47
; dan lain-lain.
25.  Peraturan Presiden No 42 tahun 2005 tentang Komite Kebijakan
Percepatan Penyediaan Infrastruktur
Pertimbangan  dari  dikeluarkannya  Peraturan  Presiden  No  42  tahun
2005 tentang  Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan  Infrastruktur
adalah  untuk  lebih  mengefektifkan  koordinasi  dalam  rangka
percepatan penyediaan infrastruktur melalui penyempurnaan tugas dan
fungsi  serta  keanggotaan  komite  dimaksud
48
.  Komite  yang  diketuai
Menko  Perekonomian  dan  bertanggungjawab  kepada  Presiden  ini
mempunyai tugas pokok
49
:


i.  merumuskan  strategi  dalam  rangka  koordinasi  pelaksanaan
penyediaan infrastruktur;
ii.  mengkoordinasikan  dan  memantau  pelaksanaan  kebijakan
percepatan  penyediaan  infrastruktur  oleh  Menteri  terkait  dan
Pemerintah Daerah;
44
2 contoh formulir, masing-masing: contoh formulir penilaian kualifikasi pekerjaan jasa
pemborongan, pemasukan barang/jasa lainnya; dan contoh formulir penilaian kualifikasi pekerjaan
jasa konsultasi.
45
Lihat ketentuan pasal 5 huruf a Peraturan Presiden No 65 tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
46
Ibid.
47
Ibid, pasal 5 huruf c.
48
Komite dimaksud di sini adalah Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur atas
dasar Keputusan Presiden No 81 tahun 2001.
49
Ketentuan Pasal 2 Peraturan Presiden No 42 tahun 2005.
25


iii.  merumuskan kebijakan pelaksanaan kewajiban pelayanan umum
(”public  service  obligation”)  dalam  percepatan  penyediaan
infrastruktur;
iv.  menetapkan  upaya  pemecahan  berbagai  permasalahan  yang
terkait dengan percepatan penyediaan infrastruktur.
Infrastruktur  dalam  Peraturan  Presiden  ini  mencakup:  infrastruktur
transportasi,  disamping  infrastruktur  lainnya  seperti  jalan,  pengairan,
air  minum  dan  sanitasi,  telematika,  ketenagalistrikan  dan
pengangkutan minyak dan gas bumi
50
.
26.  Instruksi  Presiden  No  5  tahun  2003  tentang  Paket  Kebijakan
Ekonomi  Menjelang  dan  sesudah  berakhirnya  Program
Kerjasama dengan International Monetary Fund
Inpres ini memuat paket kebijakan ekonomi pasca kerjasama dengan
IMF  yang terutama dilakasanakan pada tahun 2003 dan 2004 dengan
sasaran  pokok:  memelihara  dan  memantapkan  stabilitas  ekonomi
makro yang sudah dicapai; melanjutkan restrukturisasi dan reformasi
sektor keuangan; dan meningkatkan investasi, ekspor dan penciptaan
lapangan  kerja.  Paket  kebijakan  ekonomi  ini  dilengkapi  dengan
matriks  yan  g  berisi  butir-butir  kebijakan,  rencana  tindak,  keluaran,
sasaran waktu, pelaksana dan penanggung jawabnya. Sifatnya  cukup
komprehensip  dan  dalam  banyak  hal,  baik  format  maupun
substansinya diambil alih oleh Inpres No 3 tahun 2006, yang banyak
berbeda lebih kepada sasaran waktunya.

27.  Keputusan  Presiden  No  97  tahun  1993  tentang  Tata  Cara
Penanaman  Modal  sebagaimana  telah  beberapa  kali  diubah,
terakhir dengan Keputusan Presiden No 117 tahun 1998;
26
28.  Keputusan  Menteri  Keuangan  No  518/KMK.01/2005  tanggal  31
Oktober  2005  tentang  Pembentukan  Komite  Pengelolaan  Resiko
atas Penyediaan Infrastruktur
Keputusan  Menteri  Keuangan  ini  dikeluarkan  guna  mendukung
penyediaan infrastruktur yang memadai dan  berkesinambungan dalam
pengelolaan resiko yang dihadapi oleh Pemerintah dalam penyediaan
infrastruktur tersebut
51
. Untuk itu dipandang perlu untuk membentuk
suatu  Unit  Kerja  di  lingkungan  Departemen  Keuangan  yang  akan
bertugas  untuk  mengidentifikasi,  mengevaluasi  dan  mengendalikan
resiko  yang  berpotensi  membebani  keuangan  Negara.  Sebelum  unit
kerja  tersebut  terbentuk  maka  perlu  dibentuk  Suatu  Komite
Pengelolaan  Resiko  yang  melaksanakan  fungsi  pengelolaan  resiko
atas  penyediaan  infrastruktur  sampai  dengan  terbentuknya  unit  kerja
dimaksud.






29.  Peraturan  Menteri  Keuangan  No  38/PMK.01/2006  tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Resiko atas
Penyediaan Infrastruktur
Perumusan  Peraturan  Menteri  Keuangan  ini  dimaksudkan  sebagai
petunjuk  dalam  Pelaksanaan  Pengendalian  dan  Pengelolaan  resiko
atas  Penyediaan  Infrastruktur.  Ketentuan-ketentuan  yang  penting
dalam  Peraturan  Menteri  tersebut,  antara  lain:  pembentukan  Unit
Pengelola  Resiko;  pembagian  resiko  atas  resiko  politik  (”political
risk”), resiko kinerja proyek (”project performance risk”), dan resiko
permintaan (”demand risk”); serta pedoman  yang mengatur tentang
ruang lingkup pengelolaan resiko, jenis resiko dan bentuk dukungan
Pemerintah;  kriteria  pemberian  dukungan  Pemerintah;  prosedur
50
Ibid, Pasal 5.
51
Lihat konsiderans Menimbang huruf a,b, dan c dari Keputusan Menteri Keaungan No
518/KMK.01/2005 tanggal 31 Oktober 2005.
27
alokasi  dana  dalam  rangka  pengelolaan  resiko  atas  penyediaan
infrastruktur, serta pelaporan dan pengawasan.
30.  Peraturan  Menteri  Keuangan  No  136/PMK.05/2006  tanggal  27
Desember 2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan
No 119/PMK.05/2006 tentang Tata Cara  Penyediaan, Pencarian
dan Pengelolaan Dana Dukungan Infrastruktur


31.  Surat  Edaran  Menteri  Pekerjaan  Umum  No  11/SE/M/2005
tanggal 16 November 2005 tentang Pedoman Penyesuaian  Harga
Satuan dan Nilai Kontrak
Surat  Edaran  Menteri  ini  mengatur  tentang  Penyesuaian  Harga
Satuan  dan  Nilai  Kontrak  Kegiatan  Pemerintah  tahun  Anggaran
2005  dalam  rangka  menyamakan  persepsi  dan  tertib  administrasi
dalam  implementasinya.  Ketentuan-ketentuan  yang  diatur  meliputi:
ketentuan  umum;  lingkup  eskalasi  harga;  cara  perhitungan  eskalasi
harga;  sumber  dana;  mekanisme  pengajuan  eskalasi  harga;
mekanisme  pengajuan  revisi  DIPA;  serta  administrasi  kontrak.
Ketentuan  ini  juga  penting  untuk  diketahui  oleh  kalangan  investor
guna  dijadikan  sebagai  pedoman  dalam  penghitungan  harga  sesuai
dengan kontrak mereka (baik barang maupun jasa).
32. Peraturan  Menteri  Pekerjaan  Umum  No  295/PRT/M/2005
tentang Badan Pengatur jalan Tol;
33.  Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 11/PRT/M/2006 tentang
Wewenang  dan  Tugas  Penyelenggaraan  Jalan  Tol  pada
Direktorat Jendral Bina Marga, Badan Pengatur Jalan Tol dan
Badan Usaha Jalan Tol;
28






34.    Peraturan  Gubernur  Provinsi  DKI  Jakarta  No  9  tahun  2006
tentang  Penguasaan  Perencanaan/Peruntukan  Bidang  Tanah
untuk  Pelaksanaan  Pembangunan  Trace  Jalan  Tanah  Tinggi
Barat/Timur Kemayoran Gempol  di Kelurahan Harapan Mulya,
Kelurahan Bungur, Kelurahan Utan Panjang, Kelurahan Kebon
Kosong, Kelurahan Serdang, Kecamatan Senen, dan Kecamatan
Kemayoran Kotamadya Jakarta Pusat;
29
BAB III
SKEMA JAMINAN DAN PERLINDUNGAN INVESTASI DALAM
PEMBANGUNAN INFRASTUKTUR TRANSPORTASI

A.  Jaminan Pemerintah atas Kerugian yang Mungkin Timbul
1.  Revenue Shortfall Guarantee
Bentuk  jaminan  yang  diberikan  oleh  Pemerintah  dalam  hal  pendapatan
(”revenue”)  yang  diperoleh  oleh  investor  berada  di  bawah  dari  angka
pendapatan yang diperkirakan.
2.  Dana Penjaminan Infrastruktur
Guna  memberikan  jaminan  terhadap  investasi  di  bidang  infrastruktur,
Pemerintah menempuh kebijakan menempatkan dana penjaminan  dalam
suatu  rekening  khusus  yang  akan  menampung  dana-dana  yang  terkait
dengan  pengembangan  infrastruktur.  Rekening  ini  akan  dikelola  oleh
Dirjen  Perbendaharaan  Negara.  Pada  tahun  2006  Kepala  Badan
Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional (Bapekki)
Departemen  Keuangan  telah  merekomendasikan  tujuh  proyek  jalan  tol

yang  dapat  memperoleh  penjaminan  kepada  Menteri  Keuangan
52
.  Dana
yang  tersimpan  dalam  rekening  tersebut  terpisah  dari  alokasi  anggaran
infrastruktur  yang ditetapkan untuk kementrian dan lembaga. Kondisi itu
disebabkan  karena  rekening  tersebut  akan  difungsikan  juga  sebagai
penampung  dana  pihak  ketiga  yang  bekerjasama  dengan  pemerintah
dalam  membangun  proyek  infrastruktur.  Penggunaan  dana  itu  bisa
bersifat belanja atau penyertaan.
52
Pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Bapekki pada tanggaal 2 Juni 2006. Adapun ke tujuh
proyek tol itu adalah: Depok-Antasari; Cinere-Jagorawi; Makassar Seksi IV; Surabaya-Mojokerto;
Kanci-Pejagaan; dan Mojokerto-Kertosono.Lihat Kompas, 5 Juni, 2006.
30
3.  Comfort Letter (Support Letter/Administrative Letter)
Secara umum diartikan sebagai:
”A letter sent by State Authority following a notification for exemption
or negative clearance of commercial agreement that may infringe  certain
law”
53
.
Sementara itu Black’s Law Dictionary merumuskan pengertian ”Comfort
Letter”  sebagai:  ”A  Letter  from  an  accounting  firm  stating  that  while
certain  informal  procedures  were  followed  which  did  not  bring  to  light

material  changes  in  the  financial  statements  since  the  date  of  the  last
audit indicated, only an audit with established auditing procedures can be
relied upon to furnish such information”
54
.
Meskipun  “comfort  letter”  tidak  memiliki  kekuatan  mengikat  secara
hukum,  namun  pada  umumnya  tidak  dilanggar  oleh  otoritas  yang
membuatnya.
4.  Risk Sharing
Merupakan skema jaminan  yang diberikan dalam pembangunan Jakarta
Mmonorail.  Skema  Risk  Sharing  ini  diterapkan  dalam  hal  penumpang
(monorail)  di  bawah  160.000  orang   per  tahun.  Dalam  hal  jumlah
penumpang berada di bawah target, maka pemerintah akan bersama-sama
menanggung resikonya.
53
Lihat Martin A Elizabeth (Ed), A Dictionary of Law, Fifth Edition, Oxford University Press,
Oxford, 2003, halaman 89. Bandingkan dengan pengertian yang dikemukakan oleh I.P.M
Ranuhandoko, Terminologi Hukum , Inggris-Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, 2003, halaman
141, yang merumuskan Comfort Letter sebagai: “Surat rincian mengenai keuangan yang dibuat
oleh seorang akuntan, yang sulit dimengerti oleh orang awam”.
54
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, West Publishing Co, 1979,

halaman 242.
31
B.  Jaminan dalam Pengadaan Tanah
1.  Pemerintah  menegaskan  siap  berbagi  resiko  dengan  investor  dalam
proses pembebasan lahan untuk jalan tol. Bentuknya adalah Pemerintah
siap  menanggung  kelebihan  harga  tanah  yang  dibebaskan  dari  harga
tanah yang telah disepakati sebelumnya;
2.  Pemerintah mencoba memberi kepastian kepada investor dengan ”land
capping”, artinya membatasi harga tanah yang dibebaskan. Jika terjadi
kelebihan  harga,  maka  10%  kelebihan  harga  ditanggung  oleh  investor
sedangkan 90 ditanggung pemerintah yang sumbernya dari APBN.
3.  Kebijakan  tersebut  selain  memberikan  kepastian  dalam  proses
pembebasan dan pembagian resiko, Pemerintah juga akan memperbaiki
masalah kepastian waktu untuk pembebasan lahan;
4.  Juga  dilakukan  revisi  terhadap  Peraturan  Presiden  No  36  tahun  2005
mengenai  Pengadaan  Tanah  bagi  pelaksanaan  Pembangunan  untuk
Kepentingan Umum yaitu dengan Perpres No 65 tahun 2006.
5.  Pemerintah juga membentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang akan
mengelola dana bergulir untuk pembebasan tanah.
C.  Jaminan Percepatan  Pelayanan Administratif
Salah  satu  faktor  yang  mengurangi  daya  saing  investasi  Indonesia   adalah
lemahnya  ”governance”  yang  disebabkan  oleh  buruknya  birokrasi  yang
mengakibatkan  ekonomi  biaya  tinggi  (”high  cost  ekonomy”).  Sebagai
gambaran  untuk  melakukan  kegiatan  usaha  di  Indonesia  dibutuhkan  12
prosedur yang memakan waktu rata-rata 151 hari.

32
Pemerintah  tampaknya  menyadari  hal  ini,  oleh  karenanya  sedang
diupayakan  untuk  menciptakan  iklim  usaha  yang  lebih  baik  dengan  cara
reformasi  birokrasi.  Prosedur  dan  jangka  waktu  memulai  usaha  juga
dipersingkat  menjadi  30  hari.  Untuk  menciptakan  perbaikan  administrasi
serta pelayanan publik, saat ini sedang dibahas Rancangan Undang-Undang
tentang  Administrasi  dan  Rancangan  Undang-undang  tentang  Pelayanan
Publik.
D.  Jaminan Kepastian Hukum
Dari  hasil  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Political  and  Economy  Risk
Consultancy  (PERC)  yang  berbasis  di  Hongkong,  dari  penelitiannya
terhadap  Sistem  Hukum  di  12  Negara  di  Asia  dari  sudut  Ekspatriat  yang
bekerja di negara-negara tersebut pada tahun 2005 menilai Indonesia adalah
negara  yang  terburuk  sistem  hukumnya
55
.  Unsur-unsur  dari  sistem  hukum
yang diteliti adalah: sistem peradilan, kepolisian, tingkat korupsi, penegakan
hukum  kontrak,  penegakan  HAKI,  keamanan,  penyelesaian  sengketa  serta
aturan nilai tukar.
Buruknya  sistem  hukum  serta  rendahnya  jaminan  kepastian  hukum
memberikan kontribusi terhadap rendahnya daya saing investasi Indonesia.
Bahkan,  pada  tahun  2006  daya  saing  investasi  Indonesia  menurun  dari
peringkat  131  pada  tahun  2005  menjadi  peringkat  135  pada  tahun  2006.
Menyadari akan hal itu, beberapa langkah yang dilakukan Pemerintah untuk
memperbaikinya, sepanjang yang dapat diobservasi, meliputi:

1.  Upaya pemberantasan korupsi;
55
Dibandingkan dengan Vietnam, China, Philipina, Thailand, India, Malaysia, Taiwan, Korea
Selatan, Jepang, Hongkong dan Singapura. Untuk selengkapnya lihat, “Hongkong, Singapore Best
Judicial System, RI The Worst”, Jakarta Post, 3 June 2005.
33
2.  Meratifikasi  perjanjian-perjanjian  internasional  yang  terkait  dengan
investasi,  seperti:  WTO  Agreement
56
,  Conventionon  Settlement  of
Disputes  Between  States  and  Nationals  of  Other  States
57
;  Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
58
;
3.  Memperbaiki  sistem  peradilan  melalui  peningkatan  pengawasan
terhadap  kinerja  aparatur  penegak  hukum  melalui  peningkatan  peran
kelembagaan  seperti:  Komisi  Yudisial,  Komisi  Kepolisian,  Komisi
Kejaksaan;
4.  Peningkatan penegakan hukum di bidang HAKI;
5.  Menyediakan  mekanisme  penyelesaian  sengketa  di  luar  peradilan
melalui  arbitrase  dan  ADR  yaitu  dengan  penetapan  UU  no  30  tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

Hal  yang  masih  belum  ditangani  dengan  baik  adalah  masalah  penegakan
hukum kontrak, hal itu tercermin bahkan dari sikap pemerintah menghadapi
kasus-kasus  di  bidang  kontrak  investasi,  seperti:  Kasus  Karaha  Bodas,
Kasus Put-Option Cemex atas Semen Gresik,  Kasus Kartika Plaza,    Kasus
Chung Hwa, dan lain-lain
E.  Jaminan atas Kerusuhan, Pengambilalihan Asset, dan lain-lain
Salah  satu  bentuk  jaminan  dan  perlindungan  yang  dikehendaki  investor
dalam  investasi  infrastruktur  transportasi  adalah  terhadap  situasi  yang
berkaitan  dengan  kerusuhan  dan  pengambilalihan  aset  investor  yang
mengakibatkan  kerugian  pada  investor.    Kasus-kasus  serupa  seperti  kasus
Dipasena,  Spin-off  Semen  Padang  dan  Kartika  Plaza  telah  menambah
kekhawatiran  bagi calon investor yang harus disikapi secara jelas dan tegas
oleh  pemerintah.  Kesungguhan  aparat  pemerintah  dalam  menangani  kasus
56
Diratifikasi dengan UU No 7 tahun 2004.
57
Diratifikasi dengan UU No 5 tahun 1968.
58
Diratifikasi dengan Keppres No 34 tahun 1981.
34
keamanan investasi akan memberi pengaruh positif terhadap  iklim investasi
Indonesia.
Jaminan  atas  kerusuhan,  pengambilalihan  aset  biasanya  dituangkan  dalam
perjanjian  bilateral  mengenai  promosi  dan  perlindungan  investasi.
Ketentuan jaminan tersebut diberlakukan secara timbal balik (”reciprocal”).

Sayang  sekali  dalam  prakteknya  seringkali  Pemerintah  terkesan
membiarkan terjadinya kerusuhan dan pengambilalihan aset asing yang pada
akhirnya  merugikan  investor.  Kejadian  tersebut  dari  sisi  kepentingan
investor  mencerminkan  tidak  adanya  jaminan  kepastian  dalam  penegakan
hukum.
F.  Jaminan Atas Perlakuan yang Sama
Adanya  jaminan  perlakuan  yang  sama  (”equal  treatment”)  yang  diberikan
oleh  ”host  country”  terhadap  investor  merupakan  sesuatu  hal  yang
menciptakan keadilan bagi investor dan karenanya akan membawa dampak
positif  terhadap  iklim  investasi.  Pemerintah  Indonesia  dalam  RUU
Penanaman Modal yang baru telah mengakomodasikan hal tersebut. Setelah
diundangkan maka jaminan tersebut diformalkan, hal mana akan disambut
baik  oleh  para  investor.  Tantangannya  adalah  terletak  pada  sejauh  mana
konsistensi  dalam  pelaksanaannya.  Ini  yang  sering  menimbulkan
permasalahan, terutama pengawasan atas implementasi aturan yang berlaku.
35
BAB IV
KONTRAK-KONTRAK INVESTASI PEMBANGUNAN
INFRASTRUKTUR DI BIDANG TRANSPORTASI DENGAN
POLA BUILD, OPERATE AND TRANSFER (BOT)

A.  Umum
Pola  yang  tepat  dalam  investasi  infrastruktur  pada  sektor  transportasi
adalah pola Build,  Operate  and    Transfer (BOT). Pola ini dipandang tepat
terutama  karena  resiko  investasi  selama  pembangunan  dan

pengoperasiannya  berada  pada  pihak  swasta,  sementara  Pemerintah  akan
memperoleh  fasilitas  infrastruktur  tersebut  pada  masa  akhir  konsesi.
Kontrak-kontrak  yang  terkait  dengan  pembangunan  infrastruktur
transportasi  dengan  pola  BOT  meliputi,  antara  lain:  concession  contract;
construction contract; shareholders agreement; syndicated loan agreement;
operation  agreement;  off-take  agreement;  supply  agreement  dsb.  Bab  ini
akan membahas bentuk-bentuk jaminan dan perlindungan investasi terkait
dengan  kontrak-kontrak  pembangunan  infrastruktur,  khususnya
transportasi tsb.
B.   Beberapa Pengertian dan Pemahaman Pokok pada Kontrak-Kontrak
BOT
1.  Peristilahan dan Batasan
Secara  umum  dipahami  bahwa  istilah  BOT  digunakan  untuk  semua  tipe
“Concession  Agreement”,  namun  demikian  banyak  variasi
peristilahan/akronim lain yang digunakan, antara lain:
-   FBOOT (Finance, Build, Own, Operate, Transfer);
-   BOO (Build, Own, Operate);
36
-   BOL (Build, Operate, Lease);
-   DBOM (Design, Build, Operate, Maintain);
-   DBOT (Design, Build, Operate, Maintain);
-   BOD (Build, perate, Deliver);
-   BOOST (Build, Own, Operate, Subsidise, Transfer);
-   BRT (Build, Rent, Transfer);
-   BTO (Build, Transfer, Operate);

-   DBFM (Design, Build, Finance, Maintain);
-   ROT (Rehabilitate, Operate, Transfer);
-   BOT (Build, Operate, Transfer).
Kesemua  bentuk  proyek  di  atas  merupakan  alternatif  lain  dari  BOT,
meskipun  ada  juga  yang  khusus,  namun  pada  umumnya  digunakan
pola/strategi yang sama
59
.
Mengenai batasan proyek BOT itu sendiri dirumuskan sebagai:
Suatu proyek yang didasarkan atas pemberian konsesi oleh Prinsipal (pada
umumnya  Pemerintah)  kepada  Promotor  (Pemegang
Konsesi/Concessionaire) dimana promotor bertanggung jawab atas seluruh
kegiatan  yang  mencakup  kegiatan  Konstruksi,  Pembiayaan,
Pengoperasian,  Pemeliharaan   atas  suatu  proyek/fasilitas  tertentu  selama
suatu jangka waktu konsesi sebelum akhirnya mengalihkan semua fasilitas
tersebut kepada Prinsipal sebagai suatu fasilitas operasional penuh. Selama
jangka  waktu  konsesi,  Promotor  memiliki  dan  mengoperasikan  fasilitas
tersebut  serta  memungut  pembayaran  guna  mengembalikan  biaya  dan
investasi  yang  telah  dikeluarkan,  termasuk  biaya  pemeliharaan  dan
pengoperasian  serta  suatu  marjin  keuntungan  (“a  margin  of  profit”)
daripadanya.
59




Untuk lebih memahami istilah-istilah dan pengertian-pengertian sebagaimana tersebut di atas,
baca: Merna A and N J Smith, Guide to the Preparation and Evaluation of BOOT Project Tenders,
Asia Law and Practice, 1996; Schell, Charles, Project and Infrastructure Finance in Asia , Asia
37
2.  Pertimbangan-pertimbangan  Pokok  bagi  Pembangunan
Infrastruktur di Bidang Transportasi dengan Pola BOT
Pertimbangan  pokok  dari  pilihan  pola  BOT  pada  pembangunan  dan
pengoperasian  fasilitas/proyek-proyek  tertentu  pertama-tama  tentu  saja
didasarkan  atas  kepentingan  Prinsipal  (khususnya  Pemerintah)  yang
memperoleh  berbagai  keuntungan  dengan  penggunaan  pilihan  pola  BOT
ini, seperti:
-   Tidak membebani neraca pembayaran pemerintah (“off balance-sheet
financing”);
-   Mengurangi  jumlah  pinjaman  Pemerintah  maupun  sektor  publik
lainnya;
-   Merupakan  tambahan  sumber  pembiayaan  bagi  proyek-proyek  yang
prioritaskan (“additional finance sources for priority projects”);
-   Tambahan fasilitas baru;
-   Mengalihkan  resiko  bagi  konstruksi,  pembiayaan  dan  pengoperasian
kepada sektor swasta;
-   Mengoptimalkan  kemungkinan  pemanfaatan  perusahaan  maupun
teknologi asing;
-   Mendorong proses alih teknologi, khususnya bagi kepentingan negaranegara berkembang;

-   Diperolehnya  fasilitas  yang  lengkap  dan  operasional  setelah  masa
akhir konsesi.
Sebelum  menentukan  dan  untuk  keberhasilan  pembangunan  dan
pengoperasian suatu fasilitas/proyek infrastruktur yang menggunakan pola
BOT maka secara konseptual perlu dipertimbangkan faktor-faktor, seperti:
-   Tipe fasilitas;
Law and Practice, 1995; Sorab, Beena Developing and Financing Transport Project in Asia, Asia
Law and Practice, Euromoney Publications;
38
-   Manfaat sosialnya;
-   Dukungan  Pemerintah  (Prinsipal)  yang  dapat  diberikan  kepada
Promotor;
-   Kualifikasi dan pengalaman dari Promotor itu sendiri;
-   Lokasi proyek/fasilitas tersebut;
-   Besar ekuitas yang akan dipakai;
-   Jaminan kelangsungan suplai bahan mentah (“raw materials”);
-   Jaminan  pembelian  (“off-take”)  atas  produk  dan  atau  jasa  yang
dihasilkan dari pengoperasian fasilitas-fasilitas tersebut;
-   angka waktu konsesi;
-   Komponen dari masing-masing paket yang terkait dengan konsrtruksi,
operasi,  pemeliharaan,  pembiayaan  dan  penggerak  perolehan
penerimaan (“revenue generating”).
Bagi  kepentingan  Promotor,  serta  pihak-pihak  lain  yang  terkait  seperti
“Investor”,  “Lender”,  dan  “User”,  aspek  kelayakan  proyek/fasilitas
tersebut secara komersial (“commercial viability”) tentulah amat penting.

Untuk menjadikan  proyek infrasrtruktur dengan pola BOT  berhasil, maka
ada beberapa faktor yang layak diperhatikan, yaitu:
-   Kondisi pasar;
-   Dukungan peraturan perundang-undangan;
-   Kondisi pembiayaan melalui Pasar Modal;
-   Kesesuaian  antara  kebutuhan  atas  proyek  tersebut  dikaitkan  dengan
pengembalian investasi yang layak;
-   Kemampuan untuk membayar kembali atas hutang dan investasi yang
telah dikeluarkan;
-   Pengembalian investasi (“return on investment”) yang memadai;
-   Tingkat  penerimaan  (“level  of  acceptance”)  dari  masyarakat  atas
keberadaaan proyek/fasilitas tersebut.
39
3.  Para  Pihak  Dalam  Pembangunan  Infrastruktur  Transportasi
dengan Pola BOT
Mengingat skala dari proyek-proyek infrastruktur dengan pola BOT pada
umumnya  sangat  besar,  baik  menyangkut  jumlah  pembiayaan  dan
investasi,  teknologi,  dan  jangka  waktunya,  maka  diperlukan  suatu
pemahaman  mengenai  pihak-pihak  (“parties”)  yang  terlibat  di  dalamnya.
Pada dasarnya pelaku utama (kunci) dari pembangunan dan pengoperasian
suatu  proyek  infrastruktur  dengan  pola  BOT  adalah  Prinsipal  dan
Promotor.
Prinsipal (“Principal”) adalah pihak yang secara keseluruhan bertanggung
jawab  atas  pemberian  konsesi  dan  merupakan  pemilik  akhir  dari
proyek/fasilitas tersebut setelah habisnya jangka waktu konsesi. Biasanya

yang  bertindak  selaku  Prinsipal  adalah  Pemerintah/badan-badan
Pemerintah,  atau  badan-badan  hukum  tertentu  yang  diberi  hak  monopoli
oleh Pemerintah.
Sementara  itu  Promotor  (“Promoter”)  adalah  suatu  badan
hukum/organisasi  yang  diberi  konsesi  untuk  membangun,  memiliki,
mengoperasikan dan mengalihkan fasilitas tertentu. Organisasi Promotor
biasanya didukung oleh pihak-pihak lain.
Pihak-pihak  lain  yang  biasanya  terlibat  dalam  pembangunan  dan
pengoperasian  suatu  proyek  infrastruktur  dengan  pola  BOT  adalah:
Perusahaan  yang  melakukan  kegiatan  konstruksi  (“Constructors”),  Pihak
yang mengoperasikan fasilitas tersebut (“Operator”), Pihak yang memasok
baik kebutuhan bahan-baku (“raw Materials) maupun “consumables” yang
dikenal sebagai “Supplier”, Pihak (lembaga keuangan bank dan non-bank)
yang memberikan pinjaman bagi pelaksanaan proyek tersebut yang disebut
“Lender”, Pihak  yang melakukan investasi selaku pemegang saham pada
40
proyek tersebut, yaitu “Investor”, dan akhirnya adalah pihak yang menjadi
pengguna dari fasilitas tersebut yang disebut “User”.
Hubungan kerjasama di  antara para pihak pada proyek pembangunan dan
pengoperasian  proyek  infrastruktur  dengan  pola  BOT,  baik  antar  para
pihak  utama  (Prinsipal  dengan  Promotor)  maupun  antara  pihak  utama
dengan  pihak-pihak  lainnya  biasanya  diikat  oleh  suatu  perjanjian
(kontrak). Bentuk/jenis kontrak yang menguasai hubungan kerjasama dan
hubungan  hukum  diantara  para  pihak  tersebut  berupa,  antara  lain:


“Concession  Agreement”,  “Offtake  Contracts”,  “Operation  Contract”,
“Construction  Contract”,  “Shareholder  Agreement”,  “Loan  Agreement”,
“Supply Contract”, dan lain-lain. Hal-hal lebih rinci menyangkut kontrakkontrak sebagaimana tersebut di atas akan dijelaskan pada bagian lain dari
tulisan ini.
4.  Struktur Organisasi
Adanya  suatu  struktur  organisasi  yang  solid  pada  pembangunan  dan
pengoperasian  proyek  infrastruktur  dengan  pola  BOT  merupakan  syarat
mutlak  dari  keberhasilannya.  Dalam  struktur  organisasi  tersebut  akan
tergambar  secara  jelas  peran  dari  para  pihak  yang  terkait  sebagaim ana
yang dijabarkan secara rinci dalam kontrak-kontrak yang dibuat diantara
para pihak.
Struktur organisasi dari proyek-proyek di bidang infrastruktur dengan pola
BOT  yang  dilaksanakan  di  berbagai  negara  pada  umumnya  serupa.
Meskipun  tidak  tertutup  kemungkinan  adanya  variasi  lain  sesuai  dengan
kebutuhan.
41
Di bawah ini digambarkan bagaimana suatu model struktur organisasi dari
suatu proyek BOT
-   Principal;
-   Promotor;
-   User;
-   Supplier;
-   Investor;



-   Lender;
-   Constructor;
-   Operator;
-   Shareholde
5.  Fase-fase Pelaksanaan Tender pada Proyek Infrastruktur dengan
Pola BOT
Pelaksanaan  tender  atas  suatu  proyek  infrastruktur  dengan  pola  BOT
dilaksanakan melalui fase-fase sebagai berikut:
a)  Fase Pertama
1)  Pada awalnya Prinsipal mempersiapkan suatu konsep strategis dari
proyek  yang  akan  diajukan  atas  dasar  hasil  studi  kelayakan
(“feasibility study”) yang dilakukan;
2)  Selanjutnya Prinsipal menyiapkan undangan pra-kualifikasi kepada
calon-calon Promotor yang dianggap memenuhi syarat;
3)  Setelah  itu  Prinsipal  mempersiapkan  Draft  Struktur  Perjanjian
Konsesi  (“Structured  Concession  Agreement”)  yang  terdiri  dari:
Legal  Agreement  yang  berisi  syarat-syarat  umum  dan  khusus,
demikian  pula  syarat-syarat  proyek  yang  terdiri  dari  paket-paket:
konstruksi, operasi, pemeliharaan, pembiayaan dan penerimaan;
4)  Selanjutnya  undangan  tender  dikirimkan  kepada  calon-calon
Promotor yang dianggap memenuhi syarat tersebut.
42
b) Fase Kedua
1)  Langkah  pertama  yang  ditempuh  oleh  calon  Promotor  setelah
menerima undangan tender adalah melakukan penilaian mengenai

kelayakan  proyek  tersebut  secara  komersial  dengan  mengkaji
syarat-syarat  yang  ditetapkan  oleh  Prinsipal  dalam  dokumen  RFP
(“Request  for  Proposal”)  maupun  “Structured  Concession
Agreement”;
2)   Penilaian tersebut  dilakukan baik melalui metode penilaian secara
cepat (“Rapid Appraisal Method”) maupun secara rinci (“Detailed
Appraisal Method”);
3)  Apabila  hasil  penilaian  mengindikasikan  bahwa  proyek  tersebut
memang  layak,  maka  calon  Promotor  juga  perlu  mengidentifikasi
kontrak-kontrak  lainnya  (“secondary  contract”)  serta  mengkaji
bagaimana pengaruhnya terhadap proyek tersebut;
4)  Setelah itu calon Promotor menyiapkan paket dokumen tender yang
lainnya untuk segera diserahkan kepada Prinsipal.
c) Fase Ketiga
1)  Pada  fase  ini  Prinsipal  menilai/mengevaluasi  kesesuaian  antara
dokumen  tender  yang  diserahkan  oleh  calon  Promotor  dengan
parameter  pemenuhan  atas  persyaratan-persyaratan  yang  telah
ditetapkan oleh Prinsipal;
2)  Atas dasar hasil evaluasi tersebut maka dengan menggunakan nilai
komulatif tertinggi ditetapkanlah pemenang tender tersebut.
6.Paket-Paket  dalam  Pembangunan  Proyek  Infrastruktur  dengan
Pola BOT
Pembangunan  dan  pengoperasian  proyek/fasilitas  infrastruktur  dengan
pola BOT, secara garis besarnya dapat dibagi atas 4 paket, masing-masing:
43

a) Paket Konstruksi (“Construction Package”)
Komponen-komponen  dari  paket  konstruksi  menampung  semua
kegiatan yang terkait dengan fasilitas konstruksi, yang meliputi:
1)     Kelayakan;
2)   Penyelidikan lokasi (“Site Investigation”);
3)   Perancangan dan pengawasan;
4)   Pembelian/pembebasan lahan;
5)   Pengadaan alat/equipment;
7)   Konstruksi;
8)   Instalasi mekanikal dan elektrikal;
9)   Commissioning.
b) Paket Operasi (“Operation Package”)
Komponen-komponen dari paket operasi menampung semua kegiatan
yang  terkait  dengan  pengoperasian  dan  pemeliharaan  fasilitas,  yang
mencakup:
1)   Operasi;
2)   Pemeliharaan;
3)   Pelatihan;
4)   “Consumables”;
5)   Bahan mentah/baku (“raw materials”);
6)   “Power” (mis; tenaga listrik);
7)   Perbaikan (“Service Requirement”).
c) Paket Pembiayaan (“Finance Package”)
Komponen-komponen  dari  paket  pembiayaan  mencakup  semua
kegiatan  yang  terkait  dengan  aspek  pembiayaan  atas  kegiatan

konstruksi  dan  bilamana  perlu  juga  mencakup  tahap  awal  dari  fase
operasional, yang mencakup biaya-biaya:
44
1)   Pinjaman (“loans”);
2)   Bunga atas pinjaman (“interest of loans”);
3)   Fee untuk arranger (“Arrangement Fee”);
4)   “Success fee”;
5)   Transfer nilai tukar (“currency transfer”);
6)   Dividen (pembagian keuntungan kepada pemegang saham).
d)  Paket Penerimaan (“Revenue Package”)
Komponen-komponen  dari  paket  penerimaan  menampung  aliran
penerimaan  (“revenue  stream”)  yang  terkait  dengan  kegiatan
menggerakkan  penerimaan  (“revenue  generating”)  selama  masa
konsesi, yang meliputi:
1)   Kebutuhan data (“demand data’);
2)   Tingkat tarif;
3)   Peningkatan aliran penerimaan;
4)  Penerimaan dari fasilitas-fasilitas yang ada.
C.   Jenis-jenis  Kontrak  yang  Terkait  dengan  Investasi  Pembangunan
Infrastruktur, Khususnya di Bidang Transportasi
Seperti  yang  telah  disinggung  di  atas,  kegiatan  pembangunan  dan
pengoperasian proyek/fasilitas infrastruktur dengan pola BOT melibatkan
partisipasi dari berbagai pihak di  mana hubungan kerja/hubungan hukum
di  antara  para  pihak  diatur  dalam  kontrak-kontrak  tertentu.  Adapun
gambaran  singkat  mengenai  jenis-jenis  kontrak  yang  terkait  meliputi,

antara lain:
1.  Kontrak Konsesi (“Concession Agreement”)
Sebagai kontrak yang menjadi dasar dari kontrak-kontrak lainnya, Kontrak
Konsesi merupakan kontrak antara Prinsipal dengan Promotor. Kontrak ini
45
merupakan  suatu  dokumen  yang  mengatur  segala  aspek  hubungan
kerjasama dan hubungan hukum antara Prinsipal dan Promotor, termasuk
alokasi  atas  resiko-resiko  yang  terkait  dengan  paket-paket  konstruksi,
pengoperasian,  pemeliharaan,  pembiayaan  dan  penerimaan  serta
persyaratan-persyaratan konsesi atas suatu fasilitas/proyek tertentu.
Adapun  ketentuan-ketentuan  pokok  yang  terdapat  pada  “Concession
Agreement” adalah:
-   Jangka waktu konsesi (“length of the concession life”);
-   Lingkup  proyek,  mencakup  fasilitas-fasilitas  yang  akan  dibangun  dan
dioperasikan  serta  luas  cakupan  hak-hak  dan  kewajiban  Prinsipal,
Promotor serta Pihak Ketiga;
-  Gambaran yang jelas tentang sifat konsesi, termasuk hak eksklusipnya,
jika diterapkan;
-   Batasan mengenai dukungan Pemerintah;
-   Struktur harga dan Tarif (“pricing or tariff structure”)
Penetapan  tarif  disatu  pihak  harus  mengakomodasikan  syarat-syarat
dari  Pemerintah  (“Principal”),  namun  dilain  pihak  harus  menjaga
kelayakan  proyek  dan  harus  cukup  fleksibel  untuk  mengakomodir
perubahan-perubahan yang tak dapat diramalkan sebelumnya;
-   Hukum  yang  berlaku  dan  mekanisme  penyelesaian  sengketa

(“governing law and dispute resolution mechanism”);
-   Konsekuensi  dari  tindakan-tindakan  seperti  pengambilalihan  dan
pelanggaran  perjanjian  (“concequences  of  expropriation  or  breach  of
agreement”);
-   Hak-hak  seperti  penggantian  atas  hak-hak  dan  kewajiban  promotor
kepada pemberi pinjaman (“right as to assignment of Promoter’s rights
and obligations to Lenders);
-   Alas hak atas kepemilikan selama jangka waktu konsesi dan pada saat
selesainya  jangka  waktu  konsesi  (“title  to  property  during  concession
period and at the expiry of the term”);
46
-   Aspek-aspek keuangan seperti fasilitas pajak dan nilai tukar (“financial
terms, such as tax benefit and foreign exchange”).
2.   Construction Contract (Kontrak Konstruksi)
Adalah  kontrak  antara  “Promoter”  dengan  “Constructor”.  “Contructor”
biasanya  diambil  dari  perusahaan  jasa  konstruksi  atau  patungan  atau
konsorsium  dari  perusahaan-perusahaan  konstruksi.  Kadang-kadang
“Constructor”  juga  mengambil  peran  sebagai  “Promoter”  dari  sejumlah
proyek BOT.
Ketentuan-ketentuan  pokok  yang  terdapat  pada  kontrak  konstruksi,
meliputi
60
:
-   Tanggung  jawab  mengenai  perancangan,  konstruksi  dan  fase
“commissioning”;

-  Tanggung jawab pemilik;
-   Harga  kontrak,  baik  yang  ditetapkan  secara  lumpsum  maupun  unit
price;
-   Akses ke tanah dan kondisi site;
-   Tanggal penyelesaian;
-  Kepatuhan terhadap pihak-pihak yang berwenang;
-   Pembayaran;
-  Pekerjaan tambah kurang (“variation order”);
-  Bonus dan Penalti;
-   Pernyataan dan Jaminan (“representations and warranty”);
-   Jaminan (security);
-   Asuransi;
60
Bagi analisis terhadap kontrak-kontrak konstruksi, baca: Hamid Shahab, Aspek Teknis dan
Aspek Hukum Penggunaan Fundasi Dalam, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1997. Baca juga: H
Nazarkhan Yasin, Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2003. Bandingkan dengan Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1998. Bandingkan juga, Hamid Shahab, Aspek Hukum dalam Sengketa
Bidang Konstruksi, Penerbita Djambatan, 1996.
47
-    Pekerjaan yang cacat (“defective works”);
-   Hak atas Kekayaan Intelektual;

-   Keadaan terpaksa dan Penangguhan;
-   Ganti rugi;
-   Hukum yang berlaku;
-   Pengalihan dan sub-kontrak;
-   Penyelesaian sengketa;
-   Pengakhiran.
3. Supply Contract (Kontrak Suplai)
Supply  Contract  adalah  kontrak  antara  Promotor  dan  Suplaier.  Suplaier
biasanya  adalah  BUMN,  swasta  atau  badan  hukum  yang  diberikan  hak
monopoli  untuk  itu  yang  mensuplai  bahan-bahan  mentah  terhadap
fasilitas/proyek selama periode operasi.
Ketentuan-ketentuan pokok dari Kontrak Suplai biasanya meliputi:
-  Persyaratan pokok (basic terms);
-  Jangka waktu suplai (term of supply);
-  Kuantitas;
-  Kualitas;
-  Harga dan penyesuaian harga (price and price adjustment);
-  Inspeksi, contoh dan pengujian (inspection, test and sampling);
-  Pengangkutan (transportation);
-  Wanprestasi dan pengakhiran (default and termination).
4. Shareholder Agreement
Shareholder  Agreement  adalah  kontrak/perikatan  antara  “Promoter”
dengan  “Investor”.  Investor  memberi  ekuitas  atau  menyediakan  barang
dan merupakan bagian dari suatu “Corporate Structure” yang mencakup di
dalamnya:  ”Supplier  vendor”,  “Constructor”  dan  “Operator”,  termasuk

48
pemegang  saham  yang  terdiri  dari  lembaga-lembaga  keuangan  dan/atau
individu.  Investor  menyediakan  equitas  untuk  membiayai  fasilitas  yang
besarnya  biasanya  ditetapkan  oleh  “debt/equity  ratio”  yang
diperlukan/ditetapkan oleh lenders, atau atas dasar ketentuan “Concession
Agreement.”
Ketentuan-ketentuan Pokok dari Shareholder Agreement, meliputi:
-   Identitas para pihak;
-   Ketentuan menimbang (whereas clause);
-   Batasan shareholder dan pembentukan perseroan;
-   Kontribusi modal;
-   Pengalihan saham;
-   Jaminan saham;
-   Opsi pembelian saham;
-   Penetapan harga pembelian;
-   Pengelolaan dan pengawasan;
-   Kebijakan dividen dan pembagian keuntungan;
-   Persyaratan kontrak dengan konsumen;
-   Hutang perseroan;
-   Jangka waktu transaksi;
-   Kerahasiaan dan HAKI;
-   Lisensi dan bantuan teknis;
-   Pemberitahuan;
-   Hubungan diantara para pihak;
-  Pengalihan saham;

-   Saat efektif berlakunya perjanjian dan pengakhirannya;
-   Sifat mengikat;
-   Transaksi komersial;
-   Hukum yang berlaku;
-   Perpajakan;
-   Arbitrase;
49
-   Ketentuan tambahan;
-   Tandatangan para pihak.
5. Operation Contract
Operation Contract adalah kontrak antara “Promoter” dengan “Operator”.
Operator  biasanya  ditetapkan  diantara  perusahaan  yang  secara  khusus
memiliki keahlian dan pengalaman dalam mengoperasikan fasilitas/proyek
atau  juga  perusahaan  yang  secara  khusus  didirikan  untuk  melakukan
pengoperasian dan pemeliharaan atas suatu fasilitas/proyek tertentu.
Ketentuan-ketentuan Pokok dari Operation Contract, meliputi:
-   Cakupan (operasi, pemeliharaan, pelatihan);
-   Jangka waktu operasi;
-   Metode operasi;
-   Spesifikasi;
-   Biaya dan resources;
-   Tingkat keterlibatan;
-   Lisensi, otorisasi dan perijinan (permits);
-   Kinerja, tanggung jawab dan jaminan;
-   Metode pengumpulan pendapatan dan nilai tukar;

-   Bonus dan penalty;
-   Keadaan terpaksa (force majeure);
-   Mekanisme penyelesaian sengketa;
-   Mekanisme pembayaran (cost plus, lump sum, unit rate);
-   Pengakhiran perjanjian;
-   Jadwal pelatihan.
6. Loan Agreement
Loan  Agreement  merupakan  dasar  dari  suatu  perikatan  antara  “Lender”
dan  “Promoter”.  “Lender”  pada  umumnya  adalah  bank-bank  komersial,
50
bank-bank investasi, dana pensiun, lembaga penyedia kredit ekspor  yang
memberikan  pinjaman  dalam  bentuk  hutang  untuk  membiayai  suatu
proyek/fasilitas  tertentu.  Dalam  hampir  semua  kasus,  “Lender”  akan
mengambil peran mengkoordinasikan suatu konsorsium pemberi pinjaman
atau pinjaman sindikasi.
Ketentuan-ketentuan  pokok  pada  “Loan  Agreement”  pada  umumnya
meliputi:
-   Jumlah  pinjaman  dan  saat  pinjaman  tersebut  tersedia  dan  dapat
dicairkan;
-   Fee  yang  harus  dibayarkan,  contohnya:  commitment  fee,  arrangement
fee, agency fee, legal fee, serta fee lainnya yang bersifat incidental;
-   Pernyataan  dan  jaminan  yang  dibuat  oleh  peminjam  dan  obligor
lainnya;



-  Covenants  (baik  yang  bersifat  positif  maupun  negative)  untuk
diperhatikan oleh peminjam serta obligor lainnya selama jangka waktu
pinjaman;
-   Tata cara  yang harus diikuti dalam penyediaan pinjaman , contohnya:
conditions  precedent  (persyaratan)  yang  harus  dipenuhi  sebelum  tiaptiap pencairan;
-   Cara  bagaimana  bunga  dihitung,  jangka  waktu  bunga  yang  dipilih,
bagaimana dan kapan pembayaran akan dilakukan;
-   Masalah-masalah  administrative  lainnya  seperti  cara  pemberitahuan
diantara para pihak;
-   Daftar situasi mengenai “event of defaults” (wanprestasi);
-   Ketentuan  yang  mengatur  hubungan  antara  agen  bank  dari  sindikat
pemberi pinjaman serta bank-bank lainnya dalam sindikat tersebut;
-   Ketentuan  yang  memberi  hak  kepada  bank,  sesuai  dengan  perjanjian,
untuk  menyiapkan  dana  dan  menjamin  perlindungan  terhadap
keuntungan bank;
51
-   Ketentuan  mengenai  pengalihan  atas  semua  “income  stream”  serta
dokumen proyek (kepada lender);
-    Dokumen jaminan (security documents);
-   Jaminan (guarantee);
-   Persetujuan Pemerintah;
-   Keadaan terpaksa (“force majeure”);
-   Hukum yang berlaku (“governing law”);



-   Mekanisme penyelesaian sengketa;
-   Pengakhiran perjanjian.
7. Offtake Contract
Pada  proyek-proyek  seperti  pembangkit  listrik  (“power  plant”),
keberadaan  “Sales”/Offtake  Contract  biasanya  dilakukan  antara  “User’
dengan “Promoter”. “User” biasanya merupakan suatu badan hukum atau
individu  yang  menggunakan  atau  membeli  produk  dari  suatu
fasilitas/proyek (misalnya: daya listrik). Akan  tetapi dalam proyek-proyek
seperti  jalan  tol,  dimana  penerimaan/pendapatan  diperoleh  dari
pembayaran langsung oleh masyarakat atas penggunaan fasilitas tersebut,
maka “Off-take Contract” tidak diperlukan.
Ketentuan-ketentuan  Pokok  pada  Offtake  Contract  pada  umumnya
meliputi:
-   Batasan;
-   Status Pembeli (Status of Purchasers);
-   Jangka waktu konstruksi (construction period);
-   Tarif;
-   Suplai energi (fuel supply);
-   Bonus dan penalty;
-   Ketentuan tentang pembayaran;
-   Hukum yang berlaku;
52
-   Jangka waktu suplai;
-   Dukungan Pemerintah (government support);
-   Keadaan terpaksa (force majeure);

-   Mekanisme penyelesaian sengketa.
8.  Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) sebagai Contoh Kontrak
BOT
Sebagai salah satu contoh dari kontrak pembangunan infrastruktur dengan
pola BOT adalah Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) yang dianggap
sebagai kontrak bisnis berdimensi publik  antara pemerintah dengan swasta
(investor)
61
.  PPJT  merupakan  kontrak  yang  dibuat  secara  baku  oleh
Pemerintah  yang  ditawarkan  kepada  swasta  (investor)  yang  akan
melaksanakan pengusahaan jalan tol. Karena sifatnya baku dan berdimensi
publik,  maka  peran  Pemerintah  lebih  bersifat  mendukung  pihak  swasta
(investor)  dalam  pelaksanaannya,  terutama  dalam  hal-hal  yang  berkaitan
dengan resiko pengadaan tanah, tingkat pengembalian investasi, tarif,  dan
lain-lain  PPJT    sat ini  sudah merupakan praktek yang berlangsung dalam
pengusahaan jalan tol.
Ketentuan-ketentuan  pokok  yang  standard  pada  PPJT  meliputi  hal-hal
sebagai berikut:
-  Definisi, Pengertian dan Tanggal Efektif;
-  Pengusahaan  Jalan  Tol  (pemberian,  ruang  lingkup,  masa  konsesi,
kepemilikan, pembatasan perjanjian, pengawasan, pelaporan, resiko dan
tanggung jawab);
-  Jaminan  Pelaksanaan  (penyerahan,  maksud,  nilai,  masa  berlaku  dan
pencairan);
61

Untuk uraian selengkapnya, baca Iwan E Joesoef, Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT)
sebagai Kontrak Bisnis berdimensi Publik antara Pemerintah dengan Investor (swasta) dalam
Proyek Infrastruktur, Badan Penerbit FH UI, Jakarta, tahun 2006.
53
-  Pengadaan  Tanah  (kewajiban,  prakiraan  biaya,  jangka  waktu,
keterlambatan  dan  kenaikan  harga,  pembayaran  oleh  investor,  status
tanah, lingkup dan sewa);
-  Pendanaan  (rasio  hutang  dan  ekuitas,  financial  close  dan  pemeriksa
teknis independen);
-  Perencanaan  Teknik  (rencana  awal  dan  akhir,  kesesuaian,  perubahan,
penunjukan perencana teknik ahli);
-  Konstruksi  Jalan  Tol  (permulaan  dan  penyelesaian,  tata  cara,  laporan,
penolakan dan penghentian sementara, serah terima, pemeriksaan oleh
BPJT,  sertifikat  laik  operasi,  as  built  drawings,  biaya,  kewajiban  dan
tanggung jawab perusahaan jalan tol);
-  Pemeliharaan (kewajiban, laporan, pelebaran, simpang susun tambahan,
jalan akses, biaya pemeliharaan);
-  Jaminan Pemeliharaan (penyerahan, nilai, pencairan);
-  Pengoperasian  Jalan  Tol  (awal,  tata  cara,  SDM,  iklan  dan  utilitas,
usaha-usaha lain, penghasilan perusahaan jalan tol, biaya, penangguhan
konstruksi selama masa pengoperasian);




-  Tarif  Tol  (penentuan,  awal  pengenaan,  keterlambatan  penerbitan,
penyesuaian  tariff,  keterlambatan  penetapan  penyesuaian  tariff,  tidak
terbitnya penetapan penyesuaian tarif, pengawasan pengumpulan tol);
-  Asuransi  (masa  konstruksi,  masa  operasi,  persyaratan,  syarat-syarat
lainnya);
-  Cidera  Janji  Perusahaan  Jalan  Tol  (sebelum  konstruksi,  dalam  masa
konstruksi, selama masa pengoperasian, cidera janji umum);
-  Cidera Janji Pemerintah (kejadian, pengakhiran oleh perusahaan, akibat
pengakhiran, akibat tidak dilakukan pengakhiran) ;
-  Nilai Pekerjaan Selesai dan Uji Tuntas (nilai pekerjaan, uji tuntas);
-  Penggantian Kepemilikan  (penggantian kepemilikan dan pengendalian;
pilihan sebelum pengakhiran, konsekuensi);
-  Perubahan Hukum (definisi, pemberitahuan, konsekuensi);
54
-  Keadaan  Kahar  (definisi,  pemberitahuan,  keterlambatan,  pengakhiran,
perbaikan, asuransi);
-  Berakhirnya  Pengusahaan  Jalan  Tol  (konsekuensi,  tanggung  jawab
setelah berakhirnya atau pengakhiran dini pengusahaan jalan tol);
-  Pernyataan dan jaminan (oleh pemerintah, oleh perusahaan jalan tol);
-  Pembebasan  Tanggung  Jawab  (tanggung  jawab  perusahaan  jalan  tol  ,
pmbebasan tanggung jawab tidak dibatasi oleh asuransi);
-  Penyelesaian  Perselisihan  (penyelesaian  perselisihan,  arbitrase,  tidak
berlakunya pasal 1266);
-  Pengalihan  Hak  dan  Kepemilikan  Saham  (larangan,  pengecualian,
pemegang saham dan susunan pemegang saham, perubahan pemegang

saham, kejadian yang membolehkan adanya perubahan);
-  Addendum Perjanjian;
-  Lampiran;
-  Pemberitahuan;
-  Pelepasan Hak;
-  Hukum yang Berlaku dan Domisili Hukum;
-  Pemisahan Ketentuan yang Tidak Dapat Diterapkan;
-  Keseluruhan Perjanjian.
D.  Berbagai Resiko pada  Kontrak  Investasi  Pembangunan Infrastruktur
pada Bidang Transportasi dengan Pola BOT
1. Identifikasi terhadap Resiko yang Dihadapi
Terhadap proyek-proyek infrastruktur dengan pola BOT yang biasanya
mempunyai  skala  yang  sangat  besar,  maka  skala  resiko  yang
dihadapi/mungkin  dihadapi  juga  semakin  besar.  Untuk  meminimalisir
resiko  yang  dihadapi/mungkin  dihadapi,  maka  diperlukan  suatu
kemampuan  untuk  mengidentifikasi  dan  mengantisipasi  resiko-resiko
tersebut, termasuk untuk mencari jalan keluarnya. Secara umum  resiko
55
yang  mungkin  dihadapi  dapat  dibagi  atas  “Typical  Global  Risk”  dan
“Typical Elemental Risk”.
a. “Typical Global Risk” antara lain meliputi:
1)  “Political Risk” (Resiko Politis)
62
Apabila dilihat dari sisi negara, contoh-contoh dari resiko politis
adalah:  gangguan  terhadap  stabilitas  politik  dan  keamanan;

terjadinya  tindakan-tindakan  sepihak  seperti  pengambilalihan
(“expropriation”)  maupun  nasionalisasi,  penjualan  aset  secara
paksa,  penetapan  harga  tarif  dan  tol  (“capping  of  tol  or  tariff
level”),  perubahan  pada  “off-take  agreement”,  kenaikan  pajak
dan  royalti,  kenaikan  pungutan,  permasalahan  menyangkut
repatriasi  keuntungan,  perubahan  dalam  pemerintahan,
instabilitas eksternal, perubahan dalam kebijakan fiskal, tingkat
hutang negara dan penigkatan atas infrastruktur yang sudah ada,
dan lain-lain
Sementara  dari  sisi  konsesi  itu  sendiri,  resiko  politis  yang
mungkin  dihadapi  meliputi  antara  lain:  keterlambatan  dalam
proses  pemberian  konsesi,  jangka  waktu  konsesi,  penetapan
harga  oleh  Prinsipal,  pertanyaan-pertanyaan  dari  masyarakat,
dukungan  peraturan  perundang-undangan,  komitmen  negara
dalam  menjalankan  ketentuan-ketentuan  yang  terdapat  pada
kontrak  konsesi,sifat  eksklusivitas  dari  kontrak  dan
kompetisi/persaingan dari fasilitas-fasilitas yang sudah ada
63
.
62
Untuk analisis selengkapnya mengenai Resiko Politis dalam kaitan dengan kegiatan investasi,
baca: Theodore H Moran (ed), International Political Risk Management, MIGA, The World Bank
Group, Washington DC, 2001.
63

Uraian selengkapnya mengenai resiko politis dikaitkan dengan konsesi, baca: A Merna & N J
Smith, Guide to the Preparation and Evaluation of Build, Own, Operate, Transfer Project Tenders,
Asia Law and Practice, Hongkong, second edition, halaman 49-54.
56
2)   Resiko dari Segi Hukum (“Legal Risk”)
Dari  sisi  negara  tuan  rumah  (“host-country”),  resiko  hukum
dapat muncul dari keadaan-keadaan seperti: lemahnya kerangka
sistem hukum yang ada, perubahan undang-undang selama masa
konsesi, perselisihan/sengketa dalam masyarakat, kemungkinan
timbulnya  konflik  antara  hukum  nasional  dengan  hukum
regional (domestik), perubahan regulasi menyangkut ekspor dan
impor,  perubahan  di  bidang  hukum  perusahaan,  perubahan
menyangkut  standar  dan  spesifikasi,  aspek-aspek  hukum
dagang,  masalah  pertanggung  jawaban,  kepemilikan,  dan  lainlain.
Dari  segi  perjanjian  (“Concession  Agreement”)  itu  sendiri,
resiko  hukum  dapat  bersumber  pada  faktor-faktor  seperti:  tipe
concession  agreement,  perubahan  menyangkut  kewajibankewajiban  atau  dasar  kerangka  hukum  yang  ada,  perubahan
dalam  ketentuan-ketentuan  perjanjian,  status  pelaksanaan  dan
mekanisme penyelesaian sengketa
64
.
Dari segi pasar, resiko hukum yang mungkin timbul bersumber
pada: perubahan-perubahan menyangkut kebutuhan atas produk

yang  dihasilkan  oleh  fasilitas  tersebut,  eskalasi  harga  bahan
baku  dan  “consumbales”,  kemunduran  ekonomi,  kemerosotan
mutu  produk,  kompetisi,  tingkat  penerimaan  masyarakat  atas
kebijakan  yang  membebankan  pada  “User”  untuk  membayar,
penolakan (resistensi) konsumen, dan lain-lain.
64
Ibid.
57
3)   Resiko Komersial (“Commercial Risk”)
Masalah  kelangsungan  tersedianya  bahan  baku  yang  memadai,
fluktuasi  nilai  tukar,  devaluasi,  dan  lain-lain  akan  sangat
berpengaruh terhadap tingkat resiko komersial.
4)   Resiko Lingkungan (“Environmental Risk”)
Faktor-faktor  yang  dapat  berpengaruh  terhadap  resiko
lingkungan mencakup: lokasi proyek, kendala lingkungan  yang
ada,  perubahan  lingkungan  yang  terjadi,  pengaruh  dari
kelompok-kelompok  penekan  (“pressure  group”),  faktor-faktor
dari  luar  yang  mempengaruhi  operasi,  masalah  dampak
lingkungan,  tingkat  penerimaan/persetujuan  masyarakat
setempat  serta  perubahan-perubahan  ekologis  selama  masa
konsesi.
b)  Sementara itu “Typical Elemental Risks” meliputi:
1)   Resiko dari segi Konstruksi (“Construction Risks”)
Faktor-faktor  seperti  kondisi  alam,  kondisi  tanah,  perubahan
cuaca,  kendala  fisik,  keahlian  pekerja,  periode  konstruksi,

keterlambatan,  jadwal,  teknik  yang  digunakan,  tipe  kontrak
konstruksi,  biaya  konstruksi,  perancangan,  ketersediaan
informasi,  pemenuhan  atas  standar  dan  spesifikasi,  ketentuanketentuan  mengenai  perubahan  teknologi,  dan  lain-lain  akan
sangat mempengaruhi tingkat resiko konstruksi.
2)   Resiko Operasi (“Operation Risks”)
Faktor-faktor  seperti:  kondisi  operasi,  pasokan  bahan  baku,
ada/tidaknya  gangguan  terhadap  operasi,  metode  operasi,
ketersediaan  suku  cadang,  jaminan,  waktu  yang  tersedia,  biaya
58
dan  tingkat  pelatihan,  “manuals”  dalam  bekerja,  kualitas  dan
jumlah  personil,  dan  lain-lain  akan  sangat  berpengaruh  pada
besar/kecilnya resiko operasi.
3)   Resiko Keuangan (“Finance Risks”)
Masalah  besar/kecilnya  resiko  keuangan  dalam  proyek  dengan
pola  BOT  ini  akan  sangat  ditentukan  oleh  variabel-variabel,
seperti:  tingkat  bunga,  cara  penghitungan  bunga,  jangka  waktu
pinjaman,  cara  pembayaran,  jadwal  pembayaran,  neraca
pembayaran,  tingkat  pengembalian,  tipe  dan  sumber  pinjaman,
ketersediaan  pinjaman,  nilai  tukar  yang  digunakan,  dukungan
kelembagaan, waktu dan jumlah pembayaran dividen, dan lainlain.
4)   Resiko Penerimaan (“Revenue Risks”)
Resiko penerimaan juga akan sangat tergantung kepada faktorfaktor  seperti:  kemampuan  untuk  memenuhi  kebutuhan  yang
semakin bertambah, periode konsesi yang diperlukan, kebutuhan
akan  fasilitas  terpasang,  model  cara  penerimaan,  mata  uang


dalam  penerimaan,  variasi  formula  tarif,  perubahan-perubahan
dalam aliran penerimaan, dan lain-lain.
2.  Bentuk-bentuk  Jaminan  dan  Perlindungan  Investasi
infrastruktur pada Kontrak  Investasi Infrastruktur Transportasi
Dengan  mengacu  kepada  berbagai  bentuk  resiko  dari  investasi
infrastruktur sebagaimana tersebut di atas, maka  perlu diiidentifikasi dan
diinventarisasi  bentuk-bentuk  perlindungan  investasi  pada  pembangunan
infratruktur transportasi  yang dapat diberikan oleh “Host Country”,  yang
meliputi, antara lain:
59
a)  Jaminan  dan  Perlindungan  Investasi  yang  Bersumber  kepada
Ketentuan-Ketentuan Kontrak Konsesi
Concession  agreement  selayaknya  mampu  memberikan  jaminan  dan
perlindungan  yang  memadai  kepada  kepentingan  investor,  baik
terhadap  resiko  politis,  resiko  hukum,  serta  resiko  komersial  yang
ditimbulkan.  Bentuk  jaminan  dan  perlindungan  investasi  yang  dapat
diberikan, antara lain:
-   meningkatkan stabilitas politik dan keamanan;
-   menjamin  tidak  dilakukannya  tindakan  expropriasi,  nasionalisasi,
penguasaan  dan  penyitaan  tanpa  alasan  yang  dapat
dipertanggungjawabkan  dan  dengan  ganti  rugi  yang  memadai
sesuai dengan kaidah-kaidah internasional yang berlaku;
-   menciptakan  tariff  yang  fleksibel  dan  dinamis  berdasarkan
kesepakatan;

-  kenaikan tarif pajak dan royalty dilakukan secara dapat diperkirakan
(predictable) dan dengan alasan-alasan yang sah;
-  tidak  mengubah  kebijakan  mengenai  hak  repatriasi  atas
keuntungan;
-   menjamin  tidak  adanya  perubahan  yang  fundamental  dalam
kebijakan  investasi  sehubungan  dengan  adanya  pergantian
pemerintahan;
-   menjamin stabilitas dalam kebijakan fiskal;
-   menjamin  proses  pemberian  konsesi,  dispensasi,  persetujuan,
perijinan yang mudah, murah dan tepat waktu;
-   adanya dukungan dari segi legislasi nasional;
-   komitmen yang kuat dari Pemerintah untuk melaksanakan kontrak
konsesi secara konsisten;
-  tidak  adanya  perubahan-perubahan  menyangkut  isi  kontrak
konsesi;
60
-   tersedianya  mekanisme  penyelesaian  sengketa  yang  efektif  dan
adil;
-   jaminan penerimaan dengan mata uang yang “convertible”;
-   terjaganya stabilitas fluktuasi nilai tukar, termasuk devaluasi mata
uang;
-  jaminan Pemerintah untuk memfasilitasi penyelesaian menyangkut
kendala dari sisi lingkungan.
b)  Jaminan dan Perlindungan Investasi yang  Bersumber kepada Kontrak
Konstruksi

Dalam  kontrak  konstruksi  selayaknya  ada  kejelasan  mengenai  paketpaket  yang  diberikan  kepada  kontraktor.  Selain  itu  juga  ada  kejelasan
mengenai  penyiapan lahan,  nilai-kontrak, volume pekerjaan,  pekerjaan
tambah-kurang,  lamanya  penyelesaian,  commissioning,  tata  cara
penyerahan, tata cara pembayaran, interpretasi, penyelesaian sengketa,
dan  lain-lain.  Komitmen  untuk  melaksanakan  isi  kontrak  atas  dasar
itikad baik akan mampu meminimalkan resiko karena segalanya dapat
dikalkulasi secara matang.
c) Jaminan dan Perlindungan Menyangkut Kontrak Operasi
Apabila  terdapat  kejelasan  mengenai  hal-hal  yang  menyangkut
pengoperasian, pemeliharaan serta pelatihan selama masa operasi, maka
resiko  yang  dapat  ditimbulkan  akan  bisa  diminimalisasi.  Oleh
karenanya  segala  sesuatu  menyangkut  persoalan  tersebut  agar  dapat
diformulasikan  secara  rinci  dalam  kontrak  operasi,  dengan  demikian
diharapkan  tidak  akan  timbul  persoalan-persoalan  yang  bersifat
dadakan.  Kecermatan  dalam  proses  negosiasi,  formulasi  dan  finalisasi
kontrak akan sangat memegang peranan. Lebih dari itu segala sesuatu
yang  mungkin  timbul  sehubungan  dengan  masa  operasi,  khususnya
resiko operasi, harus telah diantasipasi secara matang.
61
d)  Jaminan  dan  Perlindungan  Menyangkut  Kontrak  Pembiayaan
(Shareholder Agreement dan Loan Agreement)
Resiko-resiko  yang  mungkin  timbul  sehubungan  dengan  pembiayaan
proyek  harus  dicermati  sejak  awal.  Khusus  dalam  project  financing



biasanya  Bank  (lender)  meminta  bentuk-bentuk  jaminan  tertentu  dari
Prinsipal  (Pemerintah).  Di  Indonesia,  khususnya  untuk  pembangunan
infrastruktur,  bentuk-bentuk  jaminan  semacam  itu  telah  mulai
disiapkan, termasuk tata cara penyediaan, pencairan dan pengendalian
dana  dukungan  infrastruktur  serta  kelembagaan  terkait  seperti  BLU
(badan layanan umum). Bentuk dukungan lain adalah akses yang lebih
mudah  kepada  pembiayaan  infrastruktur  melalui  bank-bank  lokal.
Dengan adanya jaminan ini diharapkan investor bersedia menyediakan
“equity”nya  untuk  pelaksanaan  pembangunan  dan  pengoperasian
proyek infrastruktur transportasi.
e) Jaminan dan Perlindungan atas Resiko dari Sisi Penerimaan
Upaya  untuk  meminimalisasi  resiko  penerimaan  adalah  dengan
mekanisme  “risk  sharing”  yang  dapat  ditawarkan  oleh  “host  country”
selama periode konsesi.    Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan
cara  penyesuaian  tariff  agar  tetap  terjamin  keekonomian  dari  kegiatan
yang dilakukan.
62
      BAB V
 ANALISIS

A.  Dari  Sisi  Kepentingan  Pengadaan  Infrastruktur  Transportasi
Nasional
Penerapan  Pola  BOT  dalam  pengadaan  infrastruktur,  khususnya  dalam
bidang  transportasi,  merupakan  salah  satu  pilihan  yang  sangat  layak
dipertimbangkan. Melalui penerapan pola BOT maka diharapkan semakin

banyak  fasilitas  infrastruktur  yang  dapat  dibangun.  Ketersediaan
infrastruktur  transportasi  seperti  Jalan  Tol;  Mass  Rapid  Transit  (MRT);
sarana  dan  prasarana  perkeretaapian;  Busway;  Monorail;  Pelabuhan;
Bandar Udara; dan lain-lain, akan mampu menopang kelancaran kegiatan
ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing investasi dan
mempercepat pertumbuhan ekonomi.
B.  Dari  Sisi Kepentingan Investor
Dari  sisi  kepentingan  investor  (baik  asing  maupun  local)  terbukanya
kemungkinan  partisipasi  swasta  bekerjasama  dengan  pemerintah  (publicprivate  partnership)  merupakan  lahan  bisnis  yang  cukup  menjanjikan.
Adanya  berbagai  skema  insentif  yang  ditawarkan  seperti:  land  capping;
penyesuaian  tariff;  jaminan  perlindungan  investasi;  insentif  pajak;  risk
sharing;  akses  pembiayaan  ;  jaminan  kepastian  berusaha,  termasuk
kepastian hukum; pengembalian investasi; dan lain-lain akan memberikan
keyakinan  untuk  berinvestasi.  Apalagi  jika  return  on  investment-nya
dianggap cukup tinggi.
C.  Dari Sisi Kepentingan Masyarakat
Pada  instansi  pertama  masyarakatlah  yang  paling  menikmati  keberadaan
infrastruktur  transportasi  yang  baik.  Hal  itu  akan  semakin  memperlancar
63
segala  bentuk  kegiatan  masyarakat,  terutama  dalam  kegiatan  ekonomi.
Transportasi  yang  lancar,  aman  dan  nyaman  juga  akan  meningkatkan
efisiensi  yang  akan  berkontribusi  kepada  meningkatnya  margin
keuntungan  yang  dapat  diperoleh.  Namun  demikian  juga  terdapat
kemungkinan  masyarakat  akan  terbebani  dengan  biaya  yang  lebih  tinggi


jika  pengadaan  infrastruktur  dilakukan  oleh  swasta  dibandingkan  dengan
jika  dilakukan oleh Pemerintah.  Di sini pentingnya Pemerintah melakukan
penataan agar terdapat keseimbangan antara keuntungan dan jaminan yang
diberikan  kepada  swasta  (investor)  disatu  pihak,  dengan  kepentingan
pelayanan public dan kemampuan masyarakat di lain pihak.
D.  Dari Sisi Kepentingan Pemerintah
Skema  kerjasama  antara  Pemerintah  dengan  Investor  Swasta  dalam
pembangunan  dan  pengoperasian  fasilitas  infrastruktur  transportasi  akan
sangat  meringankan  beban  anggaran  Pemerintah.  Ada  beberapa
keuntungan  nyata  yang  dinikmati  Pemerintah,  antara  lain:  sangat
mengurangi  anggaran  pembangunan  yang  harus  dipikul  oleh  Pemerintah
mengingat  sebagian  besar  pendanaan  dipikul  oleh  swasta;  resiko  dalam
pembangunan  dan  pengoperasiannya  dipikul  oleh  swasta;  keberadaan
infrastruktur  transportasi  yang  lebih  baik  juga  merupakan  perwujudan
pelayanan pemerintah kepada masyarakat serta mampu mendongkrak daya
tarik investasi; memberikan tambahan pemasukan bagi Negara, baik yang
bersumber  kepada  bahagian  pemerintah  (royalty)  maupun  penerimaan
pajak;  dan  pada  akhir  masa  konsesi  fasilitas  infrastruktur  tersebut
sepenuhnya dikuasai Negara.
E.  Dari Sisi Jaminan dan Perlindungan Hukum
Dalam setiap kegiatan investasi, adanya jaminan dan perlindungan hukum
yang memadai merupakan suatu kebutuhan mutlak. Dari  aspek investasi,
jaminan  dan  perlindungan  hukum  lebih  memberikan  kepastian  berusaha,
64


sehingga  segala  sesuatunya  menjadi  lebih  dapat  diperhitungkan
(calculable/predictable).  Dari  sisi  kepentingan  investor  (asing),  adanya
jaminan  dan  perlindungan  hukum  yang  memadai  terhadap  hak-hak  sah
serta hak-hak yang diperoleh (acquired rights)  yang dimiliki orang/badan
hukum  asing  (alien)  akan  meningkatkan  kepercayaan  dan  kenyamanan
investasi.
F.  Dari Sisi Resiko
Setiap usaha serta kerjasama selalu memiliki resiko. Hal itu merupakan hal
yang  wajar.  Resiko  yang  ditimbulkan  dari  kerjasama  antara  Pemerintah
dengan  swasta  dalam  pembangunan  dan  pengoperasian  infrastruktur
transportasi  dapat  bersumber  dari  resiko  komersial  namun  dapat  juga
diakibatkan  oleh  resiko  non-komersial.  Untuk  meminimalisasikan  resiko
dalam  kerjasama  dengan  skema  BOT  maka  baik  Pemerintah  maupun
investor swasta harus mau berbagi resiko (risk sharing).  Pembagian resiko
yang proporsional dan  adil akan menguatkan  chemistry dalam kerjasama
tersebut.
G.  Dari Sisi Penyelesaian Sengketa
Dalam  setiap  kerjasama,  termasuk  kerjasama  di  bidang  pembangunan
infrastruktur  transportasi,  sengketa  mungkin  saja  timbul  sehubungan
dengan  interpretasi  dan  implementasi  kontrak.  Hal  seperti  itu  tidak
terkecuali akan dapat timbul dalam kontrak kerjasama dengan pola BOT.
Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya sengketa, idealnya kontrak
BOT  tersebut  sudah  mengatur  tata  cara  dan  mekanisme  penyelesaian
sengketa  yang  jelas  bagi  ke  dua  belah  pihak.  Kejelasan  klausula
penyelesaian  sengketa  harus  mencakup  semua  tahapan  penyelesaian

sengketa,  mulai  dari  negosiasi  atau  pilihan  ADR  lainnya  sampai  dengan
penyelesaian  melalui  proses  adjudikasi  (pengambilan  putusan),  baik  oleh
65
arbitrase maupun litigasi. Kejelasan menyangkut mekanisme penyelesaian
sengketa juga harus meliputi hal-hal, seperti: forum penyelesaian, tata cara
penyelesaian, hukum yang berlaku, sifat penyelesaian dan/atau keputusan.
Setiap investor, khususnya investor asing sangat menghendaki proses dan
tata  cara  penyelesaian  yang  murah,  cepat,  adil,  tidak  memihak  serta
dilengkapi dengan mekanisme penegakan hukumnya yang efektif.
H.  Dari Sisi Pembiayaan
Pembangunan  infrastruktur,  termasuk  infrastruktur  transportasi  biasanya
memerlukan biaya yang sangat besar. Dengan keterbatasan anggaran yang
dimiliki,  tentu  saja  baik  Pemerintah  Pusat  maupun  Pemerintah  Daerah
akan  merasa  berat  jika  harus  membiayai  proyek  pembangunan
infrastruktur dengan bertumpu kepada anggaran yang tersedia yang sangat
tidak  memadai.  Oleh  karena  itu  partisipasi  swasta  dalam  pembiayaan
proyek  infrastruktur  menjadi  sangat  esensial.  Partisipasi  swasta  dalam
pembiayaan  infrastruktur  transportasi,  baik  yang  bersumber  dari
ekuitasnya  maupun  dari  pinjaman  melalui  jaringan  perbankan  dan/atau
lembaga  pembiayaannya  akan  sangat  membantu  realisasi  infrastruktur
transportasi. Hal ini dapat dipenuhi dalam kerjasama dengan pola BOT.
I.  Dari Sisi Pengadaan Tanah dan Bangunan
Dalam  pembangunan  dan  pengoperasian  infrastruktur  transportasi  seperti
jalan,  jembatan,  jalur  kereta  api,  pelabuhan,  Bandar  udara,  dan  lain-lain
pasti  tidak  akan  terlepas  dari  kebutuhan  lahan  dan  bangunan.  Pola  BOT

sebagai  salah  satu  bentuk  kerjasama  Pemerintah  dan  swasta  seringkali
menghadapi  permasalahan  pengadaan  tanah  dan  bangunan.  Untunglah
posisi Pemerintah sebagai salah satu pihak dalam kontrak BOT memiliki
kewenangan dan keleluasaan dalam penggunaan tanah untuk kepentingan
umum.  Artinya  dalam  rangka  memenuhi  kepentingan  infrastruktur  yang
66
diperlukan oleh masyarakat, Pemerintah dapat menetapkan kebijakan dan
regulasi yang memungkinkan pengadaan tanah dengan harga yang wajar.
67
BAB VI
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.  SIMPULAN
Dari  uraian  serta  analisis  pada  Bab-Bab  sebelumnya,  maka  dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.  Mengingat pentingnya penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur
transportasi  dalam  upaya  mendorong  pertumbuhan  ekonomi  dan
investasi,  maka  kebijakan  dan  regulasi  untuk  mewujudkannya  sudah
berada pada arah yang benar, meskipun implementasinya tidak selalu
sesuai dengan harapan.
2.  Untuk menarik investasi di bidang infrastruktur transportasi, berbagai
bentuk  jaminan  dan  insentif  telah  ditawarkan,  yang  meliputi  namun
tidak  terbatas  pada:  revenue  shortfall  guarantee;  dana  penjaminan
infrastruktur;  comfort  letter;  risk  sharing;  jaminan  pengadaan  tanah;
perlakuan yang sama; dan lain-lain.

3.  Pembangunan  infrastruktur  transportasi  sebagai  bentuk  kerjasama
antara  Pemerintah  dengan  swasta  (investor)  dengan  pola  BOT  yang
telah  menjadi  common  practices  dan  bahkan  best  practices  meliputi
kontrak-kontrak  seperti:  concession  contract;  construction  contract;
operation  and  maintenance  contract,  off-take  contract;  supply
agreement;  syndicated  loan  agreement;  investment  agreement;  dan
dalam  lingkup  lokal  misalnya  Perjanjian  Pengusahaan  Jalan  Tol
(PPJT);
68
4.  Aspek-aspek  hukum  kontrak  yang  terkait  dengan  pembangunan
infrastruktur  transportasi  mencakup:  jaminan  kepastian  hukum;
sumber-sumber  hukum;  pembagian  resiko;  hukum  yang  berlaku;
mekanisme penyelesaian sengketa; penegakan hukum, dan lain-lain.
5.  Meskipun  kontrak-kontrak  pembangunan  infrastruktur  transportasi
tidak  sepenuhnya  bersumber  kepada  hukum  kontrak  nasional,  dan
bahkan dalam beberapa hal banyak mengadopsi sistem hukum kontrak
common law, namun secara umum telah memadai. Namun demikian
masih terdapat berbagai kekurangan yang perlu diperbaiki.
B.  REKOMMENDASI
Sebagai  upaya  perbaikan  untuk  mendukung  pembangunan  infrastruktur
transportasi,  kiranya  perlu  dipertimbangkan  langkah-langkah  sebagai
berikut:
1.  Memastikan agar berbagai kebijakan dan regulasi di bidang investasi
pembangunan  infrastruktur  transportasi  diimplemantasikan  secara
konsisten melalui komitmen semua pihak yang terkait.

2.  Perlunya  berbagai  jaminan  dan  perlindungan  investasi  yang
ditawarkan  benar-benar  dipahami  oleh  instansi-instnsi  terkait  serta
para  pelaksana  di  lapangan  agar  dapat  dilaksanakan  dan  mampu
menciptakan kepastian hukum.
3.  Perlunya  penyesuaian  ketentuan  hukum  kontrak  nasional  dengan
berbagai  standard  dan  praktek  terbaik  (best  practices)  yang  berlaku
secara  internasional  agar  mempermudah  pergaulan  internasional  dan
kegiatan investasi yang dilakukan di Indonesia.
69
4.  Perlunya upaya  yang sistematis untuk menata berbagai aspek hukum
dari  kontrak-kontrak  investasi  infrastruktur  transportasi  untuk
meminimalisasi  permasalahan  yang  mungkin  timbul,  demikian  pula
untuk  menjamin  penegakan  hukum  dan  adanya  mekanisme
penyelesaian sengketa yang adil.
5.  Penyempurnaan  atas  ketentuan-ketentuan  serta  implementasi  hukum
kontrak nasional terkait dengan kontrak-kontrak investasi infrastruktur
transportasi  akan  meningkatkan  keyakinan  berusaha  (berinvestasi)
bagi para investor.
70







DAFTAR REFERENSI
PUSTAKA
-   Arumugam,  Rajenthran  “An  overview  of  Foreign  Direct  Investment  Legal
Rudiments  in  ASEAN”,  dalam  Regional  Outlook,  South  East  Asia,  ISEAS,
Singapore, 2006;
-   Bisset, Norman, “EPC Contracts”, Baker & McKenzie, 2006;
-   Bisset, Norman, “Operation and Maintenance Contract”, Baker & Mc Kenzie,
2006;
-   Bisset, Norman, “Fuel Supply Agreements”, Baker & McKenzie, 2006:
-   Black,  Henry  Campbell,  Black’s  Law  Dictionary,  Fifth  Edition,  West
Publishing Company, 1979;
-   Budidjaja,  Tony,  Public  Policy  as  Grounds  for  Refusal  of  Recognition  and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia, PT Tata Nusa, Jakarta,
2002;
-   Delmon, Jeffrey,  BOO/BOT Projects:  A Commercial and Contractual Guide,
Sweet and Maxwell, London, 2000;
-   Fuady,  Munir,  Kontrak  Pemborongan  Mega  Proyek,  Citra  Aditya  Bakti,
Bandung, 1998;
-  Joesoef, Iwan E,  Perjanjian Pengusahaan Jalan Tolm (PPJT) Sebagai Kontrak
Bisnis Berdimensi Publik antara Pemerintah dengan Investor  (Swasta) dalam
Proyek Infrastruktur, Badan Penerbit FH-UI, Jakarta, 2006;
-   Londong, Tineke Louise Tuegeh,  Asas Ketertiban Umum & Konvensi New
York 1958, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998;
-   Mertin,  Elizabeth  A,  Oxford  Dictionary  of  Law,  Fifth  Edition,  Oxford

University Press, 2003;
-   Merna A & D Bower, Dispute Resolution in Construction and Infrastructure
Projects, Asia Law and Practice, Hongkong, 1997;
71
-   Merna  A  &  N  J  Smith,  Guide  to  the  Preparation  and  Evaluation  of  BOOT
Project Tenders, Asia Law and Practice, Hongkong, 1996;
-   Merna A & N J Smith,  Projects Procured by Privately Financed Concession
Contracts, Volume 1, Asia Law and Practice, Hongkong, 1996;
-   Merna  A  &  N  J  Smith,  Projects  Procured  by  Privately  Finance  Concession
Contracts, Volume 2, Asia Law and Practice, Hongkong, 1996;
-   Merna, A & N J Smith, Mechanism for the Award of Competitive Tenders for
Works and Supply Contracts, Asia Law and Practice, Hongkong, 1996;
-   Modjo,  M  Ikhsan,  “Implementasi  Paket  Kebijakan  Investasi”,  Jawa  Pos,  13
maret 2006.
-   Moran,  Theodore  H,  International  Political  Risk  Management,  MIGA,  The
World Bank Group, Washington, 2001;
-   Ranuhandoko, I.P.M,  Terminologi Hukum, Inggris-Indonesia, Penerbit Sinar
Grafika, cetakan ketiga, 2003;
-   Santoso,  Budi,  Aspek  Hukum  Pembiayaan  Proyek  Infrastruktur  dengan
Model  BOT  (Build,  Operate  and  Transfer),  Genta  Press,  Yogyakarta,  2008,
edisi Kedua;
-   Schell,  Charles,  Projects  and  Infrastructure  Finance  in  Asia,  Asia  Law  and

Practice, Hongkong, 1995;
-   Shahab, Hamid,  Aspek Hukum dalam Sengketa Bidang Konstruksi, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 1996;
-   Shahab,  Hamid,  Aspek  Teknis  dan  Hukum  Penggunaan  Sistem  Fundasi
Dalam, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1997;
-   Sorab,  Beena,  Developing  and  Financing  Transport  Projects  in  Asia,
Euromoney Publications, 1997;
-   Sorab, Beena (eds), The Life and Death of Infrastructure Project, Euromoney
Publications, 1997;
72
-   Sornarajah,  M,  The  International  Law  on  Foreign  Investment,  Second
Edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2004;
-   Supancana,  I.B.R,  “Aspek-Aspek  Kontraktual  pada  Pembangunan  dan
Pengoperasian Proyek-Proyek Infrastruktur dengan Pola BOOT (Build, Own,
Operate and Transfer)”, Center for Regulatory Research, 2002;
-   Supancana,  I.B.R,  Kerangka  Hukum  dan  Kebijakan  Investasi  Langsung  di
Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2006;
-   Tambunan,  Tulus,  “Iklim  Investasi  di  Indonesia:  Masalah,  Tantangan  dan
Potensi”, Kadin Indonesia-Jetro, 2006;
-   Yasin, H Nazarkhan,  Mengenal Kontrak Konstruksi di Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003;
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
i.  Undang-undang No 38 tahun 2004 tentang Jalan;



ii.  Undang-undang  No  25  tahun  2004  tentang  Sistem  Perencanaan
Pembangunan Nasional;
iii.  Undang-undang  No  1  tahun  1967  jo  UU  No  11  tahun  1970  tentang
Penanaman Modal Asing;
iv.  Undang-undang  No  6 tahun 1968 jo Undang-undang  No  12 tahun 1970
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri;
v.  Peraturan Pemerintah No 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol;
vi.  Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2006 tentang Jalan;
vii.  Peraturan Pemerintah  No  23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (BLU);
viii.  Peraturan Presiden No  67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan
Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur;
73
ix.  Peraturan  Presiden  No  42  tahun  2005  tentang  Komite  Kebijakan
Percepatan Penyediaan Infrastruktur;
x.  Peraturan  Pemerintah  No  1  tahun  2007  tentang  Pemberlakuan  Insentif
bberupa PPh bagi Penanaman Modal di Bidang tertentu dan atau daerah
tertentu;
xi.  Peraturan  Presiden  No  7  tahun  2005  tentang  Rencana  Pembangunan
Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009;
xii.  Peraturan  Presiden  No  36  tahun  2005  tentang  Pengadaan  Tanah  Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
xiii.  Peraturan Presiden  No  65 tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden  No  36 tahun 2005  tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

xiv.  Keputusan  Presiden  No  80  tahun  2003  tentang  Pedoman  Pelaksanaan
Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah;
xv.  Keputusan Presiden No 61 tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden  No  80  tahun  2003  tentang  Pedoman  Pelaksanaan  Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah;
xvi.  Peraturan  Presiden  No  32  tahun  2005  tentang  Perubahan  kedua  atas
Keputusan  Presiden  No  80  tahun  2003  tentang  Pedoman  Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
xvii.  Peraturan  Presiden  No  8  tahun  2006  tentang  Perubahan  ketiga  atas
Keputusan  Presiden  No  80  tahun  2003  tentang  Pedoman  Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah;
xviii.  Keputusan  Menteri  Keuangan  No  518/KMK.01/2005  tentang
Pembentukan Komite Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur;
xix.  Peraturan  Menteri  Keuangan  No  38/PMK.01/2006  tentang  Petunjuk
Pelaksanaan  Pengendalian  dan  Pengelolaan  Resiko  atas  Penyediaan
Infrastruktur;
74
xx.  Peraturan Menteri Keuangan No 136/PMK.05/2006 tanggal 27 Desember
2006  tentang  Perubahan  Peraturan  Menteri  Keuangan  No
119/PMK.05/2006  tentang  Tata  Cara  Penyediaan,  Pencarian  dan
Pengelolaan Dana Dukungan Infrastruktur.
PERJANJIAN INTERNASIONAL
-   Convention  on  the  Settlement  of  Disputes  between  States  and  Nationals  of
Other States of 1966;


-   New  York Convention on Recognition and Enforcement of  Foreign Arbitral
Awards of 1958;
-   WTO Agreement of 1994 with Annex concerning Trade Related Investment
Measures;
-   Convention Establishing Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA);
-   The ASEAN Treaty on the Protection and Promotion of Foreign Investment
of 1987 as amended in 1996;
-   The Framework Agreement for the ASEAN Investment Agreement 1998 as
amended in 2001 (The Framework Agreement).

KEGAGALAN KONSTRUKSI

KEGAGALAN DALAM KONTRUKSI BANGUNAN GEDUNG                        NAMA   :   ASRIANTI             NPM     : 17-630-095 ...